Okt 08, 2022 19:17 Asia/Jakarta
  • Presiden AS, Joe Biden.
    Presiden AS, Joe Biden.

Perkembangan dan berita di Amerika Serikat selama sepekan lalu diwarnai sejumlah isu penting di antaranya dukungan Amerika Serikat (AS) terhadap perusuh di Republik Islam Iran.

Presiden AS, Joe Biden dalam sebuah pernyataan untuk mendukung kerusuhan baru-baru ini di Iran hari Senin mengatakan bahwa Amerika Serikat akan menjatuhkan sanksi baru terhadap pejabat Iran yang diklaim Washington terlibat dalam aksi kekerasan terhadap pengunjuk rasa.

Joe Biden mengklaim, "Amerika Serikat akan memudahkan orang Iran untuk mengakses Internet, termasuk dengan memfasilitasi akses yang lebih besar ke platform dan layanan yang aman,". Sebelumnya, Departemen Keuangan AS menuduh polisi moral Iran melakukan kekerasan terhadap perempuan, dan menempatkannya dalam daftar sanksi.  Pejabat AS dalam pernyataan sebelumnya menyebut polisi moral bertanggung jawab atas kematian Mahsa Amini tanpa merujuk pada dokumen apapun.

Tindakan sanksi baru Amerika terhadap Iran dan ancaman baru Biden dalam hal ini sebenarnya bukan masalah baru. Bahkan Iran telah berada di bawah sanksi sepihak oleh Amerika Serikat selama lebih dari empat puluh tahun.

 Pengenaan sanksi anti-Iran selama kepresidenan mantan Presiden AS Donald Trump setelah menarik diri dari JCPOA dan meluncurkan kampanye tekanan maksimum terhadap Iran menunjukkan dimensi baru yang belum pernah terjadi sebelumnya. Washington memberlakukan sanksi paling berat terhadap bangsa Iran dengan harapan tunduknya Iran pada tuntutan irasional dan ilegal Amerika Serikat, yang selama ini gagal, sebagaimana diakui sendiri oleh pemerintahan Biden.

Meskipun mengetahui dampak sanksi tidak signifikan, tapi Presiden Amerika Serikat saat ini, Joe Biden terus melanjutkan kampanye tekanan maksimum sejak menjabat, yang berseberangan slogan-slogan sebelumnya. Biden agresif mengumumkan sanksi baru terhadap Iran dengan berbagai dalih. Kali ini, alasan sanksi untuk mendukung kerusuhan baru di Iran dengan dalih kematian Mahsa Amini.

Tujuan Amerika secara terbuka mencampuri urusan dalam negeri Iran dengan menjanjikan layanan akses Internet di satu sisi, dan menjatuhkan sanksi baru terhadap Tehran demi melemahkan pemerintahan Republik Islam Iran. Tampaknya, Biden bermaksud untuk mengadopsi strategi agitasi Donald Trump guna memajukan ambisinya menekan Iran.

Kit Klarenberg, jurnalis investigatif menguraikan perang online Pentagon melawan Iran dari klik tombol di Amerika hingga kekerasan di jalan-jalan Teheran. Menurutnya, protes terbaru di Iran direkayasa dan diprovokasi dari luar. Klaim simpati pemerintah Amerika untuk rakyat Iran dan dukungan mereka bertentangan dengan fakta sebenarnya. Bahkan selama epidemi covid-19 dan Iran sangat membutuhkan barang-barang farmasi dan medis untuk menangani penyakit mematikan ini, Amerika Serikat mencegah pemberian bantuan kepada rakyat Iran. Meskipun mengklaim tidak ada larangan mengirim barang-barang kemanusiaan ini ke Iran, tapi dalam praktiknya, penerapan sanksi sekunder mencegah perusahaan dan bank berinteraksi dengan Iran.

Pemerintah Amerika, yang mengklaim memudahkan warga Iran untuk mengakses Internet, termasuk dengan memfasilitasi lebih banyak akses ke utusan dan layanan aman, ironisnya AS dua tahun lalu menentang Dana Moneter Internasional mengucurkan bantuan ke Iran untuk pembelian obat-obatan, padahal saat itu penyebaran Covid-19 sangat tinggi. Faktanya, klaim yang dibuat oleh Biden mengungkapkan kebohongan klaim Amerika mendukung rakyat Iran. Rakyat Iran tidak akan pernah melupakan sejarah jahat Amerika Serikat terhadap Iran dalam 80 tahun terakhir.

Amerika, bersama dengan pasukan Sekutu, menduduki Iran dalam Perang Dunia Kedua, yang menyebabkan banyak bencana bagi rakyat Iran. Setelah Perang Dunia II, AS dan Inggris pada tahun 1953 memainkan peran kunci dalam perencanaan dan pelaksanaan kudeta terhadap Perdana Menteri sah Iran, Mohammad Mossadegh. Setelah itu, AS di 1960-an memaksakan penempatan penasihat militernya untuk mendapatkan kekebalan hukum.

Selain itu, Amerika Serikat adalah pendukung terbesar rezim Shah selama lebih dari 35 tahun. Dari tahun 1953 hingga 1979 M, AS juga memainkan peran penting dalam pembentukan SAVAK, dinas intelejen rezim Shah yang menekan secara represif para pengunjuk rasa. Setelah revolusi Islam, Washington juga berperan dalam memberikan bantuan intelijen, militer dan senjata kepada rezim Saddam selama perang yang dipaksakan. Bahkan pada akhir perang, pesawat penumpang Airbus Iran sengaja ditembak jatuh oleh militer AS, yang menyebabkan lebih dari 290 penumpang dan kru gugur.

Selain itu, Amerika telah memblokir miliaran dolar aset Iran dan memberlakukan ribuan sanksi terhadap Iran. Tidak hanya itu, selama pemerintahan Trump, Amerika Serikat membunuh Letnan Jenderal Qassem Soleimani, komandan Pasukan Quds Korp Garda Revolusi Islam Iran (IRGC), dan rekan-rekannya di Baghdad. Semua ini hanyalah segelintir kejahatan Amerika terhadap Iran dan rakyatnya.

AS: Tak ada Indikasi Putin akan Gunakan Senjata Nuklir

Menteri Pertahanan Amerika Serikat mengumumkan, tidak ada indikasi yang menunjukan Presiden Rusia memutuskan untuk menggunakan senjata nuklir dalam perang di Ukraina.

Lloyd Austin, Sabtu (1/10/2022) mengatakan, "Yang mengambil keputusan terkait masalah ini satu orang, dan itu adalah Presiden Rusia Vladimir Putin, tapi saat ini saya tidak melihat indikasi yang membuat saya yakin bahwa keputusan semacam itu sudah diambil."

Menhan AS mengaku sudah memperingatkan Menteri Pertahanan Rusia terkait penggunaan senjata nuklir dalam perang di Ukraina.

Sebelumnya Juru bicara Kementerian Luar Negeri Rusia Maria Zakharova mengatakan, AS dalam upayanya menyeret Rusia ke arah penggunaan senjata nuklir, tidak mengenal batas apa pun.

Sejak awal pecahnya perang di Ukraina, AS dan sekutu-sekutu Eropa terus memberikan dukungan senjata kepada Kiev, dan memberikan tekanan terhadap Rusia, tapi pada saat yang sama memperingatkan Moskow terkait dampak penggunaan senjata nuklir.

Mantan Direktur CIA Akui Peran AS dalam Perang Nuklir dengan Rusia

Mantan Direktur Badan Intelijen Pusat AS, CIA menegaskan bahwa Amerika akan memimpin NATO dalam perang perang nuklir dengan Rusia.

Sejak awal perang antara Rusia dan Ukraina pada 24 Februari hingga kini, Eropa dan Amerika Serikat terus memberikan dukungan senjata yang komprehensif ke Ukraina dan tekanan terhadap Rusia. Di sisi lain, mereka memperingatkan tentang konsekuensi dari dugaan penggunaan senjata senjata nuklir dan kimiaoleh Moskow.

David Petraeus, mantan Direktur CIA dan pensiunan jenderal militer AS, yang memimpin dua perang AS di Afghanistan dan Irak, hari Minggu (2/10/2022) mengatakan, "Kekuatan dunia harus menganggap serius ancaman nuklir Moskow,".

"Amerika bersama NATO, melakukan upaya kolektif melawan setiap gerakan pasukan konvensional Rusia yang dapat diidentifikasi di medan perang Ukraina dan Semenanjung Krimea," tegasnya.

FBI Tuding Cina dan Rusia Intervensi Pemilu AS

Pejabat keamanan dan intelijen Amerika, FBI mengklaim bahwa pemerintah Cina dan Rusia berencana untuk ikut campur dalam pemilihan paruh waktu Kongres dan pilpres AS.

Pemilihan umum paruh waktu Amerika Serikat akan diadakan pada 8 November untuk memilih 435 anggota DPR, 35 senator, 39 gubernur, dan sejumlah besar pejabat lokal dan negara bagian di seluruh Amerika Serikat.

Biro Investigasi Federal Amerika Serikat (FBI) hari Senin (3/10/2022) mengklaim bahwa Rusia sedang berupaya untuk meningkatkan keraguan tentang integritas pemilihan umum paruh waktu Amerika pada bulan November, dan Cina juga mencoba menekan dan melemahkan politisi Amerika.

Meskipun mengakui bahwa mereka belum menemukan ancaman yang kredibel terhadap infrastruktur pemilihan AS, pejabat FBI mengatakan, "Situasinya sangat kompleks, jauh lebih kompleks daripada dalam pemilihan presiden 2020."

FBI mengklaim hasil survei baru menunjukkan bahwa lebih dari separuh orang Amerika mengkhawatirkan pemilu paruh waktu akan menyebabkan kebuntuan politik dan perpecahan dalam pemerintahan Amerika.

The Hill mengutip temuan survei bersama oleh situs web Axios dan lembaga polling Ipsos dengan mengungkapkan bahwa 53 persen responden khawatir tentang kemungkinan perpecahan dalam pemerintahan dan Kongres AS antara Partai Republik dan Demokrat setelah pemilihan paruh waktu.

Direktur CIA Umumkan Dukungan atas Kelompok Perusuh di Iran

Direktur Dinas Intelijen Amerika Serikat, CIA dalam sebuah wawancara televisi secara terbuka mengumumkan dukungannya atas kelompok perusuh di Iran.

William Burns, Senin (3/10/2022) dalam wawancara dengan CBS News mengatakan, "Apa yang bisa saya katakan adalah, dukungan kami sebagai sebuah negara atas gerakan kebebasan informasi di Iran, akan terus berlanjut dengan kuat."

Pemerintah AS dan CIA memiliki rekam jejak panjang dalam mencampuri urusan internal negara-negara dunia. Kali ini, Washington kembali berusaha menunggangi peristiwa yang terjadi di Iran.

Salah satu campur tangan paling penting Dinas Intelijen AS di Iran dilakukan pada tahun 1953 terhadap Perdana Menteri Iran kala itu Mohammad Mosaddegh.

Sebelumnya Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran atau Rahbar, Ayatullah Khamenei mengatakan, "Dengan terbuka saya katakan bahwa kerusuhan di Iran dirancang Amerika Serikat, Rezim Zionis dan para pengikutnya, serta beberapa orang Iran pengkhianat di luar negeri."

Trump Akui Amerika Jadi Bahan Tertawaan Dunia

Mantan presiden Amerika Serikat, Donald Trump menyebut negaranya jadi bahan tertawan dunia di bawah pemerintahan Joe Biden, dan mengatakan bahwa Pejabat Gedung Putih harus meminta maaf kepada rakyat AS karena mengemis minyak dari beberapa negara.

Donald Trump, Mantan Presiden Amerika Serikat, dalam pertemuan dengan pendukung Partai Republik di Miami Rabu (5/10/2022) mengatakan, "Dunia menertawakan kita dan memandang kita dengan cemoohan,".

"Dunia membutuhkan Amerika Serikat untuk melestarikan mimpi Amerika, yang sekarang dihancurkan oleh pemerintahan saat ini yang dipimpin oleh Joe Biden," kata Trump.

Ia juga menekankan perlunya pemerintah Biden untuk meminta maaf kepada rakyat Amerika, karena mengemis minyak dan memohon untuk peningkatan produksinya.

"Apa yang mereka (pemerintahan Joe Biden) lakukan sudah gila," klaim Trump.

"Kita memohon kepada Venezuela, kita memohon dari Arab Saudi. Kita meminta minyak kepada semua orang, padahal memiliki lebih banyak minyak di bawah kaki kita sendiri daripada yang lain," ungkapnya.

Statemen ini mengemuka di saat, Wall Street Journal melaporkan Amerika Serikat berencana untuk menangguhkan beberapa sanksi minyak Venezuela untuk memungkinkan Chevron melanjutkan produksi minyak mentah di negara Amerika Latin ini.

Lampu Hijau AS kepada Ukraina untuk Menyerang Krimea

Asisten Wakil Menteri Pertahanan Amerika Serikat (AS) Laura Cooper dalam konferensi pers terbaru di Washington mengatakan, kami akan memberikan Ukraina bantuan militer segera, termasuk sistem rudal HIMARS (The M142 High Mobility Artillery Rocket System) senilai total 625 juta dolar.

Cooper mengklaim bahwa sistem HIMARS telah memperkuat kemampuan pertahanan Ukraina dan memberinya keuntungan strategis. Dia mengatakan, Ukraina memiliki hak untuk menggunakan senjata kami di Semenanjung Krimea karena daerah ini milik Ukraina dan mereka memiliki hak untuk mengambilnya kembali.

Setelah bergabungnya empat wilayah Ukraina ke Rusia baru-baru ini, tampaknya AS, sebagai pemasok utama senjata ke Ukraina, berencana untuk memperluas cakupan perang ke tempat lain, termasuk Semenanjung Krimea, yang telah bergabung ke Rusia pada 2014.

AS baru-baru ini mengumumkan paket bantuan senjata baru untuk Ukraina, yang mencakup empat sistem rudal HIMARS dan amunisi terkait, ranjau dan kendaraan anti-ranjau dalam bentuk paket bantuan senilai $625 juta. Ini adalah paket bantuan senjata AS pertama sejak Rusia mengumumkan bergabungnya empat wilayah Ukraina, dan yang kedua sejak awal September 2022.

Sejak awal krisis Ukraina, AS telah memberikan dukungan keuangan, senjata dan diplomatik untuk pemerintah Kiev (Kyiv), dan sejak dimulainya perang di Ukraina, pemerintah Joe Biden telah memberi Ukraina 17,5 miliar dolar dalam bentuk semua jenis senjata dan bantuan militer.

Kongres AS juga telah menyetujui pemberian bantuan keamanan, ekonomi dan kemanusiaan sebesar 40 miliar dolar kepada Ukraina, yang tentu saja akan diberikan kepada pemerintah Kyiv secara sedikit demi sedikit dan bertahap, yang terakhir adalah persetujuan 12 miliar dolar bantuan ke Ukraina.

Tujuan utama AS adalah untuk membuat Rusia kerepotan dalam Perang Atrisi di Ukraina, yang akan menyebabkan melemahnya kekuatan militer dan menipisnya sumber daya keuangan Rusia. Oleh karena itu, AS dan sekutu Eropanya, Inggris, sejauh ini telah mengirimkan bantuan senjata terbesar ke Kiev.

Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov yakin bahwa Barat, yang dipimpin oleh AS dan Inggris, menggunakan dan mengubah Ukraina sebagai alat untuk menahan dan melelahkan Rusia.

Tindakan pemerintah Biden dalam mengirimkan sebanyak mungkin sistem rudal HIMARS ke Ukraina sebenarnya merupakan langkah untuk membantu mengobarkan perang di negara tersebut sebanyak mungkin dan memungkinkan bagi pasukan Ukraina untuk menargetkan wilayah Rusia, termasuk Semenanjung Krimea.

Tampaknya AS berusaha membantu Ukraina untuk membuat kemajuan baru di empat wilayah: Donetsk, Luhansk, Kherson dan Zaporizhia dengan mengirimkan sistem rudal HIMARS, yang merupakan senjata akurat dan sangat mematikan dengan jangkauan yang signifikan.

Rusia sedang memberikan pengakuan secara resmi atas penggabungan empat wilayah tersebut ke negara ini melalui referendum dan proses hukum di Rusia, yaitu penandatanganan Vladimir Putin dan persetujuan lembaga legisltif.

Melihat perkembangan tersebut, AS berusaha memperpanjang dan mengobarkan perang di Ukraina, meskipun ada ancaman serius dari Rusia, termasuk penggunaan senjata nuklir untuk menyerang Ukraina jika pasukan negara ini melakukan serangan luas ke empat wilayah yang sekarang menjadi bagian dari Rusia itu.

Presiden AS Joe Biden telah berulang kali menyatakan bahwa dia ingin Ukraina menang melawan Rusia, dan untuk alasan ini, dia telah mengirim beragam senjata senilai miliaran dolar ke Ukraina dan bertekad untuk terus melakukannya.

Atas tindakannya tersebut, AS harus bertanggung jawab atas setiap perluasan ruang lingkup perang di Ukraina dan konsekuensi bencananya. Tentu saja, ini akan mengarah pada peningkatan kemungkinan konfrontasi langsung antara Rusia dan NATO dan terjadinya perang skala besar.

Anatoly Antonov mengatakan, pengiriman senjata baru oleh AS dan sekutunya ke Ukraina tidak hanya akan menyebabkan pertumpahan darah jangka panjang dan korban baru, tetapi juga meningkatkan risiko konflik militer langsung antara Rusia dan Barat.

Kubu Demokrat Minta AS Tarik Pasukan dari Saudi dan UEA

Sejumlah anggota Parlemen Amerika Serikat dari Partai Demokrat mendesak Gedung Putih untuk menarik pasukan dari Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, sebagai balasan atas keputusan OPEC Plus menurunkan volume produksi minyaknya hingga dua juta barel per hari.

Tom Malinowski, dari negara bagian New Jersey, Sean Kasten, dari Illinois, dan Susan Wild, dari Pennsylvania, baru-baru ini mengusulkan sebuah draf undang-undang yang mengharuskan pemerintah AS menarik pasukan dari Saudi dan UEA, beserta seluruh sistem anti-rudal seperti Patriot dan THAAD.

Dikutip IRNA, Sabtu (8/10/2022), para legislator Demokrat itu mengumumkan, "Penurunan signifikan produksi minyak oleh Saudi dan UEA pada kondisi ketika Presiden Joe Biden, beberapa bulan terakhir memberikan sejumlah usulan ke dua negara itu, adalah tindakan permusuhan terhadap AS, dan bukti nyata dari masalah ini adalah keberpihakan dua negara ini terhadap Rusia dalam perang melawan Ukraina."

Ditambahkannya, "Kami tidak memiliki alasan apa pun untuk mempertahankan pasukan dan para kontraktor AS dalam melanjutkan pelayanan mereka di negara-negara yang secara aktif melawan kami."

Sebelumnya Presiden AS menyebut keputusan OPEC Plus mengurangi produksi minyaknya sebagai hal yang mengecewakan, dan menurutnya AS berusaha mencari alternatif pengganti.

Tags