Radikalisme dan Rasialisme Buddha di Myanmar 2-habis
(last modified Wed, 07 Dec 2016 12:31:23 GMT )
Des 07, 2016 19:31 Asia/Jakarta

Gerakan 969 adalah kelompok Buddha yang paling mematikan di Myanmar dan dipimpin oleh biksu ekstrim Ashin Wirathu. Pada tahun 2013, mereka memulai gerakannya dengan memutilasi 20 pelajar Muslim di kota Meiktila. Gerakan 969 menculik para pelajar itu dan memutilasi mereka dan kemudian membakarnya. Para ekstrimis Buddha membakar rumah-rumah warga Muslim, sekolah dan masjid, yang memaksa ribuan warga mengungsi di tengah aksi kekerasan.

Win Htein, seorang anggota oposisi di parlemen Myanmar mengatakan, jumlah korban tewas di kota Meiktila sekitar 20 orang setelah mayat hangus ditemukan di jalan-jalan. Dia menambahkan, "Saya belum melihat skala kekerasan ini sebelumnya dalam hidup saya. Saya menyesalkan sikap aparat keamanan yang memilih diam menyaksikan kejahatan yang dilakukan oleh Gerakan 696."

Di Myanmar, militer, para politisi, dan biksu Buddha menjalin hubungan yang sangat dekat. Junta militer telah berkuasa di Myanmar sejak tahun 1962 dan mereka memanfaatkan pengaruh biksu Buddha untuk melegitimasi kekuasaannya di masyarakat. Oleh karena itu, junta militer Myanmar selalu menutup mata terhadap kejahatan yang dilakukan oleh ekstrimis Buddha. Para biksu yang punya pengaruh di pemerintah juga berusaha menarik dukungan militer terhadap program dan kebijakan mereka.

Dukungan mantan Presiden Myanmar Thein Sein kepada Gerakan 969 juga berada dalam konteks ini. Dalam merespon protes berbagai pihak di Myanmar terhadap kejahatan Gerakan 969, Thein Sein membela habis-habisan gerakan itu dan menyebut Ashin Wirathu sebagai orang mulia dan anak Buddha. Para biksu Buddha – yang menolak pemikiran dan pandangan ekstrim Wirathu – percaya bahwa tanpa dukungan militer dan kubu ekstrim di pemerintah, maka Gerakan 969 tidak akan pernah mampu melakukan kejahatan di Provinsi Rakhine.

Militer Myanmar selalu muncul setelah Gerakan 969 melancarkan aksi beringas dan anehnya militer justru memaksa masyarakat Muslim Rohingya untuk meninggalkan rumah-rumah mereka dan pergi ke tempat yang disebut aman. Militer Myanmar tidak menangkap para ekstrimis Buddha yang melakukan kejahatan dan kekerasan.

Perintah untuk mengosongkan rumah-rumah masyarakat Muslim sebenarnya hanya trik militer Myanmar untuk memindahkan mereka ke kamp-kamp penampungan dan kemudian mereka dipaksa untuk meninggalkan Myanmar. Muslim Rohingya terpaksa harus mencari perlindungan ke negara-negara tetangga seperti, Bangladesh, Thailand, dan Malaysia. Di tempat baru, Muslim Rohingya juga ditampung di kamp-kamp yang tidak layak huni dan tidak memiliki fasilitas dasar untuk hidup.

Junta militer Myanmar mengadopsi kebijakan yang mempromosikan kebencian terhadap Muslim di negara itu. Larangan pembangunan masjid baru dan renovasi masjid tua oleh junta militer telah membuka peluang kepada ekstrimis Buddha untuk menghancurkan puluhan masjid di Myanmar. Media-media pemerintah Myanmar dan Barat selama ini mengesankan ada pertikaian kedua pihak antara Muslim Rohingya dan ekstrimis Buddha, tapi faktanya ini adalah serangan kelompok-kelompok terorganisir terhadap Muslim dengan dukungan junta militer.

Mantan Komisaris Besar di Bidang HAM PBB, Navi Pillay mengatakan bahwa Muslim di Myanmar tengah menghadapi ancaman buruk yang disponsori oleh pemerintah. Ia menambahkan, "Kami menerima banyak laporan dari berbagai badan kemanusiaan tentang keadaan Myanmar, di mana terjadi diskriminasi dan tindakan sewenang-wenang dari pasukan keamanan pemerintah." Menurut Pillay, sampai saat ini Muslim Rohingya adalah warga negara yang tidak diakui pemerintah.

Pengacara asal India, Sahana Basavapatna mengatakan, warga Rohingya tidak diakui sebagai warga negara di Myanmar. Mereka tidak mendapat bantuan pendidikan dan kesehatan. Karena tidak diakui keberadaanya, kehidupan mereka di sana pun sangat sengsara, dengan adanya pembatasan tanah, diskriminasi layanan pendidikan, kesehatan, dan fasilitas publik lainnya.

Pemerintah Myanmar menganggap warga Rohingya sebagai imigran asal Bangladesh. Mereka tidak punya pengaruh apapun di pemerintah sehingga tidak bisa melawan kejahatan kelompok ekstrimis Buddha. Sejak dulu, junta Myanmar menerapkan program sistematis pembersihan agama dari Muslim Rohingya, dengan mengabaikan hak-hak dasar mereka, yaitu hak untuk bebas bergerak, pernikahan, keyakinan, identitas, kepemilikan bahasa, warisan dan budaya, kewarganegaraan, pendidikan dan lain-lain.

Transmigrasi umat Buddha ke wilayah berpenduduk Muslim, Rakhine adalah strategi lain junta militer Myanmar untuk merealisasikan program pembersihan agama dari Muslim Rohingya. Kebijakan ini bertujuan untuk mengubah komposisi etnis, agama, dan suku di Myanmar. Pemerintah bahkan mendukung pembangunan kuil-kuil Buddha di depan masjid-masjid masyarakat Rohingya.

Gerakan 969 secara terang-terangan didukung oleh pemerintah Myanmar dan pihak-pihak Barat. Kelompok itu memperoleh restu untuk melanjutkan kejahatannya terhadap Muslim Rohingya. Meski majalah Time telah memperkenalkan Ashin Wirathu sebagai 'The Face of Buddhist Terror', namun negara-negara Barat tidak memasukkan nama Wirathu dan kelompoknya dalam daftar organisasi teroris. Vihara utama Burma di Inggris bahkan memberikan penghargaan "freedom of religion" kepada Wirathu. Lebih konyol lagi, Thein Sein menganggap Wirathu layak menerima Hadiah Nobel.

Analis memperingatkan bahwa kebebasan Wirathu untuk menyebarkan isu apa saja – termasuk kebencian terhadap Islam – harus menjadi perhatian seluruh dunia. Aktivis HAM Myanmar, Maung Zarni mengatakan bahwa gerakan kebencian seperti Gerakan 969 itu tidak bisa ditolerir. Apalagi bila terjadi di Eropa.

Selama junta militer berkuasa di Myanmar, pemimpin oposisi Aung San Suu Kyi bahkan memperoleh dukungan dari komunitas Muslim untuk menentang militer dan memperjuangkan hak asasi manusia. Mereka berharap di bawah kepemimpinan Suu Kyi, penderitaan dan kesengsaraan Muslim Rohingya akan berakhir. Akan tetapi, Suu Kyi memilih posisi aman di hadapan kelompok Buddha ekstrim. Oleh sebab itu, Suu Kyi dan partainya Liga Nasional untuk Demokrasi (NLD), sama sekali tidak berbuat sesuatu untuk menyelesaikan masalah Muslim Rohingya.

Pemerintah bahkan mengganti istilah Rohingya dengan sebutan komunitas Muslim negara bagian Rakhine. Meski demikian, para ekstrimis Buddha sejalan dengan kebijakan diskriminasi terhadap Muslim di Myanmar, menentang usulan pemerintah untuk memakai istilah baru itu bagi etnis Rohingya. Mereka menyebut Muslim Myanmar sebagai imigran ilegal dari Bangladesh dan penggunaan istilah komunitas Muslim negara bagian Rakhine adalah ilegal.

Muslim Rohingya percaya bahwa masyarakat internasional lebih baik memperkenalkan Gerakan 969 sebagai organisasi teroris daripada memberikan pujian yang tidak tepat terhadap proses reformasi politik di Myanmar. Mereka meminta lembaga-lembaga internasional untuk menekan pemerintah Myanmar agar memberikan hak kewarganegaraan kepada Muslim Rohingya. Mereka juga menaruh harapan besar kepada negara-negara Muslim dan Organisasi Kerjasama Islam (OKI), yang selama ini bersikap pasif terhadap kejahatan ekstrimis Buddha.

Mayoritas warga dan biksu Buddha di Myanmar tetap menekankan prinsip-prinsip kerukunan beragama dan hidup damai berdampingan dengan Muslim dan minoritas lain. Mereka menganggap Muslim sebagai saudaranya yang sudah hidup berdampingan selama bertahun-tahun. Namun, pemerintah Myanmar justru mendukung kelompok-kelompok Buddha ekstrim dengan membatasi hak-hak Muslim, termasuk membatasi angka kelahiran, larangan pembangunan masjid, dan batasan-batasan lain. Fenomena ini akan menyeret Myanmar dalam rasisme, yang dipaksakan oleh kelompok-kelompok ekstrim seperti Gerakan 969.

Tags