Operasi 7 Oktober Hamas sebagai Reaksi terhadap Tujuh Dekade Pembunuhan, Pengasingan dan Pemerkosaan Palestina oleh Zionis
(last modified 2024-10-20T07:59:17+00:00 )
Okt 20, 2024 14:59 Asia/Jakarta
  • Operasi 7 Oktober Hamas sebagai Reaksi terhadap Tujuh Dekade Pembunuhan, Pengasingan dan Pemerkosaan Palestina oleh Zionis

Selama bertahun-tahun, Israel menyita lebih dari 60% tanah Palestina dan seluruh sumber daya air demi kepentingan pemukim Yahudi dan menjadikan Gaza di bawah pendudukan militer rasis hingga tahun 2005.

Israel telah memulai pembunuhan massal warga Palestina di Jalur Gaza sejak tujuh dekade lalu. Tindakan-tindakan ini terus dilakukan secara terus-menerus dan teratur, dan selalu didukung oleh negara-negara Barat, khususnya Amerika Serikat, Uni Eropa, dan Inggris.

Menurut Parstoday mengutip MEE, negara-negara Barat berulang kali mendukung perang kriminal Israel terhadap Palestina dengan mengulangi kalimat klise “Israel mempunyai hak untuk membela diri”. Sementara itu, pembelaan diri ini justru berujung pada pembunuhan warga sipil dan jelas merupakan pelanggaran hak asasi manusia.

Salah satunya terjadi pada Agustus 2022. Israel membunuh 49 warga Palestina, termasuk 17 anak-anak, selama tiga hari serangan udara di Gaza. Tanggapan Amerika Serikat dan Uni Eropa terhadap kekejaman ini, seperti biasa, adalah mendukung “hak Israel untuk mempertahankan diri”, sekaligus menyesalkan pembunuhan warga sipil Palestina, dan secara efektif mengabaikan kejahatan Israel. Ini adalah pembantaian besar-besaran Israel yang terbaru di Gaza sebelum perang saat ini, tapi tentu saja ini bukan yang pertama.

Untuk lebih memahami  berbagai kejahatan Israel ini, kita harus kembali ke tahun 1951; Ketika Israel melancarkan serangan pertamanya ke Gaza. Sejak akhir tahun 1947 hingga musim panas tahun 1950, Israel telah mengusir ratusan ribu warga Palestina dari rumah mereka di berbagai wilayah Palestina, termasuk Gaza.

Pada bulan Oktober 1951, Israel menginvasi Gaza, membunuh puluhan warga Palestina dan Mesir, menghancurkan rumah-rumah dan meledakkan sumur untuk mencegah upaya warga Palestina kembali ke rumah mereka. Pada saat itu, para pengamat internasional tidak mendukung Israel, bahkan menyebut pembunuhan tersebut sebagai kasus pembantaian yang disengaja dan mengerikan.

Kejahatan ini tidak hanya terjadi di Gaza. Pada bulan Agustus 1949, tentara Israel menangkap dua pengungsi Palestina; Mereka membunuh pria tersebut dan kemudian 22 tentara bergantian memperkosa wanita Palestina tersebut dan akhirnya membunuhnya.

Pada bulan Maret 1950, tentara Israel menculik dua gadis Palestina dan seorang anak laki-laki dari Gaza; Mereka membunuh anak laki-laki itu dan memperkosa anak-anak perempuan lalu membunuh mereka. Kekerasan berlanjut selama bertahun-tahun dan berujung pada sejumlah kasus pemerkosaan terhadap perempuan Palestina yang berusaha kembali ke rumah mereka.

Sebagai kelanjutan dari kejahatan tersebut, pada tahun 1953, pasukan unit 101 tentara Israel membunuh sedikitnya 20 warga Palestina, termasuk wanita dan anak-anak, dengan melemparkan bom ke gubuk pengungsi Palestina di kamp Bureij. Pada tahun yang sama, tentara Israel membunuh 70 warga sipil Palestina di desa Qubia di Tepi Barat. Bahkan publikasi pro-Israel seperti National Jewish Post membandingkan pembantaian tersebut dengan kekejaman Nazi.

Pada tahun 1955, Israel menyerang pangkalan militer Mesir di Gaza, yang menewaskan 36 tentara Mesir dan dua warga sipil Palestina. Setelah serangan ini, masyarakat Gaza bangkit melawan pemerintah Mesir dan menuntut senjata untuk mempertahankan diri dari serangan Israel. Tuntutan tersebut akhirnya berujung pada terbentuknya kelompok loyalis Palestina yang melakukan operasi militer melawan Israel pada tahun yang sama.

Pada bulan November 1956, Israel membombardir kota Khan Yunis yang menewaskan ratusan orang, dan kemudian pasukan darat Israel memasuki kota dan mengeksekusi para pejuang perlawanan. Selain itu, di kamp pengungsi, mereka mengumpulkan laki-laki dan anak laki-laki berusia di atas 15 tahun dan membunuh mereka dengan senapan mesin. Akibatnya, sekitara 300 hingga 500 orang gugur dalam pembantaian ini, dan kebanyakan dari mereka adalah warga sipil dan pengungsi tahun 1948.

Kejahatan Zionis ini berlanjut selama beberapa dekade. Pada tahun 1967, Israel kembali menduduki Gaza dan mengusir 75.000 warga Palestina dari wilayah tersebut. Selama tahun-tahun berikutnya, Israel menyita lebih dari 60 persen tanah Palestina dan seluruh sumber daya air demi kepentingan pemukim Yahudi dan menjadikan Gaza di bawah pendudukan militer rasis hingga tahun 2005.

Setelah itu, Jalur Gaza menjadi “kamp penjara besar” dan sejak itu, Israel terus melancarkan serangan udara terhadap wilayah tersebut, yang menewaskan ribuan warga sipil.

Mulai 7 Oktober 2023, Israel kembali memulai pembunuhan massal di Gaza. Sejauh ini, satu-satunya kemenangan yang diraih Israel dalam perang ini adalah pembunuhan puluhan ribu warga sipil dan pengungsian lebih dari dua juta orang. Sementara warga Palestina terus melakukan perlawanan meski kekurangan senjata. Tentara Israel hanya berhasil menghancurkan rumah, rumah sakit, sekolah, dan infrastruktur penting lainnya.

Sementara itu, dukungan Amerika Serikat dan negara-negara Eropa terhadap Israel terus berlanjut. Jake Sullivan, Penasihat Keamanan Nasional Amerika Serikat bahkan melangkah lebih jauh dengan menyebut perlawanan Palestina sebagai musuh Amerika Serikat. Sementara itu, sebagian masyarakat dunia yang dipengaruhi oleh Barat terus mendukung Israel dan mengklaim hak untuk membela diri, sementara kejahatan perang terhadap rakyat Palestina semakin meningkat dari hari ke hari.(PH)

Tags