Konflik di Ukraina Tak Kunjung Berakhir, Cina Tegaskan Solusi Politik
Pejabat pemerintah Cina terus menekankan solusi politik dan diplomatik untuk menyelesaikan krisis Ukraina. Penegaskan ini juga disampaikan oleh Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi.
Wang dalam percakapan telepon dengan mitranya dari Rusia Sergey Lavrov, menggambarkan Beijing dan Moskow sebagai teman yang dapat diandalkan.
"Cina akan mempertahankan posisinya yang adil dalam setiap perkembangan multilateral, termasuk krisis Ukraina. Pemerintah Beijing juga akan berusaha memantau secara rasional dan realistis dan akan secara aktif mencoba mempromosikan perdamaian dan negosiasi untuk mencapai solusi politik masalah internasional, termasuk perang di Ukraina," kata Wang.
Dalam percakapan telepon ini, Menlu Rusia menyampaikan apresiasinya atas sikap dan peran konstruktif Cina dalam menyelesaikan krisis Ukraina. Lavrov mengkritik narasi negara-negara Barat tentang putusnya hubungan kedua negara setelah pembicaraan di Jeddah.
"Rusia menghargai posisi Cina untuk penyelesaian politik atas krisis Ukraina dan menyambut baik peran konstruktif negara ini," kata Lavrov.
Posisi logis pemerintah Cina terhadap krisis Ukraina menunjukkan bahwa Beijing, tidak seperti posisi pemerintah-pemerintah Barat, sedang berusaha membangun perdamaian di dunia.
Sementara Amerika Serikat (AS) dan sekutunya, yang tertinggal dari arus perkembangan politik, ekonomi, dan ilmiah negara-negara saingannya, mencoba melibatkan negara-negara tersebut dalam masalah-masalah marjinal dengan menciptakan krisis buatan sehingga mereka dapat menjadi yang terdepan.
Setelah provokasi Ukraina dan upaya pemerintah Volodymyr Zelenskyy untuk menekan warga keturunan Rusia di dua provinsi di Ukraina, dan pada saat yang sama, upaya keanggotaan negara itu dalam Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO), pemerintah Rusia memulai operasi khususnya di Ukraina pada 24 Februari 2022.
Setelah perang pecah, Republik Islam Iran dan Cina telah mengumumkan tindakan provokatif dari negara-negara Barat, seperti perluasan NATO ke perbatasan Rusia, sebagai alasan utama dimulainya perang di Ukraina.
Terlepas dari upaya pemerintah Beijing untuk menyelesaikan krisis Ukraina melalui dialog, pemerintah negara-negara Barat, yang dipimpin oleh AS, masih menyerukan perang.
Para menteri luar negeri dari negara-negara G-7, yang terdiri dari AS, Inggris, Jepang, Kanada, Prancis, Jerman, dan Italia, mengadakan pertemuan pada bulan April tahun ini di Karuizawa, Jepang.
Dalam pertemuan tiga hari ini, perang Ukraina menjadi pusat pembicaraan. Setelah pembicaraan putaran pertama, para peserta menerbitkan pernyataan tentang perang di Ukraina, sejalan dengan kebijakan anti-Rusia di Barat, khususnya AS.
Dalam pernyataan G-7 itu disebutkan bahwa peserta dalam pertemuan Karuizawa telah sepakat untuk mengirim semua jenis senjata berbahaya ke Ukraina. Mereka juga memperkuat kerja sama agar Rusia tidak mampu mengelak dari sanksi. Barat juga berusaha mencegah pengiriman senjata ke Rusia oleh negara ketiga.
Pernyataan negara-negara G-7 membuktikan fakta bahwa pemerintah negara-negara Barat yang dipimpin oleh AS hanya berusaha menciptakan perang di berbagai wilayah dunia, termasuk perang antara Ukraina dan Rusia.
Pada saat yang sama, pemimpin negara-negara Barat di Asia Tenggara telah melakukan upaya ganda untuk mencapai tujuan dan tuntutan tidak sahnya di berbagai wilayah dunia sambil menciptakan krisis antara Cina dan Taiwan dan Jepang dan Cina, dan bahkan meningkatkan ketegangan buatan antara Jepang dan Rusia.
Sebenarnya, selama perang di Ukraina, pemerintah negara-negara Barat telah banyak mendukung pemerintah Kiev dalam dimensi militer dengan mengirimkan beragam senjata dan mengirimkan ahli militer bahkan pasukan ke negara ini.
Mereka juga merepakan beragam tekanan terhadap Moskow dengan sanksi berat, dan memprotes negara-negara lain dengan dalih kerjasama militer dengan Rusia.
Sementara penyebab sebenarnya dari perang Ukraina saat ini dengan Rusia adalah karena kebijakan berbahaya para pejabat Gedung Putih.
Yang pasti adalah sikap pemerintah Zelenskyy yang mengikuti kebijakan AS dan NATO telah merugikan rakyat negara ini.
Hasil dari kebijakan dan kerja sama pemerintah Zelensky dengan AS tidak lain adalah mengungsinya jutaan warga Ukraina yang terpaksa meninggalkan rumah dan tempat tinggal mereka.
Selain itu, banyak warga Ukraina tewas dan fasilitas infrastruktur negara ini hancur. Jelas, dalam situasi ini, penegaskan pemerintah Cina untuk solusi politik dan diplomatik atas krisis Ukraina merupakan posisi yang konstruktif bagi para pihak yang terlibat dalam krisis tersebut. (RA)