Tantangan Struktural Uni Eropa
Uni Eropa saat ini tengah menghadapi pelbagai macam krisis. Mulai dari krisis ekonomi yang masih melilit sejumlah negara anggota organisasi ini.
Pekerjaan rumah Uni Eropa diperberat dengan krisis pencari suaka ke negara-negara Eropa, ditambah keluarnya Inggris dari organisasi ini yang menguatkan tren nasionalisme yang membahayakan ide dan semangat Uni Eropa. Selain itu friksi antara negara-negara anggota Uni Eropa yang kuat dan lemah semakin melebar. Padahal mereka semakin sering menghadapi ancaman aksi teroris.
ada saat yang sama warga negara anggota Uni Eropa melihat negatif organisasi ini akibat kinerja yang kurang memuaskan dalam upaya menyelesaikan krisis ekonomi negara-negara anggota dan krisis para pencari suaka. Sejatinya Uni Eropa menghadapi sejumlah krisis yang membutuhkan satu sikap para pejabatnya dengan menerapkan reformasi segera dan luas berdasarkan kesepakatan bersama. Dengan demikian, secara umum tantangan yang di hadapai Uni Eropa dapat dibagi tiga; kesatuan, ekonomi dan sosial.
Tantangan terbesar yang tengah di hadapi Uni Eropa adalah kesatuan yang menarget keberlangsungan kesatuan organisasi ini. Krisis ini semakin tampak ketika rakyat Inggris dalam referendum menyetujui negaranya keluar dari Uni Eropa (Brexit) pada 23 Juni 2016. Hasil referendum itu pada dasarnya peringatan serius kepada para pemimpin Uni Eropa bahwa ide kesatuan Eropa sedang berada dalam bahaya. Hal itu muncul setelah terbukti organisasi ini tidak mampu menyelesaikan krisis ekonomi yang terjadi di sebagian negara anggotanya dan kini krisis pencari suaka.
Alasan penting mengapa rakyat Inggris dalam refendum memilih keluar dari Uni Eropa dikarenakan aturan-aturan Uni Eropa yang memberatkan. Ketua Komisi Uni Eropa, Jean Claude Juncker tidak serta merta menyalahkan pemerintah Inggris dalam masalah Brexit, tapi menekankan bahwa justru kelemahan kinerja lembaga ini yang mendorong warga Inggris memilih keluar dari Uni Eropa. Sejatinya, ia menilai intervensi Uni Eropa terhadap negara-negara anggota yang menyebabkan keinginan keluar dari organisasi ini semakin besar. Brexit kini menjadi alasan bagi negara-negara anggota lain UE untuk memisahkan diri dari organisasi ini.
Di Perancis, Marine Le Pen pemimpin kubu Nasionalis Kanan Ekstrem di masa kampanye menjanjikan akan memisahkan Perancis dari Uni Eropa. Namun ide ini urung dilaksanakan setelah dikalahkan Emmanuel Macron, calon independen pada putaran kedua pilpres Perancis. Yang terjadi saat ini di Uni Eropa, kepala-kepala negara anggota UE berusaha sekuat tenaga mencegah fenomena pemisahan negara-negara anggota dari Uni Eropa. Mereka saat ini meminta agar posisi Inggris segera diperjelas dan segera keluar dari organisas ini.
Bagaimanapun juga fenomena Brexit telah mengancam eksistensi Uni Eropa dengan ide Eropa yang satu. Para pemimpin Eropa saat ini berharap dampak negatif Brexit secara bertahapa segera tampak, baik di Inggris sendiri atau di Uni Eropa agar rakyat negara-negara anggota Uni Eropa segera mengambil sikap. Karena mereka tahu keluard ari Uni Eropa akan berdampak buruk bagi mereka.
Sementara tantangan struktural Uni Eropa di bidang sosial menjadi kekhawatiran tersendiri bagi para pejabat senior Uni Eropa, bahkan mereka telah menyampaikan peringatan langsung. Krisis sosial ini terkait tingginya pertumbuhan partai dan gerakan ekstrem kanan dan keberhasilan mereka meraih kursi di parlemen negara-negara anggota UE. Begitu juga dengan munculnya politikus populism sebagai pemimpin partai dan yang lebih penting lagi mereka punya motivasi kuat setelah Donald Trump menjadi Presiden Amerika.
Para pemimpin Eropa juga punya kekhawatiran yang sama terkait meluasnya nasionalisme ekstrem dan populisme di Uni Eropa. Angela Merkel, Kanselir Jerman dan Francois Hollande, Presiden Perancis telah memperingatkan bahanya pertumbuhan populisme di Uni Eropa dan menegaskan pentingnya persatuan dan solidaritas di organisasi ini, khususnya pasca keluarnya Inggris dari UE. Selain itu, dampak berkembangnya nasionalisme ekstrem di Eropa berangkat dari kebijakan proteksionisme di bidang ekonomi. Padahal kebijakan ini bertentangan dengan prinsip solidaritas ekonomi dan perdagangan antara negara-negara anggota UE.
Kini di antara para politikus senior Eropa, baik para pejabat negara atau Uni Eropa, ada kekhawatiran pada diri mereka terkait sambutan warga akan partai dan gerakan ekstrem kanan di Eropa. Karena fenomena ini akan berujung pada berkuasanya para politikus di negara-negara UE yang tidak punya keyakinan akan ide kesatuan dan solidaritas Eropa. Perlahan-lahan mereka bergabung dalam kubu nasionalisme ekstrem yang menuntut kembali pada identitas nasional dan bebas menentukan nasib di segala bidang.
Contoh terbarunya adalah popularitas Marine Le Pen dalam pemilu presiden Perancis dari partai Nasionalis Kanan Ekstrem. Popularitasnya membawanya menjadi kandidat yang masuk dalam pemilu putaran kedua dan bersaing dengan Emmanuel Macron, calon independen yang pro ide Eropa bersatu. Pemilu presiden ini dimenangkan Emmanuel Macron dengan meraup sekitar 65,8 persen suara, sementara Le Pen hanya mengantongi suara sebesar 34,2 persen.
Tantangan struktural ketiga yang di hadapi Uni Eropa adalah cara pandang berbeda terkait kebijakan moneter, ekonomi dan bagaimana keluar dari krisis ekonomi. Kondisi ini membuat munculnya perbedaan pendapat antara negara-negara anggota UE. Kondisi ini ditambah dengan semakin melebarnya perbedaan antara negara-negara yang kaya dan miskin di Uni Eropa. Kenyataan ini membuat perbedaan yang menjadi semakin kompleks dan penyelesaiannya juga menjadi tidak mudah seperti yang dibayangkan.
Negara-negara kaya Uni Eropa terbanyak di barat dan utara Eropa, sementara yang miskin berada di timur dan selatan Eropa. Negara-negara besar Eropa sampai pada satu kesimpulan bahwa dengan mencermati kapasitas dan potensi berbeda negara-negara Uni Eropa, dari Jerman yang kaya hingga negara Bulgaria yang tergolong miskin di Eropa, maka berharap semua berjalan bersama dalam satu proyek besar bernama Eropa sangat tidak realistis.
Oleh karenanya, permintaan kepala-kepala negara besar Eropa kini berubah. Mereka tidak lagi memaksa partisipasi semua negara anggota Uni Eropa dalam proyek dan rencana yang diinginkan Uni Eropa. Ada prioritas bagi negara-negara kuat dan kaya Uni Eropa yang harus merealisasikan rencana bersama di bidang pertahanan dan keamanan untuk membentuk pasukan bersama Eropa. Sementara di bidang sosial negara-negara kaya UE ini harus menyelesaikan krisis pencari suaka dan ekonomi dalam program bersama memperkuat mata uang euro. Dan di bidang politik, mereka harus mengambil kebijakan bersama terkait masalah internasional.
Beberapa negara seperti Jerman dan Perancis menuntut integrasi maksimal negara-negara anggota Uni Eropa dan pada gilirannya mengubah organisasi menjadi entitas politik federal yang memiliki kesatuan ekonomi, militer dan politik luar negeri. Tapi tampaknya para pemimpin Uni Eropa ini lalai akan satu kenyataan bahwa ketergesa-gesan negara-negara timur dan tengah Eropa bergabung dengan Uni Eropa di dekade 2000-an tanpa memperhatikan syarat keanggotaan negara-negara ini telah menjadi masalah tersendiri bagi Uni Eropa.
Praktisnya kini kita menyaksikan adanya friksi serius antara negara-negara “kaya dan miskin” di Uni Eropa. Krisis ekonomi di tahun 2008 dan bagaimana negara-negara anggota Uni Eropa berusaha mencari jalan keluar dari masalah ini menunjukkan betapa seriusnya perbedaan mereka. Kebijakan pengetatan ekonomi dan paket bantuan ekonomi negara-negara kaya Eropa berbeda dengan yang diinginkan negara-negara “miskin” Eropa. Begitu juga soal penyerahan sebagian kedaulatan dan wewenang negara kepada lembaga-lembaga di bawah Uni Eropa. Dan pada akhirnya munculnya krisis pencari suaka ke Eropa membuat semakin bertambah keraguan akan keberlangsungan Uni Eropa dalam bentuknya yang sekarang.
Harus diperhatikan bahwa garis friksi di dalam Uni Eropa tidak terbatas pada perbedaan dalam menangangi para pencari suaka yang kini menjadi tantangan terbesar bagi organisasi ini. Namun semakin memburuknya masalah para pencari suaka dan luasnya dimensi masalah membuat berlanjutnya perbedaan dalam menangani masalah ini akan menambah jurang perbedaan di dalam Uni Eropa. Kondisi ini dapat berujung pada bubarnya Uni Eropa, khususnya negara-negara kecil di timur dan tengah Eropa yang tidak mau mengikuti keputusan Uni Eropa dan secara transparan membela kepentingan nasionalnya ketimbang kepentingan UE.