Ketika Militer Zionis Menyesal telah Memperluas Perang hingga ke Lebanon
Seiring berjalannya waktu sejak perluasan serangan rezim Zionis di Lebanon selatan, kerugian militer dan manusia yang ditimbulkan rezim ini juga berlipat ganda.
Walikota Haifa yang diduduki di utara Wilayah Pendudukan mengumumkan pada hari Minggu (27/10) bahwa seorang perwira rezim Zionis lainnya tewas dalam pertempuran di Lebanon.
Surat kabar Zionis Yediot Ahronoth juga melaporkan bahwa sebuah pesawat tak berawak menghantam kawasan industri Bar Lev di kota Karmiel dan menyebabkan kerusakan pada sebuah pabrik.
Hari Sabtu (26/10), sumber-sumber berbahasa Ibrani melaporkan terjadinya tiga insiden keamanan serius terhadap tentara rezim Zionis di Lebanon selatan dan bentrokan hebat di wilayah tersebut.
Departemen Sensor Militer Tentara Pendudukan Al-Quds tidak mengizinkan publikasi rincian peristiwa kejam ini, tapi beberapa sumber telah mengkonfirmasi kematian setidaknya 6 tentara Israel lainnya.
Media berbahasa Ibrani Hadshut Bezman juga memberitakan pendaratan beberapa helikopter yang membawa tentara Zionis yang terluka di rumah sakit Beilinson.
Amos Harel, analis surat kabar Zionis Haaretz memperingatkan para pemimpin rezim ini mengenai terjebak di rawa Jalur Gaza dan Lebanon, dan kurangnya perspektif politik untuk keluar dari situ.
Lebih dari 140 tentara cadangan rezim Zionis telah menandatangani surat yang ditujukan kepada Benjamin Netanyahu, Perdana Menteri Rezim Zionis, dan Yoav Galant, Menteri Perang Rezim Zionis, dan telah menekankan bahwa selama perjanjian pertukaran tawanan antara rezim Zionis dan Palestina tidak dilakukan dan tentara yang ditangkap tidak dikembalikan, mereka akan keluar dari dinas ketentaraan.
Beberapa tentara ini menyatakan bahwa mereka telah mencapai "titik puncaknya" dan memutuskan untuk menghentikan dinas mereka.
Dalam laporan terbarunya, tentara Israel mengumumkan bahwa jumlah pasukannya yang tewas dalam operasi Badai Al-Aqsa yang dimulai pada Oktober 2023 mencapai 898 orang.
Korban tersebut antara lain tewasnya Kapten Eliav Abitbul, salah satu perwira tentara Israel, yang menurut Shafir Adir Noman, ketua Dewan Regional Moshav Eitan, tewas dalam pertempuran di Lebanon selatan.
Setelah hampir setahun konfrontasi dengan Hizbullah, yang dimulai sehari setelah operasi Badai Al-Aqsa pada tanggal 7 Oktober 2023, rezim pendudukan Al-Quds mengumumkan pada tanggal 1 Oktober 2024 bahwa pasukannya telah memasuki Lebanon selatan untuk melakukan serangan “operasi darat terbatas”.
Pengumuman Israel ini muncul setelah dua pekan meningkatnya bentrokan yang dimulai dengan ledakan alat komunikasi Hizbullah, disusul serangan udara yang menewaskan sejumlah pemimpin Hizbullah, termasuk Sayid Hassan Nasrallah, Sekretaris Jenderal Hizbullah, dan penggantinya Sayid Hashem Safiuddin.
Meskipun setelah sebulan sejak awal konflik, perang darat sebagian besar masih terbatas di perbatasan karena perlawanan kuat Hizbullah dan tentara Israel belum membuat kemajuan apa pun di daerah perbatasan dan desa-desa di Lebanon selatan, tapi serangan udara telah berhasil mencapai kemajuan, termasuk sebagian besar Lebanon dan khususnya daerah di mana basis Hizbullah atau pendukungnya berada, seperti Dahieh, selatan Beirut, Bekaa dan Lebanon selatan menjadi sasaran, yang mengakibatkan sekitar 15.000 warga sipil Lebanon gugur syahid dan terluka, sementara lebih dari satu juta lainnya terpaksa mengungsi. Hal ini menyebabkan Hizbullah meningkatkan intensitas dan cakupan serangannya serta menimbulkan banyak korban dan kerusakan pada tentara Zionis.
Dengan dimulainya serangan darat tentara Israel di Lebanon selatan awal bulan ini, Israel juga menargetkan pasukan UNIFIL untuk menekan mereka agar mundur dari wilayah tersebut.
Untuk tujuan ini, mereka dengan sengaja menghancurkan salah satu menara pengintai dan pagar UNIFIL di kota Marwahin di Lebanon selatan, dan berulang kali menembak "dengan sengaja" ke posisi pasukan UNIFIL.
Rezim Zionis menekankan peran dirinya dan pasukan sekutunya, termasuk Amerika Serikat, di masa depan Lebanon.
Rencana ekspansionis ini sebenarnya adalah upaya untuk mengerahkan pasukan multinasional bersama-sama dengan Israel, bukan pasukan UNIFIL, yang mengungkap bagian lain dari tujuan rezim Zionis yang tidak diumumkan untuk memperluas cakupan perang ke Lebanon.
Hal ini menggandakan pentingnya tindakan Gerakan Perlawanan Islam Lebanon dalam menangkis serangan darat tentara Zionis dan membuatnya menyesal telah melintasi garis merah Hizbullah dan pemerintah Lebanon.(sl)