Transformasi Palestina tahun 2019
-
Palestina
Kejahatan rezim Zionis Israel terhadap rakyat Palestina selama tahun 2019 masih tetap berlanjut.
Jet-jet tempur dan artileri Israel awal bulan Mei 2019 menarget sejumlah wilayah di Jalur Gaza. Selama perang empat hari tersebut, sekitar 30 warga Palestina termasuk dua perempuan dan seorang bayi 14 bulan gugur syahid serta 170 lainnya terluka.
Kubu muqawama saat membalas kejahatan Israel ini menembakkan 650 roket ke arah bumi pendudukan. Pada akhirnya dengan mediasi Mesir, Israel terpaksa menerima gencatan senjata.
Sekaitan dengan ini, Israel pada November 2019 meneror Baha Abu al-Ata, salah satu komandan senior Jihad Islam Pelestina dan Gaza menyaksikan bentrokan sengit.
Selain itu, militer Israel juga menyerang demonstran di aksi demo hak kepulangan yang digelar setiap pekan. Jumlah korban serangan ini sejak dimulainya aksi demo pada Maret 2018 hingga akhir 2019 mencapai 327 orang gugur dan ribuan lainnya terluka.
Departemen Kesehatan Palestina mengumumkan, sejak awal tahun 2019 sebanyak 27 anak Palestina gugur di tangan Israel. Berdasarkan laporan terbaru dokter di Gaza, tahun 2019, militer Israel menggugurkan 132 warga Palestina yang mencakup lima warga gugur di penjara rezim ini.
Israel di tahun 2019 juga melanjutkan aksi perusakan infrastruktur dalam koridor proyek pembangunan distrik Zionis. Kantor Koordinasi HAM PBB di bumi pendudukan (OCHA) akhir Desember 2019 di laporannya menyatakan, atas instruksi petinggi Israel di tahun 2019 sekitar 617 bangunan di Tepi Barat dihancurkan atau dirampas. Berdasarkan laporan ini, perusakan sejumlah bangunan tersebut mengakibatkan 898 warga Palestina kehilangan tempat tinggal dan angka ini dibanding dengan tahun 2018 mengalami kenaikan sebesar 35 persen.
Sekaitan dengan ini, tahun 2019 dinilai sebagai tahun terburuk bagi tawanan Palestina di penjara Israel dan banyak dari mereka terpaksa melakukan aksi mogok makan untuk waktu lama karena kondisi buruk penjara atau metode interaksi para sipir yang tak tepat. Abu Diak, salah satu tawanan Palestina gugur syahid pada 26 November akibat penyakit kanker dan sikap Israel yang mengabaikan proses pengobatannya.
Sementara itu, wartawan Palestina di tahun 2019 juga menjadi target serangan militer Israel. Sami Misran, jurnalis dari Gaza dan Mu'adz Amaranah dari Tepi Barat adalah dua jurnalis yang menjadi target penembakan serdadu Israel dan keduanya kehilangan salah satu matanya.
Sementara itu, anak-anak Palestina di tahun 2019 juga tak luput dari agresi, penangkapan dan kejahatan militer Israel. Bahkan tahun 2019 terjadi ratusan pelanggaran terhadap anak-anak Paelstina serta lima anak gugur. Mengingat eskalasi agresi Israel terhadap anak Palestina, sejumlah lembaga internasional menyebut 2019 sebagai tahun terburuk bagi anak-anak Palestina.
Abdul-Naser Farwanah, aktivis HAM dan ketua riset dan dokumentasi di lembaga urusan tawanan dan pembebasannya mengatakan, Israel sejak tahun 2019 menangkap sekitar 850 anak Palestina dan anak-anak ini di penjara Israel senantiasa mengalami penyiksaan mental dan fisik. Dan sekitar 200 anak Palestina hidup penuh kesulitan di balik jeruji penjara Israel.
Tarik Shaluf, juru bicara lembaga Muhjah al-Quds mengatakan, kantor urusan penjara Israel tidak mengijinkan keluarga anak-anak ini untuk mengirim mereka pakaian tebal dan hangat untuk musim dingin dan tujuan Israel dari sikapnya ini adalah membunuh secara bertahap tawanan di hadapan pandangan masyarakat dunia. Shaluf menambahkan, upaya pembunuhan ini terencana dengan mengabaikan pengobatan serta menangguhkan operasi serta penanganan dokter.
Keputusan Fatou Bensouda, jaksa ICC untuk menyelidiki kejahatan perang Israel terhadap bangsa Palestina salah satu peristiwa penting di tahun 2019. Bensouda pada 20 Desember 2019 mengumumkan bahwa ICC akan memulai penyidikan terkait kejahatan perang Israel di Tepi Barat, Jalur Gaza dan Quds timur. Keputusan ini diambil atas permintaan Palestina tahun 2015 dan setelah empat tahun lembaga internasional ini mengumumkan akan memulai penyidikan kejahatan perang Israel.
Bangsa Palestina seraya menyambut keputusan ini menyebutnya sebagai keadilan. Sekretaris dewan eksekutif PLO, Saeb Erekat mengatakan, keputusan Bensouda sebuah langkah positif dan berani serta pesan bahwa perealisasian keadilan sebuah keniscayaan.
Amerika dan Israel menyebutnya sebagai hari hitam bagi keadilan dan mengklaim bahwa keputusan seperti ini ilegal. Perdana Menteri Israel Benjamin Nentanyahu mengatakan, ini hari hitam dan petaka bagi kebenaran dan keadilan serta keputusan ini tertolak. Jaksa Agung Israel Avichai Mandelblit juga menekankan bahwa ICC tidak memiliki wewenang untuk menyelidiki kasus ini. Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo juga menyebutnya ilegal.
Klaim bahwa ini sebuah keputusan ilegal dirilis ketika berdasarkan butir 15 ICC, jaksa dapat menginstruksikan penyidikan terkait sebuah kasus. Sejatinya penyidikan berkas di ICC disyaratkan dengan keanggotaan sebuah negara, namun jika bukan negara anggota, maka Dewan Keamanan PBB bersama jaksa agung ICC dapat merujuk pada ICC untuk penyidikan. Dengan demikian dari sisi hukum, keputusan Bensouda untuk memulai penyidikan terkait kejahatan Israel sebuah langkah legal dan dalam koridor anggaran rumah tangga lembaga ini.
Isu pemilu termasuk salah satu transformasi penting Palestina di tahun 2019. Ketua Otorita Ramallah, Mahmoud Abbas September 2019 di sidang tahunan Majelis Umum PBB menyatakan kesiapan untuk menggelar pemilu parlemen dan presiden Palestina. Pernyataan ini mendapat sambutan dari berbagai faksi Palestina khususnya Gerakan Perlawanan Islam Palestina Hamas.
Meski demikian, terkait penyelenggaraan pemilu ini ada friksi di antara faksi Palestina. Kendala pertama berkaitan dengan mekanisme penyelenggaraan pemilu. Hamas menuntut penyelenggaraan pemilu umum di Palestina yang mencakup presiden, anggota parlemen dan dewan nasional, namun sejumlah kumu termasuh Fatah menekankan pemulu parlemen saja.
Kendala kedua terkait penyelenggaraan pemilu di Quds pendudukan. Hamas menekankan pemilu di Tepi Barat, Jalur Gaza dan Quds pendudukan, sementara Otorita Ramallah menghendaki ijin Israel untuk menyelenggarakan pemilu di Quds pendudukan.
Hamas menilai Quds timur sebagai wilayah legal Palestina dan menentang ijin dari Israel. Salah Bardawil, salah satu pemimpin Hamas menyatakan kepada seluruh warga Palestina, baik di dalam dan luar negeri serta seluruh bangsa Islam dan Arab bahwa tidak ada pemilu tanpa Quds.
Pemilu parlemen pertama Palestina digelar tahun 1996. Pemilu kedua tahun 2006 di mana Hamas meraih 76 kursi dari total 132 kursi yang ada. Setelah 14 tahun, diharapkan pemilu ketiga di Palestina akan digelar tahun 2020.