Penunjukan Perdana Menteri dan Kabinet Baru, Tantangan Utama Irak
(last modified Wed, 19 Jan 2022 14:30:31 GMT )
Jan 19, 2022 21:30 Asia/Jakarta
  • Muqtada Sadr
    Muqtada Sadr

Pemilu parlemen di Irak digelar 21 Oktober 2021. Telah berlalu tiga bulan dari penyelenggaraan pemilu, namun sampai saat ini partai dan faksi politik pemenang pemilu belum juga berhasil menunjuk perdana menteri dan membentuk kabinet melalui pembentukan koalisi terbesar.

Dari segi etika politik dan bukan menurut konstitusi, posisi presiden milik etnis Kurdi, ketua parlemen dari Ahlu Sunnah dan perdana menteri saham partai dan faksi Syiah. Etnis Kurdi dan Ahlu Sunnah telah mencapai kesepakatan terkait opsi posisi presiden (Barham Salih) dan ketua parlemen (Mohammad al-Halbousi).

Sementara untuk posisi perdana menteri, sangat disayangkan partai dan faksi Syiah masih terus menggelar lobi dan negosiasi. Partai Syiah dalam bentuk dua kubu politik "Dewan Koordinasi Syiah" yang terdiri dari banyak partai dan faksi politik Syiah serta "Kubu Sadr" pimpinan Muqtada Sadr, tengah melakukan lobi untuk mencapai kesepakatan terkait perdana menteri mendatang dan struktur kabinet.

Hadi al-Amiri

Sekaitan dengan ini, beberapa hari lalu, Hadi al-Amiri, ketua Koalisi al-Fatah dan Muqtada Sadr bertemu dan bernegosiasi. Menurut Hamid al-Musawi, anggota Koalisi al-Fatah, pandangan kubu Dewan Koordinasi Syiah dan Gerakan Sadr semakin dekat, dan tengah berlangsung proses penggabungan gerakan ini dan Dewan Koordinasi Syiah untuk membentuk fraksi yang lebih besar.

Muqtada Sadr usai pertemuan terbarunya dengan Hadi al-Amiri di kota Najaf seraya merilis cuitan di akun Twitternya menekankan pentingnya pembentukan "Pemerintahan Mayoritas Nasional", bukan "Konsensus Nasional". Selain itu, berbagai sumber terkait perincian pertemuan ini menyatakan, kedua pihak membicarakan tiga isu penting seperti pembentukan kaolisi besar di parlemen untuk membentuk pemerintahan mendatang, isu Hashd al-Shaabi dan wewenang panglima angkatan bersenjata.

Berdasarkan berbagai laporan dan data dari Irak, Muqtada Sadr yang kubunya meraih suara terbesar di parlemen, berencana menyingkirkan Nouri al-Maliki, ketua Koalisi Hukum dari pemerintahan mendatang karena friksi masa lalu.

Jika pemerintahan mendatang dibentuk tanpa melibatkan Koalisi Negara Hukum pimpinan Nouri al-Maliki dan Asaib Ahl al-Haq, pimpinan Qais Khazali, maka ada potensi besar bahwa Dewan Koordinasi Syiah menjadi posisi serius di parlemen. Sementara itu, isu lain yang menjadi isu penting bagi kelompok perlawanan dan partai politik Irak adalah keberadaan pasukan pendudukan AS yang terus berlanjut di Irak, yang meskipun mendapat persetujuan parlemen dan penekanannya pada perlunya penjajah AS untuk meninggalkan negara itu, tetap bercokol di negara ini dan diperkirakan ada 2.500 penasihat di Irak. Bagi banyak orang Irak, pertanyaannya adalah mengapa satu negara (Amerika Serikat) ingin memaksakan kehadirannya di negara lain (Irak)? Tanpa memperjelas jumlah pasukan dan misi mereka.

Pemerintah Irak dan parlemen sekarang tidak mengetahui jumlah pasukan AS dan esensi misi mereka, yang sebenarnya merupakan pelanggaran kedaulatan dan kemerdekaan negara ini. Mengingat perkembangan terakhir dan konsultasi kelompok politik di Irak, sikap kubu ini untuk membentuk kabinet mendatang semakin dekat di antara mereka, di mana jika isu ini berakhir, maka masalah pendudukan AS yang berkelanjutan di Irak akan menjadi topik utama bagi parlemen dan kubu politik. (MF)