Batu Sandungan Konflik Politik Pembentukan Kabinet Lebanon
Pertemuan antara Perdana Menteri Saad al-Hariri dan Presiden Lebanon Michel Aoun yang memasuki sesi ke-18 Senin lalu kembali membentur dinding. Kedua pihak tidak mencapai kesepakatan bersama yang semakin memperpanjang konflik politik dan kegagalan pembentukan pemerintahan baru Lebanon.
Kebuntuan politik di Lebanon bukanlah hal yang aneh atau baru. Selama beberapa tahun terakhir saja, Michel Aoun dinyatakan menjadi Presiden Lebanon setelah melewati 46 sesi sidang di parlemen. Parlemen Lebanon gagal mencalonkan presiden baru dari Mei 2014 hingga akhir Oktober 2016, dan akhirnya Michel Aoun terpilih sebagai presiden ke-13 Lebanon.
Pembentukan kabinet juga berjalan alot. Saad al-Hariri pernah berhasil membentuk kabinet baru tak lama setelah ia diangkat menjadi perdana menteri pada November 2016. Tapi kemudian, ia tidak dapat membentuk kabinet baru pada Mei 2018, setelah melewati waktu 10 bulan.
Mustafa Adib, yang diangkat menjadi perdana menteri setelah Hassan Diab mengundurkan diri pada Agustus 2020, pada akhirnya mengundurkan diri sebulan kemudian, karena ia menyimpulkan tidak bisa meraih mosi kepercayaan dari faksi-faksi politik Lebanon.
Meski demikian, tampaknya tidak terbentuknya kabinet Saad Al-Hariri memiliki alasan yang berbeda dengan kasus-kasus sebelumnya. Perdana Menteri Saad al-Hariri ditugaskan untuk membentuk kabinet oleh Presiden Lebanon Michel Aoun, padahal kedua pihak memiliki pandangan yang sulit disatukan dalam masalah pembentukan kabinet.
Setelah kegagalan perundingan putaran ke-18 antara Al-Hariri dan Michel Aoun, media yang berafiliasi dengan kedua kubu telah memberikan analisisnya masing-masing.
Sumber media yang dekat dengan Saad al-Hariri mengklaim Perdana Menteri Lebanon yang bertugas membentuk kabinet telah menyerahkan daftar nama orang yang akan mengisi po-pos di kabinet kepada Presiden Lebanon Michel Aoun, dan daftar itu masih berlaku. Menurut mereka, bola sekarang berada di tangan Michel Aoun yang harus mempertimbangkan masukan dari Hariri. Memberikan sepertiga pos yang dijamin di kabinet kepada presiden dan tim politiknya tidak dapat diterima.
Pada saat yang sama, sumber informasi yang dekat dengan Presiden Lebanon menyatakan bahwa Michel Aoun menekankan pada penyelesaian masalah, tetapi tidak bersedia memberikan konsesi, terutama karena dia berada dalam posisi yang lebih kohesif.
Pertikaian politik ini yang sebagian besar disebabkan oleh monopoli politik al-Hariri dan pengabaian peran presiden dalam kabinet, sejauh ini memiliki dua konsekuensi jangka pendek dan jangka panjang.
Pertama, kegagalan pembicaraan antara Al-Hariri dan Aoun menyebabkan krisis politik di Lebanon semakin parah dan negara Arab ini memasuki fase berbahaya yang berdampak sistemik di segala lini, termasuk ekonomi dan moneter.
Kedua, tidak adanya kesepakatan politik bersama karena preferensi kepentingan pribadi dan kelompok di atas kepentingan nasional telah memberikan tekanan pada rakyat Lebanon, karena pemerintah memiliki sedikit kendali atas urusan negara. Pemerintahan yang dipimpin Hassan Diab tidak memiliki kekuatan dalam mengendalikan masalah ekonomi Lebanon. Akhirnya ia mengundurkan diri pada Agustus 2020. Media Lebanon menanggapi krisis politik ini dengan menulis di headlinenya, "Setiap menit yang berlalu tanpa pembentukan pemerintah semakin membebani rakyat Lebanon yang tidak bisa menerimanya."
Dampak jangka panjang berlanjutnya krisis politik menyeret Lebanon memasuki fase ketegangan politik yang lebih berbahaya dengan terbiasanya rakyat hidup tanpa pemerintahan. Bahkan kemungkinan pengunduran diri Saad al-Hariri dari kabinet tidak berarti bahwa perdana menteri berikutnya akan dapat membentuk kabinet, seperti yang diperkirakan setelah pengangkatan Mustafa Adib sebagai perdana menteri baru pada Agustus 2021 mendatang. Sebab, sebagian besar kubu pro-Barat tidak akan mendukung pembentukan kabinet baru di Lebanon.
Akhirnya, ketegangan politik di Lebanon berlanjut di saat negara ini membutuhkan langkah nyata mengatasi krisis ekonomi yang semakin parah. (PH)