Sudan di Ambang Perang Saudara Skala Penuh, Sekjen PPB Khawatir
(last modified Mon, 10 Jul 2023 15:11:32 GMT )
Jul 10, 2023 22:11 Asia/Jakarta
  • Militer Sudan.
    Militer Sudan.

Konflik dan perang saudara di Sudan berlanjut dan meluas, dan upaya untuk membangun perdamaian dan stabilitas di negara ini gagal, bahkan pihak-pihak yang berseteru meningkatkan intensitas serangan mereka.

Perang saudara di Sudan meletus pada 15 April 2023 disebabkan perebutan kekuasaan antara tentara Sudan dan Rapid Support Forces (RSF) atau Pasukan Dukungan Cepat di tengah kekosongan pemerintahan.

1.133 orang dilaporkan tewas akibat perang saudara di Sudan. Lebih dari 2,9 juta orang juga kehilangan tempat tinggal, termasuk 700 ribu yang memilih untuk mengungsi ke negara-negara tetangga.

RSF mendominasi medan perang di Khartoum, ibu kota Sudan dan sejumlah kota di sekitarnya, seperti Omdurman dan Bahri. Omdurman menjadi medan tempur paling sengit.

Bagian barat kota tersebut merupakan jalur utama bagi RSF untuk membawa pasokan senjata dan pasukan dari Darfur, wilayah markas utama mereka.

Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) Antonio Guterres memperingatkan terjadinya perang saudara skala penuh di Sudan.

Dia mengumumkan bahwa perang antara tentara Sudan dan RSF mungkin akan mengguncang seluruh kawasan, dan situasi ini tidak hanya mengancam Sudan tetapi juga seluruh kawasan di sekitarnya.

"Ada pengabaian sepenuhnya terhadap hukum kemanusiaan dan hak asasi manusia dalam konflik ini, yang berbahaya dan mengganggu," ujarnya.

Militer Sudan dan RSF berusaha untuk menguasai lokasi dan tempat-tempat penting di negara ini, termasuk istana kepresidenan, markas besar angkatan bersenjata, pusat komando pasukan reaksi cepat dan beberapa bandara militer dan sipil.

Tentara Sudan dan RSF menggunakan senjata ringan dan berat dalam konflik tersebut. Selain itu, di beberapa wilayah Khartoum, ledakan terdengar dan pesawat-pesawat tempur terlihat di langit kota ini.

Dalam serangan udara terbaru tentara Sudan di daerah Dar al-Salam, yang terletak di sebelah barat Libya Bazaar di kota Omdurman, 22 orang tewas dan ratusan lainnya terluka.

Farhan Haq, wakil juru bicara Sekjen PBB dalam pernyataannya menyinggung keprihatinan Antonio Guterres tentang meluasnya perang di negara bagian Kurdufan (Kordofan) Utara, Kurdufan Selatan dan Nil Biru.

Dia mengatakan, hukum kemanusiaan diabaikan dengan cara yang berbahaya dan mengkhawatirkan.

Meskipun semua upaya telah dilakukan untuk memberlakukan gencatan senjata di Sudan, namun pihak-pihak yang berkonflik tidak mematuhinya dan bahkan melanjutkan baku tembak dan saling serang.

Sudan telah menghadapi berbagai krisis politik dan ekonomi selama bertahun-tahun. Krisis yang menyebabkan kudeta militer terhadap Omar al-Bashir, mantan diktator negara ini. Namun berkuasanya pemerintahan militer dan keberlanjutannya telah memicu meningkatnya ketidakpuasan di Sudan.

Keadaan ini diperparah oleh adanya intervensi asing, terutama dari negara-negara saingan, sehingga dalam perang saat ini, masing-masing pihak yang berkonflik memanfaatkan dukungan asing dalam penyediaan senjata dan perlengkapan militer.

Di sisi lain, konteks kesukuan di Sudan, dan perang dan kerusuhan di negara bagian seperti Kurdufan dan Nil yang telah berlangsung puluhan tahun akibat kurangnya perhatian pemerintah pusat, semakin memperburuk keadaan.

Menurut laporan majalah The Economist, banyak suku Arab Darfur, dan rekan kulit hitam mereka, masih merasa tertindas. Kekerasan Arab terhadap orang-orang Afrika yang kembali, telah meluas.  

"Ini adalah perang terburuk yang pernah saya lihat dalam 20 tahun sebagai pekerja bantuan," kata Justin M. dari badan amal kemanusiaan yang berbasis di Prancis.

Video di media sosial memperlihatkan orang-orang bersenjata melakukan Arabisasi yang intens di kawasan dan melakukan penghinaan dan kekerasan etnis.

Sebelumnya, Wakil Khusus PBB untuk Sudan Volker Peretz menggambarkan perang di Darfur Barat sebagai "pembersihan etnis, dalam skala besar".

Masalah ekonomi dan situasi geopolitik Sudan adalah masalah lain yang telah menempatkan negara ini dalam kancah konfrontasi terbuka antara kelompok-kelompok politik internal dan perang proksi negara-negara Arab.

Sudan yang terletak di sebelah Laut Merah dengan lokasi geografis sangat penting untuk akses ke sub-Sahara Afrika dan jalur perdagangan global serta rantai pasokan melalui selat Bab al-Mandeb.

Di sisi lain, tambang emas Sudan adalah harta karun yang diimpikan oleh semua negara di kawasan dan agen-agen di dalamnya.

Menurut pakar politik Patrick Smith, sejak revolusi yang menggulingkan al-Bashir pada April 2019, perdagangan emas Sudan menjadi isu vital dalam politik kekuasaan di negara ini.

Berdasarkan dokumen Global Witness, Sudan mengekspor emas senilai 16 miliar dolar ke Uni Emirat Arab (UEA) setiap tahun.

Sudan secara keseluruhan sekarang ini dalam situasi kritis. Tidak ada satu pun pihak yang berkuasa di negara ini yang rela menyerahkan kepentingan pribadi dan pendukung asingnya demi tercapainya perdamaian, bahkan semua upaya untuk menciptakan gencatan senjata pun belum berhasil.

Semua orang khawatir, kelanjutan perang saudara di Sudan tidak hanya menjadi perang saudara skala penuh di negara ini, namun juga meluas dan melibatkan negara-negara lain di kawasan tersebut. (RA)