Kematian Dick Cheney, Akhir dari Arsitek Utama Kebijakan Anti-Iran Washington
https://parstoday.ir/id/news/world-i179750-kematian_dick_cheney_akhir_dari_arsitek_utama_kebijakan_anti_iran_washington
Pars Today - Dick Cheney, arsitek utama kebijakan agresif Amerika Serikat dan salah satu tokoh paling berpengaruh di kalangan neokonservatif, telah meninggal dunia. Sebuah kematian yang terjadi bertepatan dengan Hari Nasional “Perlawanan terhadap Arogansi Global” di Iran, yang bagi banyak orang di Iran dan dunia merupakan ironi sejarah yang mendalam.
(last modified 2025-11-07T04:06:48+00:00 )
Nov 07, 2025 11:04 Asia/Jakarta
  • Dick Cheney
    Dick Cheney

Pars Today - Dick Cheney, arsitek utama kebijakan agresif Amerika Serikat dan salah satu tokoh paling berpengaruh di kalangan neokonservatif, telah meninggal dunia. Sebuah kematian yang terjadi bertepatan dengan Hari Nasional “Perlawanan terhadap Arogansi Global” di Iran, yang bagi banyak orang di Iran dan dunia merupakan ironi sejarah yang mendalam.

Cheney, yang selama bertahun-tahun memimpin kebijakan “melemahkan Iran”, akhirnya meninggalkan warisan yang justru berbalik arah bagi Washington, meningkatnya kekuatan regional Iran dan runtuhnya tatanan yang diinginkan Amerika Serikat di Timur Tengah.

Arsitek Kebijakan Penangkalan dan Permusuhan Terbuka terhadap Iran

Dick Cheney, Wakil Presiden Amerika Serikat pada masa pemerintahan George W. Bush (2001–2009), merupakan salah satu tokoh sentral dalam kebijakan luar negeri agresif Washington.

Menurut laporan FNA, Cheney berpendapat bahwa kebijakan penangkalan terhadap Iran hanya bermakna jika disertai dengan ancaman militer yang nyata. Dalam setiap pertemuan Dewan Keamanan Nasional, ia selalu menekankan perlunya menunjukkan kekuatan militer terhadap Tehran, karena menurutnya sanksi ekonomi semata tidak cukup.

Berdasarkan dokumen dan kesaksian para pejabat Amerika, Cheney adalah perancang konseptual dari kebijakan yang kemudian dikenal sebagai “tekanan maksimum” pada masa pemerintahan Trump. Ia meyakini bahwa hanya dengan ancaman dan tekanan Iran bisa dipaksa mundur, sebuah pendekatan yang pada akhirnya justru memperkuat ketahanan dan kemandirian Tehran.

Dari “Poros Kejahatan” hingga Perang Irak

Pada tahun 2002, dalam pidato terkenal, Presiden Bush menyebut Iran bersama Irak dan Korea Utara sebagai “Poros Kejahatan” (Axis of Evil), sebuah frasa yang dimasukkan ke dalam teks pidato atas dukungan langsung Dick Cheney.

Ia membayangkan bahwa dengan menggulingkan Saddam Hussein dan menempatkan pasukan Amerika di Irak, Iran akan terkurung dalam kepungan strategis. Namun, perkembangan di lapangan justru berbalik arah. Kejatuhan Saddam bukannya melemahkan Iran, melainkan memperluas pengaruh regional Tehran, sesuatu yang oleh banyak analis Amerika disebut sebagai kegagalan strategis terbesar Cheney.

Operasi Rahasia dan Permusuhan Tanpa Henti

Selain perannya dalam ranah politik, Dick Cheney juga terlibat langsung dalam perancangan berbagai operasi rahasia terhadap Iran. Ia merupakan salah satu pendukung utama proyek sabotase, termasuk serangan siber dan operasi virus Stuxnet yang menargetkan fasilitas nuklir Iran.

Dalam sebuah wawancara dengan jaringan CBS, ia pernah berkata, “Terhadap negara yang ingin menghancurkan Amerika, kita harus menggunakan segala cara, bahkan yang tidak terpuji sekalipun.”

Penentangan terhadap JCPOA dan Upaya Menahan Jalur Diplomasi

Pada tahun 2015, ketika Iran dan negara-negara besar dunia menandatangani Perjanjian Nuklir (JCPOA), Cheney menjadi salah satu penentang paling keras. Ia menyebut perjanjian itu sebagai “kesalahan historis” dan menuntut kesepakatan yang lebih ketat, mencakup penghentian program rudal Iran serta pengawasan internasional tanpa batas, tuntutan yang bahkan oleh sekutu-sekutu Eropa Amerika dianggap tidak realistis.

Keterkaitan Ekonomi Tersembunyi dan Kontradiksi Politik

Meskipun dikenal sebagai tokoh yang sangat anti-Iran, Cheney memiliki hubungan ekonomi dengan Tehran pada tahun-tahun sebelum menjabat di Gedung Putih. Sebagai CEO perusahaan minyak Halliburton, ia memfasilitasi kontrak dengan Oriental Kish Company pada tahun 2018.

Beberapa sumber bahkan melaporkan bahwa Cheney pernah melakukan kunjungan rahasia ke Tehran dan sempat dirawat di salah satu rumah sakit ibu kota akibat gangguan jantung.

Kontradiksi antara permusuhan politik dan kerja sama ekonomi ini membuat Cheney dikenal sebagai figur bermuka dua, seorang politisi yang menyerukan “penghancuran kemampuan energi Iran”, tapi di saat yang sama memperoleh keuntungan finansial dari proyek-proyek yang melibatkan Iran.

Warisan Abadi dari Kebijakan yang Gagal

Meskipun Dick Cheney pada tahun-tahun terakhir hidupnya telah menjauh dari politik aktif, pemikirannya tetap berpengaruh dalam kebijakan luar negeri Amerika Serikat. Kombinasi antara ancaman militer dan tekanan ekonomi, formula khas Cheney, terus menjadi landasan dalam pendekatan pemerintahan-pemerintahan berikutnya, termasuk di era Donald Trump dan Joe Biden.

Cheney bahkan sempat menyatakan dukungan terhadap Kamala Harris dalam pemilihan umum presiden 2024, tapi sikap kerasnya terhadap Iran tidak pernah berubah.

Bagi banyak pengamat, Cheney memiliki peran yang jauh melampaui seorang wakil presiden biasa dalam merancang strategi pengekangan terhadap Iran. Sejumlah keputusan penting pemerintahan Bush disebut tidak pernah diambil tanpa pertimbangannya.

Hasil yang Berbalik Arah bagi Proyek Anti-Iran

Dengan wafatnya Dick Cheney pada Hari Nasional “Perlawanan terhadap Arogansi Global” (4 November 2025), banyak analis menilai bahwa kebijakan yang ia rancang justru menghasilkan efek sebaliknya. Alih-alih melemahkan Iran, kebijakannya memperkuat posisi regional Tehran.

Penggulingan Saddam Hussein, runtuhnya tatanan regional yang berpusat pada Amerika, serta menurunnya pengaruh Washington di Timur Tengah merupakan konsekuensi langsung dari strategi yang dirancang Cheney.

Cheney berupaya mengisolasi Iran, tapi kini Republik Islam Iran telah menjelma menjadi kekuatan penentu dalam dinamika kawasan.

Kematian Cheney menandai berakhirnya satu era kebijakan hegemonik Amerika terhadap Tehran, kebijakan yang, meskipun menelan biaya militer, diplomatik, dan ekonomi yang sangat besar, gagal mencapai tujuannya dan justru mempercepat kemunduran pengaruh Amerika di Timur Tengah.(sl)