Ketika Menlu Arab Saudi Akui Kekalahan di Perang Yaman
(last modified Fri, 25 Feb 2022 09:44:25 GMT )
Feb 25, 2022 16:44 Asia/Jakarta

Menteri Luar Negeri Arab Saudi, Faisal bin Farhan mengatakan negaranya sebelumnya berharap perang Yaman tidak berlarut-larut, tapi ternyata tidak sesuai yang diharapkan.

Tinggal satu bulan, perang Yaman akan memasuki tahun kedelapan. Arab Saudi sejak 26 Maret 2015 dan dengan dalih "memulihkan legalitas", bersama sejumlah negara lain termasuk Uni Emirat Arab (UEA) memulai perang di Yaman. Al Saud mengklaim bahwa Abd Rabbu Mansur Hadi yang lari ke Arab Saudi adalah presiden sah Yaman dan ia harus kembali ke Sanaa dan kembali berkuasa.

Faisal bin Farhan 24 Februari 2022 saat diwawancarai Kantor Berita Jerman mengatakan, invasi militer negaranya ke Yaman ditujukan untuk menjaga pemerintahan yang mengundurkan diri, Mansur Hadi, tapi invasi ini ternyata berlarut-larut dan tidak seperti yang diprediksikan Riyadh. Klaim terkait legalitas Mansur Hadi dirilis ketika ia sejak tahun 2014, periode dua tahunnya berakhir, secara ilegal berkuasa di Yaman.

Menlu Arab Saudi, Faisal bin Farhan

Interpretasi awal Saudi adalah perang Yaman akan berakhir dalam waktu singkat dan Ansarullah beserta sekutunya akan kalah dan Mansur Hadi kembali berkuasa. Setelah perang berlangsung lama, Mantan menlu AS, Colin Powell menyatakan , "Arab Saudi sebelumnya berkata bahwa perang akan berakhir dalam tiga pekan, tapi Riyadh menipu Washington." Laman The American Conservative di laporannya yang dirilis di tahun kedua perang Yaman menyebutkan, "Arab Saudi dengan membesar-besarkan peran Iran di Yaman, berusaha menyeret Amerika di perang yang menghancurkan ini, dan Amerika mengalami kesalahan di perang ini."

Setelah 83 bulan perang ini berlangsung, Yaman menghadapi tragedi kemanusiaan terbesar di abad-21. Tragedi ini termasuk salah satu dimensi kegagalan Arab Saudi di perang Yaman, karena Al Saud bukan saja gagal mengembalikan Mansur Hadi ke tampuk kekuasaan di Sanaa, tapi menarget warga sipil untuk menekan Ansarullah dan sekutunya, serta memobilisasi opini publik untuk keuntungan dirinya.

Selain itu, setelah tujuh tahun perang, perimbangan kekuatan di lapangan mengalami perubahan yang jelas dan militer bersama komite rakyat Yaman menembakkan rudal dan drone ke kedalaman wilayah Arab Saudi dan Uni Emirat Arab (UEA). Bagaimana pun juga, Al Saud tidak dapat memaksakan resep politiknya kepada pemerintah Penyelamatan Nasional Yaman untuk mengakhiri perang.

Di kondisi seperti ini, menlu Arab Saudi tanpa mengisyaratkan penekanan pemerintah Penyelamatan Nasional Yaman akan urgensi pencabutan blokade total terhadap negara ini dan dihentikannya secara penuh serangan Koalisi Saudi beserta anasir bayarannya guna mencapai sebuah solusi politik, mengatakan, "Sangat disayangkan milisi al-Houthi sampai saat ini tidak menerima usulan kami, dan menolak menggelar perundingan positif."

Statemen Faisal bin Farhan ini berarti bahwa pemerintah Penyelamatan Nasional Yaman tidak bersedia untuk bernegosiasi dengan Saudi di bawah tekanan, dan pada saat yang sama, pernyataan ini menunjukkan bahwa Arab Saudi terjebak di rawa Yaman dan tidak memiliki jalan keluar yang terhormat dari rawa buatan mereka sendiri ini.

Serangan Saudi terhadap bus sekolah anak Yaman (dok)

Poin terakhir adalah jika Arab Saudi saat ini bersedia mengakhiri perang Yaman, maka Riyadh dapat mencegah kekalahan lebih besar, karena berlanjutnya perang ini juga tidak akan mampu memenuhi tuntutan Arab Saudi dan bahkan akan menunjukkan kerentanan lebih besar negara ini dan Uni Emirat Arab. (MF)

 

Tags