Perdamaian Gaza ala Trump: Janji Manis Berbisa
https://parstoday.ir/id/news/world-i177438-perdamaian_gaza_ala_trump_janji_manis_berbisa
“Janji manis perdamaian selalu memikat. Namun sejarah mengingatkan: janji manis tanpa konsistensi bisa berubah menjadi bisa.”
(last modified 2025-09-27T15:48:32+00:00 )
Sep 27, 2025 16:03 Asia/Jakarta
  • Perdamaian Gaza ala Trump: Janji Manis Berbisa

“Janji manis perdamaian selalu memikat. Namun sejarah mengingatkan: janji manis tanpa konsistensi bisa berubah menjadi bisa.”

Oleh: Purkon Hidayat

Panggung di New York

Sidang Umum PBB ke-80 menghadirkan bukan hanya pidato, tapi juga diplomasi di balik layar. Salah satu yang paling menyedot perhatian publik dunia adalah pertemuan Donald Trump dengan sejumlah pemimpin negara-negara Muslim. Di sana, Trump memperkenalkan Rencana 21 Poin Perdamaian Gaza.

Isinya terdengar komprehensif dan manis: gencatan senjata permanen, penarikan bertahap pasukan Israel, pembebasan sandera, rekonstruksi Gaza, hingga larangan Israel menyerang Qatar. Trump bahkan menambahkan klaim tidak akan membiarkan Israel mencaplok Tepi Barat.

Jika dibaca sepintas, rencana ini terlihat menjanjikan. Namun, bagi mereka yang mengikuti rekam jejak Trump di panggung internasional, pertanyaan besar segera muncul: sejauh mana janji itu bisa dipercaya?

Rekam Jejak yang Kontradiktif

Untuk menilai proposal perdamaian Gaza yang diusung Trump, tampaknya penting menelisik pola kebijakan Trump sebelumnya dalam perjalanan rekam jejak politiknya di arena internasional.

Pertama, dalam isu Iran, ketika Oman memediasi perundingan nuklir antara Iran dan Amerika Serikat, Israel dengan dukungan Washington melancarkan serangan ke Tehran. Bahkan, AS Serikat sendiri secara langsung melancarkan serangan udara terhadap fasilitas nuklir Iran. Trump menjalankan diplomasi dan serangan militer berjalan beriringan.

Kedua, Amerika Serikat membiarkan Israel menyerang Doha, yang menampung pangkalan militer AS. Tidak ada pencegahan dari Washington.

Ketiga, kesepakatan nuklir internasional, JCPOA dibatalkan secara sepihak oleh Trump pada 2018. Satu keputusan sepihak menghapus hasil negosiasi bertahun-tahun.

Keempat dalam masalah perang Ukraina. Trump berulang kali menyatakan ingin menghentikan perang. Namun sikapnya terhadap Moskow dan Kiev tidak konsisten.

Pola ini memperlihatkan bahwa janji Trump seringkali berakhir pada tindakan yang berlawanan dari janji-janji manisnya yang berubah menjadi bisa.

Janji Tepi Barat: Antara Retorika dan Realitas

Klaim bahwa Trump tidak akan membiarkan Israel mencaplok Tepi Barat patut dicermati. Pernyataan itu terdengar seolah menempatkan Amerika pada posisi penyeimbang.

Namun, fakta lain menunjukkan sebaliknya. Trump adalah presiden AS pertama yang secara resmi mengakui Yerusalem sebagai ibu kota Israel dan kedaulatan Israel atas Dataran Tinggi Golan.

Tanpa komitmen yang jelas terhadap penghentian pemukiman ilegal, janji Tepi Barat tampak lebih sebagai retorika diplomasi daripada instrumen nyata.

Dimensi Geopolitik

Di luar aspek teknis, rencana ini juga harus dibaca dalam kerangka geopolitik yang lebih luas.

- Bagi Trump, meluncurkan rencana perdamaian besar memberi panggung global.

- Bagi Amerika, rencana ini adalah cara menjaga peran sebagai aktor kunci Timur Tengah.

- Bagi Israel, rencana ini memberi ruang mempertahankan kontrol sambil mengalihkan sorotan ke diplomasi.

- Bagi negara-negara Muslim, rencana ini membuka dilema: ada kebutuhan menghentikan perang, tapi juga skeptisisme besar terhadap konsistensi AS.

Respons Dunia Muslim

Reaksi dari pemimpin Muslim yang hadir dalam pertemuan dengan Trump menunjukkan optimisme hati-hati.

Setidaknya ada tiga tanggapan yang menjadi perhatian media internasional.

- Presiden Turki, Recep Tayyip Erdoğan, menyebut pertemuan itu “fruitful.”

- Delegasi Arab Saudi menekankan bahwa Trump memahami bahaya aneksasi Tepi Barat.

- Qatar dan Mesir menyoroti urgensi membuka jalur bantuan kemanusiaan.

Namun, pertemuan berakhir tanpa pernyataan bersama. Konsensus masih rapuh. Dunia Muslim menunggu bukti nyata, bukan hanya kata-kata.

Pertanyaan Besar

Ada satu hal yang tidak disentuh serius dalam prakarsa Trump: siapa yang akan mengelola Gaza setelah perang?

- Mengembalikan Otoritas Palestina? Israel menolak.

- Membentuk otoritas sementara dengan dukungan PBB atau negara Arab? Biaya dan risikonya sangat besar.

- Membiarkan Israel tetap berkuasa? Hampir pasti memicu siklus baru perlawanan.

Tanpa jawaban jelas, Gaza berpotensi terjebak dalam lingkaran lama: perang, kehancuran, radikalisasi, lalu perang kembali.

Analisis: Janji, Kredibilitas, dan Legitimasi

Prakarsa 21 poin bisa dipahami sebagai strategi politik. Di satu sisi, ia memberi sinyal bahwa Trump ingin tampil lebih moderat. Di sisi lain, rekam jejak menunjukkan lemahnya kredibilitas janji tersebut.

Dalam hubungan internasional, kredibilitas adalah mata uang utama. Pemimpin yang kehilangan kredibilitas akan kesulitan meyakinkan mitra. Trump, dengan sejarah kebijakan yang tidak konsisten, menghadapi defisit kredibilitas serius.

Legitimasi hanya lahir dari konsistensi, bukan sekadar kata-kata.

Janji Manis Penuh Bisa

Perdamaian Gaza ala Trump adalah narasi yang terdengar meyakinkan di panggung diplomasi, tetapi rapuh jika ditimbang dari sejarah. Janji besar tanpa konsistensi berisiko berubah menjadi janji berbisa yang memikat, tapi melemahkan.

Gaza tidak membutuhkan retorika yang mudah berubah. Kini, yang dibutuhkan adalah komitmen nyata: penghentian agresi, jaminan bantuan kemanusiaan, dan solusi politik yang realistis.

Masa depan Palestina tidak bisa digantungkan pada janji yang indah di podium atau ruang rapat, tetapi harus dibangun di atas konsistensi, keadilan, dan keberanian dunia internasional, terutama dunia Muslim untuk menuntut solusi yang nyata.