Saatnya Mengakhiri Paradigma Lama Pembangunan yang Merusak Masa Depan
Banjir di Sumatra dan Aceh adalah alarm keras bahwa paradigma pembangunan lama telah gagal. Masa depan yang baik hanya mungkin diraih jika ekosistem dipulihkan dan dilestarikan.
Oleh: Purkon Hidayat, Dosen Tamu Kajian Asia Tenggara Universitas Tehran
Setiap kali pemerintah memamerkan jalan tol baru, bandara baru, atau kawasan industri yang kian menjamur, kita diminta percaya bahwa Indonesia sedang bergerak maju. Namun di saat yang sama, banjir besar melanda Sumatra dan Aceh, yang menghanyutkan rumah, memutus akses, dan mengungkap rapuhnya fondasi ekologis negeri ini.
Dua realitas yang tampak kontras itu sebenarnya berasal dari akar persoalan yang sama: model pembangunan kita masih bertumpu pada perusakan alam sebagai konsekuensi yang dianggap normal. Dan ketika alam mulai menagih biayanya, kita baru sadar bahwa yang selama ini kita sebut “kemajuan” mungkin justru sedang menggali lubang bagi masa depan sendiri.
Pembangunan yang Terjebak di Abad Lalu
Meski wajahnya sudah berganti-ganti, pola pembangunan Indonesia masih memakai logika lama: ekstraksi dulu, pemulihan nanti. Setiap hutan dibuka, setiap bukit diratakan, dan setiap sungai dialihkan, selalu ada narasi bahwa semua itu demi “pertumbuhan ekonomi”.
Masalahnya, formula ini mungkin bekerja pada 1970-an—ketika tekanan iklim belum separah sekarang, dan daya dukung alam masih besar. Hari ini, kondisi itu berubah total. Iklim tak lagi stabil, ekosistem tak lagi elastis, dan ruang untuk melakukan kesalahan semakin tipis.
Banjir di Sumatra dan Aceh bukan sekadar banjir. Itu laporan audit alam yang mengatakan: “Model pembangunan kalian sudah tidak sanggup menopang zaman.”
Ketika Alam Menagih Biaya, Ekonomi yang Rugi
Kerusakan ekologis di Indonesia kini langsung berdampak pada ekonomi: sawah terendam, logistik lumpuh, biaya kesehatan melonjak, dan stok pangan terganggu. Bahkan tempat tinggal dan fasilitas umum hancur Tetapi anehnya, kita masih memperlakukan lingkungan seolah-olah itu urusan sampingan, bukan variabel utama dalam perhitungan pembangunan.
Padahal, dalam dunia ekonomi hari ini: hutan yang sehat adalah aset karbon bernilai tinggi, sungai yang bersih adalah infrastruktur air, mangrove adalah barrier alami yang jauh lebih murah dibanding beton, dan laut yang pulih adalah mesin ekonomi biru yang tahan krisis. Alam bukan musuh pembangunan. Alam adalah fondasinya. Dan ketika fondasi itu runtuh, ekonomi ikut runtuh.
Paradigma Lama Sudah Gagal, Tetapi Kita Masih Terjebak di Dalamnya
Inilah persoalan terdalam pembangunan Indonesia: kita masih memakai teori pembangunan industrial abad lalu, sementara dunia sudah bergerak ke arah ekonomi rendah karbon. Negara-negara besar mengunci investasi pada energi bersih, teknologi hijau, dan ekonomi sirkular. Sementara kita masih menganggap ekspansi tambang sebagai jalan pintas kemajuan.
Investor global kini menghitung risiko iklim sebagai faktor utama, sementara perencanaan pembangunan kita masih menempatkannya di lampiran belakang. Dengan kata lain: dunia sudah berubah, tetapi kita masih menoleh ke masa lalu.
Argumentasi Baru: Regenerasi sebagai Mesin Pertumbuhan
Di forum-forum global, teori pembangunan baru bermunculan—Doughnut Economics, Nature-Positive Development, Post-Extractive Development. Bahasa mereka boleh berbeda, tetapi intinya sama: Pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan hanya mungkin bila ekosistem dipulihkan, bukan dieksploitasi. Ini bukan lagi moralitas lingkungan. Ini matematika ekonomi masa depan.
Alam yang sehat menurunkan risiko, menekan biaya bencana, mengamankan pangan, menjaga rantai pasok, dan menciptakan peluang ekonomi baru.
Dengan logika ini, pembangunan regeneratif bukan pilihan idealis, tetapi pilihan paling rasional.
Indonesia Bisa Memimpin—Jika Mau Melepaskan Cara Pandang Lama
Indonesia memiliki modal alam yang luar biasa: hutan hujan tropis, garis pantai terpanjang kedua di dunia, carbon sink raksasa, sampai potensi energi terbarukan yang jarang ada tandingannya. Tetapi semua modal itu tidak berarti apa-apa jika diperlakukan sebagai barang sekali pakai. Kita butuh keberanian untuk menggeser paradigma: dari eksploitasi ke pemulihan, dari kuantitas pembangunan ke kualitas ekologi, dari pertumbuhan jangka pendek ke ketahanan jangka panjang. Restorasi mangrove, agroforestri modern, pemulihan terumbu karang, dan transisi energi bukan sekadar proyek lingkungan; itu adalah strategi industrial abad ke-21. Jika Indonesia berani mengambil langkah ini, kita tidak hanya selamat dari krisis iklim—kita bisa menjadi pemimpin regional dalam ekonomi hijau.
Penutup: Membangun atau Merobohkan Masa Depan?
Banjir di Sumatra dan Aceh telah menunjukkan dengan gamblang bahwa alam tidak lagi bisa dipaksa memikul beban pembangunan yang merusaknya. Pertanyaannya kini bukan lagi “bisakah kita membangun tanpa eksploitasi alam” tetapi sampai kapan kita bertahan dengan model pembangunan yang terbukti menghancurkan masa depan?
Masa depan Indonesia tidak ditentukan oleh berapa panjang jalan tol yang kita bangun, tetapi seberapa kuat fondasi ekologis yang masih tersisa. Dan fondasi itu hanya bisa diperkuat jika kita berani mengakhiri era pembangunan yang merusak. Sebab pada akhirnya, pembangunan yang menghancurkan alam bukanlah pembangunan, tapi penghancuran masa depan.