Pro Kontra Revisi UU ITE
Revisi Undang-Undang nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) mulai berlaku pada Senin (28/11/2016). Pemberlakuan revisi ini sendiri dinilai pemerintah menjadikan UU ITE lebih longgar.
Pemberlakuan revisi UU ITE tersebut dinilai positif oleh sejumlah pakar digital dan media sosial Indonesia. Salah satunya oleh Pakar Digital Marketing Indonesia & Media Sosial, Anthony Leong. Ia menilai positif revisi UU ITE, karena menerapkan etika sosial yang ada di masyarakat pada dunia digital.
Seperti dicantumkan dalam UU ITE, masyarakat dilarang membuat dan menyebarkan informasi yang bersifat tuduhan, fitnah, maupun SARA yang mengundang kebencian.
“Ini sebuah potret implementasi norma yang ada di dunia nyata diberlakukan di dunia digital atau media sosial. Sangat penting diberlakukan agar pengguna media sosial punya koridor yang tidak boleh dilanggar,” ujarnya di Jakarta.
Dia juga mengaku mengapresiasi Kemenkominfo yang telah mempertimbangkan kajian yang telah dibuat oleh Asosiasi Pengusaha Digital Indonesia tentang filterisasi konten. Dia berharap pemberlakuan UU ITE dapat menjadi landasan etik masyarakat di dunia digital.
Dengan diberlakukannya revisi UU ITE tersebut, Anthony mendorong netizen untuk lebih berhati-hati saat mengunggah sesuatu di media sosial.
Setidaknya ada 4 poin krusial dalam Revisi Undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) yang mulai berlaku, Senin (29/11/2016).
Perubahan pertama, pada pasal 26 yaitu penambahan pasal hak untuk dilupakan atau "the right to be forgotten". Intinya, tambahan pasal ini mengizinkan seseorang untuk mengajukan penghapusan berita terkait dirinya pada masa lalu yang sudah selesai, tetapi diangkat kembali.
Perubahan kedua, ada di Pasal 40. Pemerintah berhak menghapus dokumen elektronik yang terbukti menyebarkan informasi melanggar undang-undang. Informasi yang dimaksud terkait pornografi, SARA, terorisme, pencemaran nama baik, dan lainnya. Jika ada situs berita resmi yang dianggap melanggar UU tersebut, penyelesaiannya akan mengikuti mekanisme di Dewan Pers.
Apabila situs yang menyediakan informasi tersebut tak berbadan hukum dan tak terdaftar sebagai perusahaan media, pemerintah bisa langsung memblokirnya.
Perubahan ketiga, menyangkut tafsir atas Pasal 5 terkait dokumen elektronik sebagai bukti hukum yang sah di pengadilan. UU ITE yang baru mengikuti putusan Mahkamah Konstitusi yang menyatakan dokumen elektronik yang diperoleh melalui penyadapan (intersepsi) tanpa seizin pengadilan tidak sah sebagai bukti.
Perubahan keempat, terkait pemotongan masa hukuman dan denda. Ancaman hukuman penjara diturunkan dari paling lama 6 tahun menjadi 4 tahun. Berdasarkan Pasal 21 KUHAP, tersangka selama masa penyidikan tak boleh ditahan karena hanya disangka melakukan tindak pidana ringan yang ancaman hukumannya penjara di bawah lima tahun.
Terkait hukuman denda, ada perubahan. Awalnya maksimal Rp 1 miliar, menjadi Rp 750 juta. Perubahan lain dengan menurunkan ancama pidana kekerasan Pasal 29, sebelumnya paling lama 12 tahun, diubah menjadi 4 tahun dan denda Rp 2 miliar menjadi Rp 750 juta.
Berlaku sejak kemarin, Senin (28/11), revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) jadi perhatian banyak pengguna internet di Indonesia. Sebagaimana diwartakan Liputan6.com, Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, revisi UU ITE disebabkan Indonesia tengah berusaha mengelola internet.
Revisi UU ITE, kata Samuel, sebenarnya telah dilakukan sejak 2012, namun baru terlaksana di 2016. Revisi UU ITE ini, tegas Samuel, diharapkan bisa memberi arah terkait pembangunan internet di dalam negeri. Pasalnya, pergerakan internet di Indonesia dinilai sangat cepat. Buktinya, terjadi peningkatan tajam pengguna internet menjadi 132 juta tahun ini, di mana semula hanya 42 juta di 2010.
"Pergerakan internet sangat cepat. Dalam enam tahun jumlah penggunanya sudah tiga kali lipat," kata Semuel di Gedung Kementerian Komunikasi dan Informatika, Jakarta, Senin (28/11), sebagaimana diwartakan Liputan6.com. Dengan jumlah yang demikian banyak, Samuel menilai ada tantangan tersendiri untuk mewujudkan tata kelola internet di Indonesia.
Ia juga menjelaskan, hakikatnya internet hadir dengan tujuan positif. "Karena itu, untuk menjamin keamanan dalam berinternet diperlukan payung hukum. Itu awalnya kenapa UU ITE dibentuk, yaitu mengatur tata penggunaan internet agar tidak chaos," katanya.
Sedangkan menurut anggota Komisi I DPR Tantowi Yahya, seperti dimuat Antara, revisi UU ITE dilakukan guna memberi batasan norma dalam berekspresi di media sosial. "UU tersebut sudah diberlakukan mudah-mudahan dengan adanya UU ITE segala sesuatu terkait komisi di medsos ada pagar-pagarnya," kata Tantowi di Gedung Nusantara II, Jakarta, Senin (28/11).
Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) menyatakan bantahannya terkait penilaian dari sejumlah aktivis bahwa revisi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) khususnya bagian Pasal "karet" 27 Ayat 3 sifatnya tidak substantif.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Samuel Pangerapan mengungkap alasan munculnya Pasal 27 Ayat 3 dalam revisi UU ITE yang telah disahkan tak bisa dihapus seperti keinginan pihak-pihak yang mengkritiknya.
"Kalau mengenai Pasal 27 Ayat 3 kita tidak bisa menghapuskan pasal itu karena ada di tempat lain," ujar Samuel yang ditemui di Gedung Kemkominfo, Senin (28/11).
Tempat lain yang dimaksudkan oleh Samuel adalah beberapa pasal yang membahas soal pencemaran nama baik di KUHP seperti Pasal 310 Ayat 1 dan Ayat 2. Dalam pasal tersebut, telah dijelaskan apa yang dimaksud dengan penistaan maupun pencemaran nama baik.
Namun, masuknya kembali Pasal "karet" di hasil akhir revisi UU ITE Nomor 11 Tahun 2008 ini justru menimbulkan pertanyaan.
Sejumlah aktivis menilai Pasal 27 Ayat 3 tidak berubah secara substantif dan justru mengulang hukum yang sudah ada di KUHP.
Menanggapi hal itu, Samuel membantahnya. Menurutnya apa yang dicapai oleh pemerintah dari revisi UU ITE justru substantif.
Ia pun menekankan pada perubahan ancaman kurungan yang awalnya 6 tahun menjadi 4 tahun ini menyebabkan seorang terlapor tak bisa ditahan ketika menjadi tersangka.
"Dulu kalau saya nuntut seseorang, mereka langsung ditahan. Kalau sekarang enggak boleh, dibuktikan dulu yang terlapor di pengadilan," terang Samuel.
Samuel juga menambahkan hasil revisi Pasal 27 Ayat 3 tak lepas dari pandangan pemerintah yang merasa ada ketimpangan kedudukan antara pelapor dan terlapor dalam kasus pencemaran nama baik yang mengacu pada aturan terdahulu.
Ia berharap status delik aduan pada pasal kontroversial ini dapat menyeimbangkan posisi masyarakat dalam hukum.
"Bagi mereka yang berharap ideal seperti di Barat mungkin ini kurang sempurna, tapi ini yang terbaik untuk kita saat ini," lanjut pria yang dulunya menjabat ketua Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII) itu.
Sebelumnya, sejumlah kritik makin deras menerpa pemerintah semenjak revisi UU ITE berlaku Senin (28/11) kemarin.
Damar Juniarto dari Kawasan Safenet salah satunya yang gencar menyoroti masalah yang masih bercokol di revisi UU ITE.
"UU ini tidak bisa mengantar keadilan, tapi justru membias ke arah-arah berbeda dari pasal yang seharusnya," ungkap Damar.
Kritik keras lainnya dari masyarakat dan netizen terhadap revisi ini banyak yang menganggap bahwa perubahan yang ada justru dinilai mempersempit kebebasan ruang berekspresi dan memberi ruang lebih luas bagi pemerintah dalam menafsirkan apa yang disebut pelanggaran hukum di ranah ITE. (Liputan6/CNN Indonesia/KRJogja)