Radio-TV Islam Tuntut Keadilan Media dan Kebebasan Berekspresi
Pada hari Selasa (29/6/2021), ibu kota Iran, Tehran menjadi tuan rumah penyelenggaraan Sidang Majelis Umum Perhimpuan Radio dan Televisi Islam ke-10. Pertemuan ini mengusung tema "Keadilan Media dan Kebebasan Berekspresi".
Perhimpunan Radio dan Televisi Islam, IRTVU beranggotakan 228 institusi yang tersebar di 33 negara dunia, dengan 22 bahasa berbeda. Partisipasi luas ini tidak diragukan memainkan peran penting dalam pengembangan aktivitas media, dan pertumbuhan gerakan kebebasan informasi.
Pembahasan seputar alasan dan tujuan Amerika Serikat menunjukkan penentangan tegas terhadap media perlawanan termasuk di antara tema Sidang Majelis Umum Perhimpunan Radio dan Televisi Islam ke-10 di Tehran.
AS baru-baru ini menutup 40 situs milik poros perlawanan dan IRTVU. Hal ini membuktikan bahwa standar ganda AS tidak mengenal batas dan teritorial. Di antara situs yang ditutup AS adalah situs stasiun televisi Al Alam, Al Masirah, Al Nabaa, Al Forat, Karbala, Al Luluah, Al Kawthar, Al Naeem, Paltoday, dan Afaq.
Pertanyaannya adalah bagaimana kedudukan, dan peran media-media perlawanan dalam menjelaskan berbagai peristiwa yang terjadi secara transparan sehingga AS tidak punya pilihan lain selain menutup situs-situs media ini.
Salah satu penyebab terpenting dari langkah AS tersebut dapat ditelurusi dari keberhasilan media-media perlawanan meliput dan menyebarkan berita-berita sebenarnya tentang peristiwa yang terjadi di kawasan Asia Barat.
Direktur Lembaga Penyiaran Nasional Iran, IRIB, Ali Asghari dalam pidatonya pada pertemuan ini menyinggung klaim AS terkait kebebasan berpendapat dan berekspresi terutama di internet, dan dunia maya.
Ia menuturkan, "Upaya untuk menutup media-media Dunia Islam, baik itu media Republik Islam Iran maupun media-media front perlawanan, adalah bukti dari pengaruh besar media-media ini sehingga memaksa mereka menarik klaimnya tentang kebebasan berpendapat dan norma-norma asli yang mereka yakini, ini menunjukkan kelemahan dan keputusasaan kubu imperialis."
Media-media pendukung perlawanan terutama dalam beberapa tahun terakhir, memainkan peran signifikan dalam memberitakan realitas, dan peristiwa regional. Pemberitaan yang sesuai realitas ini telah menggagalkan banyak konspirasi, target propaganda, perang psikologis dan perang media AS, rezim Zionis Israel serta sekutu-sekutunya.
Kecenderungan publik kawasan dan dunia kepada media-media pendukung perlawanan, dan kepercayaan pada kinerja serta liputan pemberitaan tentang kenyataan dari sudut pandang media independen, memiliki pengaruh yang luas, dan bertolak belakang dengan unilateralisme serta kepentingan AS dan sekutu-sekutunya di kawasan.
Mohammed Ghazaleh, salah seorang analis politik Lebanon menjelaskan tentang tujuan AS menutup situs media-media poros perlawanan.
Ia mengatakan, "Jelas substansi langkah AS menutup media-media poros perlawanan bukan hanya sebagai sebuah langkah sepihak terhadap media-media tertentu, dan dilakukan dengan tujuan yang jelas, tapi langkah itu berlawanan dengan standar dan norma-norma kebebasan berekspresi."
Pasal 19 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia PBB mengatakan, "Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat, dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat tanpa mendapat gangguan, dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat dengan cara apa pun dan dengan tidak memandang batas-batas."
Maka dari itu tujuan AS melakukan penutupan situs media-media perlawanan, jelas. AS ingin membungkam suara bangsa-bangsa dunia. Langkah ini dilakukan bersamaan dengan penarikan dan pengurangan jumlah pasukan AS di Asia Barat.
Hal ini membawa pesan dimulainya konfrontasi khusus yang membutuhkan kesadaran, kewaspadaan dan kesiapan dari radio-radio serta stasiun televisi independen di kawasan. Pada situasi seperti sekarang ini, peran penting media front perlawanan adalah menyuarakan kemajuan, dan melawan propaganda musuh, serta upaya-upaya pembungkaman.
Direktur Divisi Siaran Luar Negeri IRIB, Peyman Jebeli menegaskan, "Langkah AS menutup situs-situs media poros perlawanan justru telah meningkatkan tekad media-media ini dalam melawan aksi AS dan memperkuat solidaritas mereka."
Sekarang media-media perlawanan dengan tekad dan motivasi berlipat ganda akan melanjutkan laporan-laporan peristiwa nyata, dan berita-berita akurat berdasarkan prinsip jurnalistik profesional, sehingga menyadarkan publik negara-negara Barat. (HS)