Iran dan Sahel Afrika; Terbentuknya Kemitraan Baru di Era Transisi Geopolitik
Pars Today - Perjalanan terbaru Asisten Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran ke Niger, Mali, dan Burkina Faso dapat dianggap sebagai langkah penting dalam menghidupkan kembali diplomasi Afrika Iran.
Dalam kunjungan Akbar Khosravinejad, Asisten Menteri Luar Negeri dan Direktur Jenderal Afrika di Kementerian Luar Negeri Iran, ke Niger, Mali, dan Burkina Faso, tidak hanya pesan resmi Menteri Luar Negeri Republik Islam Iran disampaikan secara terpisah kepada para menteri luar negeri negara-negara tersebut, tetapi juga menunjukkan pendekatan baru kebijakan luar negeri Iran terhadap kawasan Sahel Afrika.
Menurut laporan Pars Today, ketiga negara tersebut dalam beberapa tahun terakhir dengan menempuh jalur independen dan menekankan pemisahan dari poros lama yang dapat disebut sebagai tatanan bergantung, telah membentuk model baru pemerintahan berbasis kemandirian, menjaga integritas teritorial, serta memperluas kerja sama bilateral, multilateral, dan internasional dengan negara lain, sehingga menarik perhatian banyak aktor regional dan global.
Dalam konteks ini, keterlibatan aktif Iran di kawasan ini menunjukkan perhatian Tehran terhadap dinamika baru Afrika dan peluang kerja sama Selatan–Selatan.
Pesan utama dari perjalanan ini dapat dirangkum dalam satu pernyataan: Iran menginginkan pengembangan hubungan yang setara, seimbang, tanpa prasyarat, non-intervensi, dan berbasis kepentingan bersama dengan negara-negara kawasan Sahel Afrika.
Pendekatan ini, yang berbeda dari pola historis dominasi dan pengaruh asing di kawasan Sahel, memiliki arti penting bagi pemerintahan baru negara-negara tersebut. Dalam pertemuan dengan para menteri luar negeri negara-negara Sahel, pesan persahabatan dan undangan resmi dari Menteri Luar Negeri Iran disampaikan, sekaligus menegaskan dukungan Tehran terhadap pendekatan independen dan anti-kolonial negara-negara tersebut serta upaya terarah para pemimpin tiga negara ini untuk membangun dan memperkuat aliansi mereka dengan nama Aliansi Negara-Negara Sahel.
Respons positif pemerintah Niger, khususnya dengan mempertimbangkan sikap independen negara ini dalam pemungutan suara di Badan Energi Atom Internasional, menunjukkan bahwa pendekatan berbasis penghormatan Iran di Afrika Barat mendapat sambutan baik.
Dari Politik ke Ekonomi: Prioritas Nyata Tiga Negara Sahel
Meskipun perjalanan Direktur Jenderal Afrika Kementerian Luar Negeri Iran bersifat politik, isi pembicaraan secara signifikan berfokus pada ekonomi dan pembangunan.
Negara-negara Sahel menghadapi dua tantangan besar: pertama, keamanan pangan dan pengembangan pertanian; kedua, kekurangan infrastruktur kesehatan, farmasi, energi, dan pendidikan teknis.
Kapasitas Iran sangat sesuai dengan kebutuhan ini. Perusahaan berbasis pengetahuan Iran dalam bidang farmasi, peralatan medis, air, dan energi berbiaya rendah dapat memainkan peran penting dalam memperbaiki kondisi negara-negara tersebut. Karena itu, dalam pembicaraan yang dilakukan, beberapa kesepakatan awal dicapai:
- Kerja sama dalam bidang pertanian dan keamanan pangan
- Pemanfaatan teknologi Iran dalam elektrifikasi, penyaringan air, dan energi surya
- Partisipasi dalam bidang kesehatan dan farmasi
- Kajian jalur transit baru untuk menghubungkan Afrika Barat dengan Teluk Persia dan Asia Barat
Jika poin-poin ini masuk ke tahap pelaksanaan, hubungan Iran dengan negara-negara Sahel dapat berkembang dari tingkat politik ke tingkat kerja sama struktural dan berkelanjutan.
Awal Jalur Baru Diplomasi Afrika Iran
Bagian penting dari signifikansi perjalanan ini terletak pada dampak masa depannya. Ketiga menteri luar negeri Niger, Mali, dan Burkina Faso menyambut undangan resmi Iran, dan diharapkan dalam beberapa bulan mendatang akan ada kunjungan timbal balik ke Tehran.
Pertukaran politik ini tidak hanya akan menghasilkan penandatanganan dokumen kerja sama, tetapi juga membuka jalan bagi masuknya delegasi teknis dan sektor swasta dari kedua belah pihak. Dengan keterlibatan aktif di kawasan Sahel, Iran sedang membentuk sebuah “kedalaman baru Afrika” dalam kebijakan luar negerinya.
Kedalaman ini bukan berdasarkan intervensi, ketergantungan, atau persaingan keras kekuatan besar, melainkan dibangun di atas kerja sama nyata, transfer teknologi praktis, dan penghormatan terhadap kemandirian bangsa-bangsa.(sl)