Penekanan Komandan Pasukan Quds IRGC Pada Perlunya Membalas Agresi Musuh Zionis
Brigjen Ismail Ghaani, Komandan Pasukan Quds dari Korps Garda Revolusi Islam (IRGC), pada hari Minggu (16/05/2021) melakukan pembicaraan via telepon dengan Ismail Haniyeh, Kepala Biro Politik Hamas, selain mengutuk kebrutalan rezim pendudukan memuji respons unik dan sukses Perlawanan terhadap agresi musuh Zionis dan membela bangsa Palestina.
Bentrokan antara perlawanan Palestina dan rezim Zionis, yang dimulai pada hari Senin (10/05/2021) setelah berakhirnya ultimatum Perlawanan terhadap Tel Aviv atas perlunya diakhirinya agresi rezim di Baitul Maqdis dan Masjid al-Aqsa, terus berlanjut.

Menurut Organisasi Pertahanan Sipil di Gaza, jumlah syuhada Palestina sejak awal serangan dan pengeboman rezim Zionis di berbagai wilayah Gaza hingga hari Sabtu (15/05/2021) telah lebih dari 140 orang, termasuk 39 anak-anak dan 22 wanita.
Rezim Zionis terus membunuh rakyat Palestina di depan mata dunia, sedangkan Amerika Serikat dan beberapa negara Eropa telah berpihak pada rezim kriminal ini, namun apa alasan dukungan tersebut?
- Baca juga: Tolak Protes Anti-Zionis, Jerman dan Prancis Simbol Dukungan Barat untuk Kejahatan Israel
Asia Barat telah menjadi prioritas tujuan trans-regional AS selama beberapa dekade. Padahal, sejak berdirinya rezim Zionis, wilayah ini mendapat perhatian khusus dari segi geopolitik dan menjadi pusat intervensi dan pengaruh musuh-musuh Islam di jantung dunia Islam. Dengan kata lain, wilayah tersebut telah menjadi tidak aman dan tidak stabil selama lebih dari tujuh puluh tahun sejak pembentukan Zionis Israel.
Ayatullah Khamenei, Pemimpin Besar Revolusi Islam, dalam sebuah pernyataan pada bulan Januari pada peringatan kebangkitan bersejarah rakyat Qom pada 19 Dey 1356 HS yang bertepatan dengan 9 Januari 1978, merujuk pada upaya AS untuk menciptakan ketidakaman di Asia Barat dan Iran.
Rahbar menilai Amerika Serikat melihat kepentingannya dalam instabilias kawasan ini, kecuali AS telah benar-benar menguasainya. Rahbar merujuk pada ucapan Michael Ledeen, pakar Amerika Serikat yang terkenal, yang secara eksplisit merujuk pada masalah ini.
Pemimpin Besar Revolusi Islam mengatakan, "Seorang pakar dari institut AS yang sangat terkenal secara eksplisit menyampaikan pendapat ini. Ia mengatakan, kami tidak menginginkan stabilitas di Iran, Irak, Suriah dan Lebanon. Kami tidak menginginkan stabilitas di negara-negara ini. Ia mengatakan masalah utama bukan perlu atau tidak perlunya instabilitas di negara-negara ini. Maksudnya jelas harus menciptakan instabilitas, tapi masalah bagaimana menciptakan instabilitas."
Jelas bahwa rezim Zionis Israel, sebagai basis pengaruh bagi Amerika Serikat dan musuh-musuh Islam di kawasan, tetap menjadi yang terdepan dalam prioritas dan kepentingan para aktor trans-regional.
Rafik Khoury, jurnalis dan analis politik di Lebanon dalam menilai kebijakan AS terhadap Zionis Israel mengatakan, "Tidak ada yang mengharapkan Biden atau presiden lain di Amerika Serikat dalam hal ini mengutip apa yang disampaikan Biden dari ayahnya, di mana seorang tidak perlu menjadi Yahudi untuk menjadi Zionis. Jadi jangan berharap Amerika Serikat meninggalkan rezim Zionis di bawah Biden."
Melihat perkembangan terbaru menunjukkan perubahan yang belum pernah terjadi sebelumnya dalam kebijakan AS di Asia Barat yang dibuat oleh Trump dengan berlakunya "Kesepakatan Abad" dan relokasi kedutaan ke Yerusalem dan pengakuan Dataran Tinggi Golan sebagai Wilayah Pendudukan. Hari ini pengaruh kerusakannya semakin tampat. Bahkan hingga saat ini, sikap AS dalam mendukung agresi Israel menunjukkan bahwa kebijakan AS terus menciptakan instabilitas kawasan tersebut.

Meskipun kebijakan AS berfokus untuk mendukung rezim Israel, tetapi perimbangan keamanan dan militer di Asia Barat telah berubah. Respons yang rapuh dan perlawanan terpuji dari Muqawama terhadap agresor dan rezim Zionis yang menjajah menunjukkan bahwa era dominasi Amerika Serikat dan Zionis Israel atas nasib Palestina dan kelanjutan kebijakan masa lalu telah berakhir. (SL)