Rencana Pemerintah Menaikkan Pajak Pertambahan Nilai
Pemerintah berencana menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang saat ini sebesar 10%. Tarif baru ini diharapkan bisa diterapkan pada tahun depan.
Wacana kenaikan tarif PPN ini pertama kali muncul dari Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati saat memaparkan rencana APBN 2022. Menurutnya, salah satu cara untuk meningkatkan penerimaan negara tahun depan adalah kenaikan PPN.
Direktur Jenderal Pajak Kementerian Keuangan Suryo Utomo pun membenarkan ada rencana kenaikan tarif pajak tersebut. Bahkan saat ini, Pemerintah tengah membahas untuk skema tarif yang akan dikenakan. Ada dua skema yang disiapkan yakni single atau multi tarif.
Suryo bilang ada dua skema yang tengah dibahas.
Pertama, single tarif PPN. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang PPN dan pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM) tarif PPN berada direntang 5% hingga 15%. Makanya aturan saat ini tarif PPN sebesar 10%.
Sehingga, untuk meningkatkan tarif PPN dengan skema single tarif pemerintah bisa hanya dengan menerbitkan peraturan pemerintah (PP) yang merupakan aturan pelaksana atas UU 46/2009.
Kedua, multitarif PPN. Suryo bilang beberapa negara telah menerapkan skema itu, misalnya Turky, Spayol, dan Italia. Multitarif artinya tarif PPN berdasarkan barang regular dan barang mewah. Untuk bisa menerapkan mekanisme ini maka pemerintah perlu merevisi UU 46/2009.
Suryo menjelaskan kebijakan untuk mengubah tarif PPN sejalan dengan langkah pemerintah untuk disiplin fiskal. Sebab, pada 2023 nanti defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) harus berada di bawah 3% terhadap produk domestik bruto.
Penolakan Kenaikan PPN
Ketua Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Rizal E. Halim menilai rencana pemerintah untuk menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun depan justru akan menekan daya beli masyarakat.
“Daya beli yang sudah tertekan akan semakin tertekan lagi,” katanya dalam webinar di Jakarta, Selasa.
Rizal menuturkan hal itu terjadi karena kenaikan tarif PPN dari 10 persen menjadi 15 persen akan menyebabkan kenaikan pada harga barang.
Menurutnya, masyarakat akan memilih untuk membatasi konsumsi karena tahun depan masih dalam situasi pemulihan sehingga kegiatan perekonomian belum kembali stabil.
Sementara itu, Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Ahmad Heri Firdaus menyebut rencana pemerintah menaikkan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) pada tahun depan, justru akan menurunkan pendapatan negara.
“Jadi tarif itu dinaikkan terus menerus bahkan melebihi titik optimal akan justru menurunkan pendapatan atau penerimaan secara agregat,” katanya dalam webinar di Jakarta, Selasa.
Heri menjelaskan kenaikan PPN pasti meningkatkan biaya produksi dan jika pandemi masih berlangsung pada 2022 maka masyarakat akan menahan daya belinya.
Ia menuturkan keputusan masyarakat untuk menahan konsumsi membuat permintaan barang dan jasa akan turun sehingga berdampak pada sektor usaha yaitu penurunan utilisasi.
Kemudian jika sektor usaha menurunkan utilisasi produksi dan penjualannya maka berdampak pada berkurangnya penyerapan tenaga kerja sehingga pendapatan masyarakat akan turun. (Kontan/Antaranews)