Pidato Raja Saudi di PBB; Luapan Kekesalan atas Keunggulan Iran
Raja Arab Saudi, Salman bin Abdulaziz dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB ke-75 yang dilakukan secara virtual, mengulang tuduhan-tuduhan tak berdasar terhadap Iran.
Raja Saudi dalam pidatonya di PBB, menyampaikan beberapa klaim terkait Iran, dia menuduh Iran menyerang Saudi melalui perang Yaman, mendukung terorisme, mengembangkan senjata yang mengancam perdamaian, dan stabilitas regional, serta menolak uluran tangan persahabatan Saudi.
Pidato Raja Salman bin Abdulaziz setidaknya mengandung tiga poin, dan pesan yang tersembunyi.
Pesan pertama, Saudi sangat marah dengan kekuatan regional Republik Islam Iran, dan perubahan konstelasi kekuatan kawasan yang berbalik menguntungkan Iran. Kemarahan ini terutama tampak dalam statemen Raja Salman yang mengklaim bahwa Saudi dalam beberapa dekade terakhir telah mengulurkan tangan persahabatan kepada Iran, dan melakukan interaksi yang baik untuk menjalin hubungan dengan Tehran.
Pada situasi seperti sekarang ini, Raja Salman menuduh Iran sedemikian rupa padahal negaranya sendiri yang memutus hubungan diplomatik dengan Iran sejak 2016, bahkan menekan beberapa negara Arab agar memutus hubungan dengan Iran.
Pesan kedua, mendukung Amerika Serikat di hadapan protes luas pejabat negara dunia, khususnya negara Barat. Pejabat sejumlah negara dalam pidatonya di Sidang Majelis Umum PBB ke-75 terang-terangan maupun tersembunyi, memprotes unilateralisme pemerintah Amerika dalam pergaulan internasional, dan ketidakpedulian Washington terhadap aturan internasional terutama dengan menciptakan dualisme di tubuh Dewan Keamanan PBB.
Sepertinya Raja Salman dalam pidato yang disampaikannya di PBB, berusaha mengalihkan perhatian publik, dan media dunia dari protes luas terhadap Amerika ke masalah Iran.
Pesan ketiga, pidato Raja Saudi adalah pengakuan kekalahan negara itu dalam perang di Yaman. Sejak 26 Maret 2015, Saudi melancarkan agresi militer luas terhadap Yaman, namun setelah berlangsung selama 66 bulan bukan saja tidak berhasil memenangkan perang, bahkan secara praktis terbentur jalan buntu, dan gengsi politik Riyadh karena tidak mampu mengalahkan negara Arab miskin ini, akhirnya dipertanyakan.
Tuduhan Saudi bahwa Iran pada September 2019 menyerang fasilitas minyaknya, dan terus menjadikan Saudi sebagai target rudal-rudal balistik, dan drone-nya, lebih dari apapun, menegaskan pengakuan kekalahan Saudi dalam perang Yaman.
Di sisi lain pidato Raja Salman bisa dikritik secara serius dari tiga sisi, dan pidato tersebut bisa dianggap hanya sebagai propaganda media semata.
Pertama, Raja Salman mendesak pencegahan kemajuan senjata Iran. Tidak diragukan, Iran bukanlah negara yang memulai persaingan senjata di kawasan Asia Barat, bukan pula sebagai pihak yang menyambut rivalitas ini. Iran hanya memproduksi senjata sesuai kebutuhannya, tapi rezim Al Saud yang merupakan negara kedua pengimpor terbesar senjata dunia, telah menjadikan Saudi sebagai gudang senjata Barat, terutama senjata-senjata Amerika.
Kedua, Raja Salman menyinggung perkembangan politik Lebanon, dan menganggap ledakan Beirut sebagai buah dari dominasi Hizbullah atas Lebanon, ia menuduh Hizbullah telah menyeret instansi-instansi pemerintah Lebanon ke arah kevakuman, dan untuk mewujudkan keamanan, stabilitas, dan ketenangan di Lebanon, senjata Hizbullah harus dilucuti.
Padahal sebagaimana diketahui semua orang, kevakuman pemerintah Lebanon saat ini disebabkan oleh intervensi Saudi, dan Amerika, serta pengorganisasian demonstrasi Oktober 2019. Pada saat yang sama, Raja Salman menuduh Hizbullah sebagai penyebab instabilitas Lebanon, padahal Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman pada November 2019 menyandera Saad Hariri yang menjabat Perdana Menteri Lebanon saat itu di Riyadh, dan memaksanya mengundurkan diri.
Ketiga, Raja Salman mengaku mendukung pembentukan negara merdeka Palestina, pada saat yang sama Saudi mendukung kesepakatan normalisasi hubungan Uni Emirat Arab dan Bahrain dengan rezim Zionis Israel. Pasalnya, tanpa persetujuan rezim Al Saud, Bahrain tidak akan pernah berani melakukan normalisasi dengan Israel.
Keempat, Raja Salman sehari sebelumnya menunjukkan bahwa Saudi sudah kehilangan kepionirannya di kawasan Asia Barat, dan hanya bisa berbuat sebatas klaim, dan tuduhan tak berdasar. (HS)