Pemerintahan Baru Filipina dan Tantangannya
Harapan rakyat Republik Filipina untuk memecahkan semua masalah terutama persoalan terkait keamanan dan ekonomi di negara ini meningkat menyusul dimulainya kerja pemerintahan baru dan janji Rodrigo Duterte, Presiden baru Filipina untuk menyelesaikan berbagai persoalan di negara ini. Duterte berjanji untuk mengambil langkah-langkah tegas di sektor keamanan dan hubungan luar negeri Filipina serta mengadopsi sikap independen dalam kebijakan regional dan internasional.
Rodrigo Duterte dilantik sebagai Presiden ke-16 Filipina pada tangal 30 Juni 2016. Dalam pidato penerimaan sumpah jabatan di istana kepresidenan di Malacanang, Manila, ia menyatakan akan mengobarkan perjuangan "tanpa henti" dan "berkelanjutan" untuk melawan pelaku tindak kriminal. Duterte juga memperingatkan para pejabat bahwa ia tidak akan mentolerir korupsi. Janji-janji tersebut merupakan upayanya untuk mengembalikan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah. Sebab, menurut Duterte, saat ini telah terjadi erosi kepercayaan terhadap para pemimpin negara dan warga Filipina sangat menginginkan terjadinya perubahan di pemerintahan.
Pembawaan Duterte yang merakyat diperkirakan menjadi salah satu faktor yang membuatnya terpilih dalam pemilu presiden Filipina Mei lalu, selain sikap kerasnya terhadap para penjahat dan pengedar narkoba, bahkan Duterte menyerukan pembunuhan para kriminal di luar jalur hukum untuk menekan angka kriminalitas di negara itu. Selain menekan tindak kriminal, para pemilih Duterte berharap ia akan dapat memperbaiki kualitas infrastruktur negara, menciptakan lapangan kerja dan mengentaskan kemiskinan yang membelenggu lebih dari seperempat dari 100 juta penduduk Filipina. Meski berjanji untuk mempersempit kesenjangan ekonomi, Duterte juga menyatakan akan melanjutkan kebijakan ekonomi pendahulunya, Presiden Benigno Aquino, yang berfokus pada infrastruktur dan efisiensi fiskal, guna mendorong pertumbuhan mencapai 7-8 persen.
Filipina merupakan negara termiskin di Organisasi Perhimpunan Antara Bangsa-bangsa di wilayah Asia Tenggara (ASEAN). Negara ini menghadapi persoalan keamanan serius disebabkan ulah para penjahat, kelompok-kelompok kriminal serta berbagi kelompok teroris seperti Abu Sayyaf. Selain itu, posisi strategis Filipina telah membuat Amerika Serikat berusaha untuk mempertahankan pangkalan-pangkalan militernya di negara itu.
Penentangan rakyat Filipina terhadap AS menjadi peluang bagi presiden-presiden negara itu untuk memperkuat posisinya di hadapan rakyat melalui janji mereka untuk mengambil tindakan anti-AS. Oleh karena itu, Presiden baru Filipina mengumumkan bahwa pemerintahannya tidak berminat untuk bergantung kepada AS di sektor keamanan. Pemerintahan baru Filipina akan mengambil pendekatan tertentu dan mengambil jarak dengan sikap AS dalam kasus Laut Cina Selatan. Menurut Duterte, negaranya tidak berniat untuk tetap bergantung kepada AS di sektor keamanan dalam jangka panjang.
Pernyataan Duterte tersebut dilontarkan ketika pemerintah Filipina sebelumnya selalu bersandar kepada AS dalam konfrontasi dengan Cina terkait sengketa Laut Cina Selatan. Presiden baru Filipina juga mengkritik keras AS yang mengintervensi krisis di Irak dan negara-negara Timur Tengah lainnya. Duterte menilai kebijakan intervensif Gedung Putih sebagai penyebab terjadinya serangan teror di Amerika. Menurutnya, Timur Tengah tidak mengekspor teroris ke Amerika, namun negara itulah yang mengimpor teroris.
Menurut pandangan Presiden baru Filipina, kebijakan intervensif AS di negara-negara Timur Tengah sebenarnya merupakan tindakan yang secara tidak langsung memindahkan para teroris ke negara itu. Artinya, Washington tidak mampu melindungi diri dari kejahatan kelompok-kelompok teroris yang dibentuknya sendiri.
Duterte dalam pernyataanya juga menyinggung intervensi Gedung Putih di Irak, Libya dan Suriah. Ia mengatakan bahwa rakyat di negara-negara tersebut khususny anak-anak sedang meregang nyawa. Oleh karena itu, Duterte menegaskan bahwa kebijakan luar negeri pemerintahannya tidak akan bersandar kepada AS. Tampaknya Presiden baru Filipina benar-benar memahami pandangan rakyatnya terkait AS sehingga ia berusaha mengambil posisi yang tepat terkait dengan Washington. Melalui cara ini, ia bisa memperkuat posisinya di depan opini publik Filipina.
Meski Duterte hingga sekarang belum memberikan pernyataan terkait Pangkalan Militer Clark dan Pangkalan Militer Subic Bay milik AS, namun tampaknya ia tidak menolak untuk melanjutkan kerjasama pertahanan dengan Negeri Paman Sam tersebut. Meski demikian, ia tidak menyambut anggapan tentang ketergantungan Manila kepada Washington dari sisi keamanan, sehingga ia berusaha menggambarkan pemerintahannya di hadapan opini publik Filipina sebagai pemerintahan yang independen dan memiliki posisi tertentu.
Pada tahun 2013, pemerintahan Filipina mengadukan Cina ke Mahkamah Internasional terkait sengketa di Laut Cina Selatan. Tindakan ini dianggap sebagai upaya Manila untuk menginternasionalkan konflik di kawasan tersebut. Namun Presiden baru Filipina tampaknya akan bersikap sebaliknya. Duterte berbicara tentang hubungan bersahabat dengan Cina dan menyambut usulan pemerintah Beijing yang telah siap untuk menyediakan dana bagi proyek-proyek jalan kereta api di Filipina.
Menurut pandangan kalangan politisi Cina, pemerintah Filipina sebelumnya mengadukan Beijing ke Mahkamah Internasional disebabkan tekanan AS. Oleh karena itu, menyusul dimulainya pemerintahan baru di Filipina, pemerintah Cina meminta Duterte untuk mengambil kebijakan yang realistis terkait penyelesaian sengketa Laut Cina Selatan sehingga tidak merugikan hubungan bilateral Manila-Beijing.
Menteri Luar Negeri baru Filipina mengumumkan kesiapan negaranya untuk berunding dengan Cina terkait pemanfaatan bersama sumber-sumber melimpah di Laut Cina Selatan. Menurut Perfecto Yasay, Manila bersedia berbagi sumber-sumber daya alam di kawasan Laut Cina Selatan dengan Beijing, bahkan jika Filipina menang di Pengadilan Arbitrase Internasional terkait sengketa di perairan luas tersebut.
Menlu baru Filipina berharap perundingan antara Manila dan Beijing untuk pemanfaatan bersama atas cadangan gas alam dan area penangkapan ikan di zona ekonomi eksklusif negaranya akan secepatnya dimulai. Sementara itu, para pejabat Beijing telah berulang kali mengumumkan bahwa keputusan asing tidak berwenang untuk menyelesaikan persoalan terkait kedaulatan dan integritas teritorial Cina, dan masalah ini harus diselesaikan melalui perundingan.
Pengadilan Arbitrase Internasional yang berbasis di Den Haag, Belanda, pada tanggal 12 Juli 2016, memutuskan, Cina telah melanggar kedaulatan Filipina di Laut Cina Selatan. Dalam sebuah pernyataan, pengadilan tersebut mengumumkan, Cina telah melanggar hak kedaulatan Filipina di zona ekonomi eksklusifnya dengan cara melakukan penangkapan ikan dan eksplorasi minyak, membangun pulau buatan dan tidak melarang para nelayan Cina bekerja di zona tersebut.
Sengketa antara Filipina dan Cina terfokus pada perairan yang diperkirakan menjadi jalur perdagangan internasional yang bernilai 5 triliun dolar AS setiap tahunnya. Perairan sengketa ini juga memiliki kekayaan ikan melimpah dan diperkirakan mengandung cadangan minyak dan gas alam serta hasil bumi lainnya. Selain Filipina, Brunei, Malaysia, Taiwan dan Vietnam juga mengklaim atas kepemilikan wilayah di Laut Cina Selatan.
Menurut pandangan para pengamat politik, Presiden baru Filipina saat ini menghadapi ujian sulit untuk menyelesaikan konflik dengan Cina tanpa harus merugikan hubungan bilateral kedua negara. Sementara di internal Filipina, pemerintahan Duterte juga menghadapi berbagai tantangan dan persoalan rumit. Di antara persoalan terpentingnya adalah menangani masalah keamanan yang dihadapi warga Muslim di Filipina selatan.
Mengingat Duterte lahir di Mindanao dan hidup di wilayah ini, maka ia memahami persoalan yang dihadapi warga Muslim yang tinggal di berbagai daerah di Filipina selatan, sehingga diperkirakan ia akan mampu mengambil langkah efektif untuk menanganinya. Duterte yang hadir dalam acara Hari Raya Idul Fitri di Filipina selatan, berjanji bahwa instabilitas di wilayah selatan negara ini akan berakhir dalam 2-3 tahun mendatang. Dalam acara yang digelar di kota Davao itu, ia meyakinkan warga Muslim untuk mengembalikan perdamaian di Mindanao.
Menurut Presiden baru Filipina, untuk menyelesaikan persoalan di selatan negaranya, ia harus berdialog terlebih dahulu dengan Front Pembebasan Islam Moro (MILF) dan Front Pembebasan Nasional Moro (MNLF). Duterte mengatakan, pemerintah baru Fililipa akan mempersiapkan struktur pemerintahan federal yang memungkinkan untuk menyelesaikan kekerasan di Mindanao.
Selama beberapa dekade terakhir, kekerasan melanda Filipina selatan. Kondisi ini merupakan tantangan bagi pemerintahan di negara ini. Pemerintahan Filipina sebelumnya berhasil mengambil langkah-langkah untuk merealisasikan perdamaian di Mindanao melalui mediasi Malaysia. Saat ini, rakyat Muslim Filipina berharap kepada Duterte untuk mengambil langkah tegas guna memajukan proses perdamaian tersebut.
Di sisi lain, Duterte mengusulkan untuk memberikan keamaman yang diperlukan bagi kembalinya Jose Maria Sison, Pendiri Partai Komunis Filipina yang melarikan diri ke Eropa 30 tahun lalu dan dicatat ke dalam daftar teroris AS. Presiden baru Filipina berharap kembalinya Sison akan membuka solusi untuk sebuah kesepakatan politik dengan para pemberontak komunis dan mengakhiri bentrokan yang hingga sekarang telah menewaskan lebih dari 30.000 orang.
Selain itu, aktivitas para penjahat dan pelaku kriminal juga mengancam keamanan Filipina. Oleh karena itu, Duterte sejak awal menegaskan akan menegakkan hukuman mati terhadap para pembunuh dan pemerkosa. Ia menyebut para pendukung HAM yang menentang hukuman mati terhadap para penjahat sebagai "bodoh." Penegasan Duterte tersebut diungkapkan ketika sebelumnya, Zeid Ra'ad al-Hussein, Komisaris PBB untuk HAM memintanya untuk tidak menegakkan kembali hukuman mati di Filipina.
Presiden baru Filipina meyakini bahwa "menggantung para penjahat lebih menghemat peluru." Pada tahun 2006, pemerintah Filipina menghapus hukuman mati disebabkan penentangan gereja-gereja Katolik, di mana agama ini menjadi keyakinan 80 persen penduduk Filipina. Duterte menilai gereja-gereja Katolik sebagai institusi "paling munafik" di negara tersebut. Ia mengkritik kebijakan standar ganda gereja Katolik Filipina dan mengatakan, para pemimpin gereja memperkaya diri di hadapan warga miskin Filipina.
Duterte yang telah lama tinggal di Davao berhasil menang dalam pemilu presiden pada tanggal 9 Mei 2016 setelah ia di masa kampanyenya berjanji akan mengakhiri kejahatan dan korupsi dalam enam bulan pertama pemerintahannya. Oleh karena itu, rakyat Filipina sangat menantikan langkah pemerintahan baru negara ini untuk memberantas para penjahat dan menciptakan keamanan publik. Duterte meminta masyarakat yang memiliki senjata untuk menembak mati para pengedar narkoba jika mereka melakukan perlawanaan ketika akan ditangkap.
Duterte menegaskan, pemerintah akan memberikan hadiah kepada masyarakat yang membantu dalam memberantas para penjahat. Janji tersebut disambut meriah oleh warga Filipina yang telah lelah dengan aksi kejahatan di negaranya. Namun banyak pejabat polisi yang meyakini bahwa menepati janji besar tersebut adalah tidak mungkin. Lembaga-lembaga HAM memperingatkan dampak upaya Duterte untuk memberantas para penjahat. Lembaga-lembaga HAM memperingatkan dampak upaya anti-penjahat yang diprogramkan Duterte. Sebab, upaya tersebut dikhawatirkan akan menimbulkan pelanggaran HAM yang luas.