Parlemen Baru Suriah: Representasi Lemah atau Legitimasi bagi Julani?
https://parstoday.ir/id/news/west_asia-i177950-parlemen_baru_suriah_representasi_lemah_atau_legitimasi_bagi_julani
Para pakar politik menyebut pemilu Suriah sebagai sandiwara belaka.
(last modified 2025-10-08T06:39:54+00:00 )
Okt 08, 2025 13:27 Asia/Jakarta
  • Parlemen Baru Suriah: Representasi Lemah atau Legitimasi bagi Julani?

Para pakar politik menyebut pemilu Suriah sebagai sandiwara belaka.

Hasil awal pemilihan umum tidak langsung Suriah baru-baru ini menunjukkan bahwa hanya tiga kandidat perempuan yang menang, dengan sedikit perwakilan minoritas, termasuk Kristen, yang berhasil masuk parlemen. Menurut Al Jazeera, Nawar Najmeh, Juru Bicara Komisi Tinggi Pemilihan Umum Suriah, mengatakan bahwa jumlah perempuan di parlemen tidak proporsional dengan status perempuan dalam masyarakat Suriah dan peran mereka dalam kehidupan politik, ekonomi, dan sosial.

Menurutnya, hanya empat persen dari 119 anggota yang terpilih dalam pemilihan tidak langsung adalah perempuan, dan hanya dua orang Kristen yang menjadi pemenang, hal ini menimbulkan kekhawatiran. Juru bicara Komisi Pemilihan Umum Suriah menyebut kehadiran orang Kristen lemah, mengingat proporsi populasi Kristen di Suriah.

Para kritikus politik mengatakan bahwa proses ini, alih-alih membuka jalan bagi perubahan demokratis yang nyata, justru membuat kekuasaan terpusat di tangan para penguasa baru Suriah.

Terkait hal ini, Jalal Cheraghi, pakar isu Asia Barat, menegaskan bahwa pemilu ini digelar dalam situasi yang tujuan utamanya adalah melegitimasi rezim al-Julani, pimpinan pemerintahan sementara Suriah yang berada di bawah kepemimpinannya. Hal ini harus dianggap sebagai upaya membangun citra resmi di dalam dan luar Suriah.

Menurutnya, dengan menyelenggarakan pemilu semacam itu, Julani berusaha menampilkan dirinya dan rezimnya sebagai struktur politik yang didukung rakyat. Namun, masalah utamanya adalah rendahnya partisipasi rakyat dalam proses ini, karena pemilu tersebut tidak bebas maupun kompetitif; melainkan pemilu yang mencolok dan terencana.

Dalam wawancara dengan France 24, pakar strategi Amer Al-Sabaila juga menilai pemilu parlemen Suriah hanya sebagai langkah simbolis yang tidak mencerminkan realitas seluruh lapisan masyarakat dan seluruh wilayah negara.

Pakar politik Seyyed Mahdi Talebi mengingatkan posisi Julani yang memiliki sejarah keanggotaan di Al-Qaeda dan ISIS, dalam sebuah analisisnya menulis,"Mengembalikan monarki di Suriah tidaklah mungkin; tetapi membentuk emirat dan kemudian menjadikannya warisan adalah hal yang mungkin. Golani berusaha melembagakan kekuasaan di tangan dirinya dan keluarganya."

Ia meyakini bahwa Julani telah menunjuk sejumlah orang ke dewan pemilihan daerah dengan mengabaikan suara rakyat. Ia mencoba menciptakan perisai terhadap tuntutan dan protes rakyat dengan memilih individu untuk mewakili kelompok dan wilayah. Dalam struktur ini, rakyat disingkirkan dan digantikan oleh perwakilan yang hanya mencari keuntungan dan patuh.

Pakar politik tersebut mengatakan,"Parlemen yang telah dibentuk tidak dipilih oleh rakyat dan tidak memiliki kekuasaan apa pun. Perannya bersifat penasehat dan seremonial. Al-Julani berkuasa berdasarkan kesepakatan di balik layar. Al-Julani dan 20.000 hingga 30.000 milisinya tidak memiliki kemampuan untuk memerintah Suriah dalam hal keamanan dan mereka sendiri dianggap sebagai contoh kekuatan pihak lain."

Di sisi lain, utusan PBB untuk Suriah, Geir Pedersen, mengakui bahwa kepala pemerintahan sementara Suriah, Mohammed Al-Julani, belum siap untuk menerapkan reformasi keamanan dan ketidakmampuannya untuk mengendalikan kelompok bersenjata telah menyebabkan ketidakpercayaan yang meluas. Pedersen menambahkan, "Suriah berada di "ujung pedang" dan membutuhkan "perbaikan prosedur."(PH)