Krisis Sudan dan Perang Proksi, Siapakah Aktor Asingnya?
-
Sudan
Pars Today - Krisis Sudan kini semakin mirip dengan perang proksi, yang konsekuensinya tidak hanya dirasakan di tanah Sudan. Keterlibatan lebih dari 10 aktor asing dalam krisis ini cukup nyata.
Menurut laporan Mehr, Sejak dimulainya pertempuran antara pasukan Militer Sudah dan Pasukan Reaksi Cepat (RSF) pada April 2023, krisis Sudan telah memasuki tahun ketiga.
Perang ini bukan sekadar konflik internal antara penentang dan pendukung rezim, melainkan juga merupakan medan pertempuran yang melibatkan lebih dari 15 negara regional dan trans-regional. Hingga November 2025, menurut laporan, lebih dari 200.000 orang telah tewas dan sekitar 15 juta orang telah mengungsi, dan risiko kelaparan yang semakin meningkat telah diperkirakan dengan kemungkinan hingga 2,5 juta kematian dalam beberapa skenario.
Situasi ini menunjukkan bahwa Sudan telah menjadi medan perang bagi Perang Proksi Asing. Artinya, para aktor telah memasuki cerita ini dengan tujuan geopolitik, keamanan, dan ekonomi, bukan hanya kekhawatiran tentang perdamaian internal.
Dalam artikel ini, kami akan mengkaji peran aktor asing dalam krisis Sudan.
Uni Emirat Arab
Salah satu pendukung utama Pasukan Reaksi Cepat (RSF), yang baru-baru ini menyebabkan pembantaian besar-besaran di kota Fasher di negara bagian Darfur, adalah UEA.
Sejak 2023, Abu Dhabi telah mengirimkan senjata canggih (rudal Cornet, drone Tiongkok, kendaraan lapis baja) melalui rute-rute seperti Chad dan Uganda. Pada saat yang sama, kerja sama dengan RSF untuk mengendalikan tambang emas Sudan merupakan dimensi lain dari kehadiran ini.
Proyek-proyek pelabuhan Laut Merah, seperti Abu Amama, juga menunjukkan tujuan UEA untuk mendominasi rute laut dan kekayaan mineral. Beberapa laporan menunjukkan bahwa penyelundupan emas Sudan ke Dubai bernilai miliaran dolar dan telah memungkinkan pendanaan Pasukan Reaksi Cepat.
Oleh karena itu, Uni Emirat Arab berupaya mengonsolidasikan posisinya di Sudan dengan kombinasi instrumen ekonomi (emas, pelabuhan) dan militer (senjata, pelatihan), sekaligus meminggirkan kelompok Islamis yang terkait dengan tentara Sudan.
Rusia
Rusia juga merupakan salah satu pemain utama dalam konflik Sudan. Rusia memiliki dua tujuan yang jelas: pertama, mendanai perang di Ukraina melalui tambang emas dan Afrika. Kedua, memperluas pengaruhnya di wilayah Laut Merah. Dan terakhir, membangun pangkalan angkatan laut, terutama di pelabuhan Sudan.
Dokumen menunjukkan bahwa Rusia awalnya mendukung Pasukan Reaksi Cepat, tetapi sejak April 2025, Rusia telah bertemu dengan tentara Sudan dan menjanjikan "bantuan yang signifikan". Senjata telah memasuki Sudan dari Libya, Chad, dan pangkalan Rusia. Akibatnya, peran Rusia tidak hanya ekonomi tetapi juga strategis, untuk mendapatkan pengaruh militer di Laut Merah, mengamankan rute mineral, dan meminggirkan rival Barat.
Mesir dan Arab Saudi
Di antara para pemain Arab, Mesir dan Arab Saudi juga memainkan peran kunci. Mesir secara terbuka mendukung tentara Sudan, dengan alasan keamanan perbatasan dengan Sudan, kekhawatiran tentang Bendungan Grand Renaissance di Ethiopia, dan hubungan historis antara tentara Mesir dan Sudan. Kairo telah menyediakan drone Turki untuk tentara Sudan dan sedang melatih para perwira. Pada Februari 2025, Militer Sudan merebut kembali kota Obeid dengan bantuan Mesir. Mesir juga menjadi tuan rumah perundingan "Dialog Sudan" dan pada November 2025, telah menerima lebih dari 3 juta pengungsi Sudan.
Arab Saudi telah masuk, meskipun secara diam-diam, untuk mendukung tentara Sudan. Stabilitas Laut Merah penting bagi proyek "NEOM", dan Riyadh berusaha menjadi penengah dengan menjadi tuan rumah "Pertemuan Jeddah". Pada tahun 2025, dalam persaingan dengan UEA, Arab Saudi telah meningkatkan dukungannya bagi tentara Sudan.
Dengan demikian, Mesir dan Arab Saudi berupaya memastikan keamanan regional, menjaga aliran Sungai Nil, dan mencegah ketidakstabilan di Laut Merah, dan infrastruktur kehadiran mereka di Sudan juga dapat dipahami dari perspektif ini.
Turki dan Tiongkok
Turki sedang mengejar pengaruhnya di Tanduk Afrika dengan menjual pesawat nirawak Bayraktar kepada tentara Sudan setelah kunjungan Abdel Fattah Al-Burhan pada November 2023, pelatihan pasukan, proyek infrastruktur, dan perebutan kembali wilayah yang direbut pada tahun 2025 merupakan bagian dari kegiatan ini.
Tiongkok, meskipun lebih merupakan pendekatan ekonomi, aktif sebagai pendukung infrastruktur bagi tentara Sudan. Pinjaman, kontrak minyak, dan dukungan diplomatik di PBB adalah alat Beijing. Tiongkok tidak memiliki kehadiran militer langsung tetapi telah memasuki permainan untuk melindungi investasinya, terutama di sektor pertambangan.
Etiopia, Eritrea, Chad, Sudan Selatan
Peran negara-negara tetangga juga tidak boleh diabaikan. Etiopia dan Eritrea terutama mendukung Pasukan Reaksi Cepat. Etiopia dengan tujuan menghadapi Mesir dan Bendungan Renaisans Besar Etiopia, dan Eritrea dengan tujuan memengaruhi Tanduk Afrika. Chad juga berperan ganda, memfasilitasi transfer senjata Emirat di satu sisi dan menampung pengungsi Sudan di sisi lain. Sudan Selatan, yang secara ekonomi bergantung pada minyak Sudan, tidak memiliki peran langsung, tetapi perbatasannya tetap terbuka untuk Pasukan Reaksi Cepat. Kehadiran lokal ini menunjukkan bahwa krisis Sudan tidak hanya terjadi antara pemerintah dan milisi internal, tetapi juga dari negara-negara tetangga dan fasilitator eksternal.
Qatar, Aljazair, dan Rezim Zionis
Beberapa pemain yang kurang dikenal juga turut berperan. Qatar dan Aljazair muncul terutama sebagai mediator. Qatar mendukung kelompok Islamis di Sudan, sementara Aljazair juga mengirimkan drone.
Dengan perjanjian normalisasi tahun 2020, Israel memiliki hubungan diplomatik dengan kedua belah pihak. Tujuannya adalah untuk mengkonsolidasikan pengaruhnya di kawasan tersebut. Bahkan, Israel bekerja sama dengan kedua belah pihak yang berkonflik. Sub-kelompok ini menunjukkan bahwa krisis Sudan bahkan telah menarik perhatian aktor-aktor sekunder dan menjadi arena yang lebih kecil untuk persaingan yang lebih besar.
Kehadiran AS dan Barat
Sejauh ini, fokus utamanya tertuju pada aktor regional dan Rusia, tetapi peran AS dan negara-negara Barat juga penting. AS telah berulang kali memperingatkan agar tidak melibatkan aktor asing, dengan menyatakan secara eksplisit bahwa "aktor asing" telah mengubah perang dari konflik domestik menjadi "konflik berdimensi global".
AS telah memberlakukan serangkaian sanksi terhadap Pasukan Reaksi Cepat (RSF), kelompok bersenjata, dan perusahaan yang terkait dengan mereka. Namun, para kritikus mengatakan bahwa Barat belum memberikan tekanan yang cukup terhadap aktor regional dan belum menggunakan instrumennya secara terkoordinasi terhadap semua intervensi eksternal.
Oleh karena itu, kehadiran Barat, meskipun aktif di bidang diplomatik dan sanksi, belum mampu sepenuhnya mengatasi dimensi eksternal krisis. Faktanya, AS, seperti di bidang lain, memandang masalah ini dari perspektif kepentingannya sendiri.
Kesimpulan
Krisis Sudan kini telah menjadi lebih seperti perang proksi daripada sebelumnya, dengan konsekuensi yang melampaui Sudan. Keterlibatan lebih dari 10 aktor asing, yang menggunakan berbagai cara mulai dari senjata dan drone hingga emas dan pelabuhan, telah memperburuk konflik, memperpanjang krisis, dan menyebabkan bencana kemanusiaan.
Tanpa tindakan bersama dari komunitas internasional, termasuk sanksi yang ditargetkan terhadap pemberontak, pemantauan berkelanjutan terhadap aliran senjata dan keuangan, serta tekanan diplomatik terhadap negara-negara di kawasan, Sudan berisiko menjadi versi baru Libya, negara yang terfragmentasi, tak terkendali, dan menjadi ladang subur bagi persaingan geopolitik.
Terakhir, perlu ditegaskan bahwa jika aktor asing (baik regional maupun trans-regional) berfokus pada kepentingan rakyat Sudan daripada kepentingan jangka pendek mereka sendiri, ada harapan bahwa krisis ini akan berakhir. Namun, selama logika "kontrol dan eksploitasi" masih berlaku, peluang untuk mencapai perdamaian sejati akan tetap sangat rendah.(sl)