Tuan Uskup, Menyebarkan Kebencian tidak dapat Mencegah Intervensi Asing di Nigeria
https://parstoday.ir/id/news/world-i180120-tuan_uskup_menyebarkan_kebencian_tidak_dapat_mencegah_intervensi_asing_di_nigeria
Pars Today – Pada November 2025, Uskup John Bogna Bakeni saat di Warsawa dan ketika diwawancarai OSV News berbicara mengenai kondisi umat Kristen Nigeria. Pidato yang sangat mungkin mengundang campur tangan asing.
(last modified 2025-11-11T11:21:22+00:00 )
Nov 11, 2025 18:18 Asia/Jakarta
  • Uskup John Bogna Bakeni
    Uskup John Bogna Bakeni

Pars Today – Pada November 2025, Uskup John Bogna Bakeni saat di Warsawa dan ketika diwawancarai OSV News berbicara mengenai kondisi umat Kristen Nigeria. Pidato yang sangat mungkin mengundang campur tangan asing.

Pars Today, mengutip salah satu netizennya, melaporkan:

 

Sebagai warga Iran yang bersahabat dengan rakyat Nigeria, kami sepenuhnya memahami dan turut merasakan kekhawatiran serta penderitaan masyarakat di wilayah utara Nigeria. Namun demikian, kami merasa perlu memberikan penjelasan dan peringatan yang bertanggung jawab terkait beberapa pernyataan baru-baru ini yang disampaikan oleh Uskup John Bogna Bakeni, karena pernyataan publik — sekalipun disampaikan dari rasa sakit dan keputusasaan — dapat menimbulkan dampak internasional yang tak terduga dan secara tidak disengaja membuka jalan bagi campur tangan pihak asing.

 

Kontradiksi dalam Ucapan, Dampak dalam Politik: Catatan atas Pernyataan Uskup John Bogna Bakeni

 

Dalam pidatonya pada 6 November 2025 di Warsawa, Polandia, Uskup John Bogna Bakeni dari Maiduguri, Nigeria, menggambarkan situasi di wilayah utara negaranya dengan mengatakan: “Iman di utara Nigeria adalah persoalan antara hidup dan mati… setiap hari adalah sebuah anugerah, karena kita tak pernah tahu apa yang akan terjadi pada jam berikutnya.”

 

Meskipun kalimat-kalimat tersebut disampaikan dengan nada emosional dan menekankan kondisi ketidakamanan yang terus-menerus, namun penekanan pada “hidup dan mati” serta penggambaran berulang tentang tragedi menimbulkan pertanyaan serius: Apakah pernyataan semacam itu, meskipun lahir dari rasa sakit dan niat untuk mengatakan kebenaran, tidak secara tak sengaja membuka ruang bagi tafsir dan reaksi yang justru bertentangan dengan kehendak sang uskup sendiri? Lebih dari itu, bukankah seorang uskup, sebagai tokoh spiritual, seharusnya memedulikan penderitaan seluruh umat manusia? Apakah uskup tidak melihat—atau tidak ingin melihat—penderitaan rakyat Nigeria lainnya dari berbagai suku dan agama, ketika ia menggambarkan kesengsaraan itu seolah hanya dialami oleh komunitas Kristen?

 

Krisis yang Nyata, Namun Tidak Terbatas pada Satu Komunitas

 

Uskup Bakeni menggambarkan situasi di wilayah Maiduguri sebagai berada “di jantung salah satu pemberontakan paling brutal di dunia,” dan menambahkan: “Jutaan orang telah mengungsi. Komunitas Kristenlah yang paling menderita.”

 

Tidak diragukan bahwa komunitas Kristen di Nigeria bagian utara memang telah mengalami penderitaan. Namun, gambaran yang lebih utuh dari kenyataan menunjukkan bahwa “kekerasan dan ketidakamanan di Nigeria tidak mengenal batas agama.” Umat Muslim, Kristen, bahkan mereka yang tidak beragama atau penganut kepercayaan tradisional, semuanya telah menjadi korban dari kekerasan yang sama. Bahkan OSV News sendiri, dalam penayangan ulang pernyataan sang uskup, juga mengutip penegasan dari Komisioner Tinggi PBB untuk Pengungsi (UNHCR) bahwa umat Kristen merupakan bagian dari puluhan ribu korban tewas dan jutaan pengungsi di Nigeria — bukan satu-satunya korban.

 

Narasi Tragis dan Bahaya Tafsir Internasional

 

Data yang disampaikan oleh Uskup Bakeni merupakan pengulangan klaim-klaim yang telah dibantah oleh lembaga-lembaga statistik resmi Nigeria: “Rata-rata 32 orang Kristen terbunuh setiap hari” dan “7.000 orang Kristen dibantai dalam 220 hari pertama tahun 2025.” Ia juga menambahkan bahwa “setidaknya 125.000 orang Kristen telah kehilangan nyawa sejak tahun 2009.”

 

Angka-angka yang mengejutkan ini, tanpa sumber yang jelas atau metode penghitungan yang terverifikasi, berpotensi melampaui ranah peringatan keagamaan dan di tingkat global dapat ditafsirkan sebagai “tanda kegagalan total negara dan hilangnya kedaulatan nasional.” Tafsir semacam ini dapat membuka jalan bagi tekanan internasional, bahkan kemungkinan intervensi militer dengan dalih “melindungi kelompok minoritas.”

 

Permohonan yang Bermakna Ganda

 

Uskup tersebut kemudian menambahkan: “Karena adanya diskriminasi, pemerintah memberi perhatian yang sangat sedikit kepada kami. Maka dari itu, satu-satunya bantuan yang dapat kami andalkan adalah dari lembaga-lembaga seperti Aid to the Church in Need (ACN) dan negara-negara seperti Amerika Serikat serta Polandia.

 

Sekilas, pernyataan itu tampak sebagai seruan kemanusiaan. Namun, dalam konteks politik internasional, ungkapan langsung semacam ini dapat ditafsirkan sebagai tanda ketidakpercayaan terhadap pemerintah pusat dan bahkan sebagai ajakan terselubung kepada kekuatan asing untuk campur tangan.

 

Kontradiksi di Akhir

 

Dalam bagian penutup wawancara yang sama, Uskup Bakeni menyatakan:

 

Mengirim pasukan asing bukanlah solusi. Nigeria adalah negara yang berdaulat. Yang kami butuhkan adalah bantuan untuk mengidentifikasi dan melucuti para teroris, serta menegakkan keadilan dan perdamaian.”

 

Pernyataan terakhir ini, meskipun secara tegas menolak intervensi militer, namun jika diletakkan berdampingan dengan narasi-narasi sebelumnya—tentang kehancuran total, ketidakmampuan pemerintah, dan seruan akan “perhatian mendesak dunia”—secara alami tampak kontradiktif. Seseorang yang menggambarkan situasi kehancuran mutlak tidak dapat berharap bahwa pendengar internasional hanya akan memikirkan “bantuan kemanusiaan” tanpa memunculkan gagasan tentang intervensi langsung. Bahasa yang sarat dengan nuansa krisis, suka atau tidak, akan menjadi pembenaran bagi keterlibatan kekuatan luar.

 

Pentingnya Bahasa yang Bertanggung Jawab

 

Tujuan dari kritik ini bukanlah untuk mengecilkan penderitaan rakyat Nigeria—baik Muslim maupun Kristen—melainkan untuk menegaskan tanggung jawab dalam berbicara dari posisi keagamaan dan politik. Dalam konteks di mana media internasional dapat memperkuat setiap pernyataan, para pemimpin agama harus menyadari bahwa setiap kata mereka dapat berubah menjadi alat politik—politik yang mungkin, tanpa mereka kehendaki, justru berujung pada kekerasan atau intervensi asing.

 

Ketika seorang pemimpin spiritual berbicara sebagai simbol para korban, penyampaian data yang mengejutkan tanpa sumber jelas atau penggambaran berulang tentang ketidakmampuan pemerintah dapat memperkuat narasi “negara gagal” di mata para pengamat. Dalam situasi saat ini, yang paling dibutuhkan bukanlah bahasa yang memperuncing perbedaan, melainkan bahasa yang mengedepankan persatuan dan semangat kebangsaan—bahasa yang menyoroti penderitaan bersama rakyat, bukan perbedaan keagamaan di antara mereka. (MF)