Kewarganegaraan Kelas Dua; Ancaman Laten terhadap Kelompok Minoritas di Barat
Pars Today – Laporan organisasi Hak Asasi Manusia (HAM) terkait sekitar 9 juta orang di Inggris yang berada dalam cakupan hukum pencabutan kewarganegaraan, telah mengungkap sebuah kenyataan yang mengkhawatirkan.
Perubahan ini, yang secara khusus menargetkan warga dengan latar belakang migrasi dan kaum Muslim, mencerminkan sebuah kemunduran berbahaya dalam konsep fundamental kesetaraan dalam hak-hak kewarganegaraan di dunia Barat.
Menurut laporan Pars Today, berdasarkan kajian bersama Reprieve dan Runnymede Trust, sekitar 9 juta warga Inggris karena memiliki atau berpotensi memiliki kewarganegaraan negara lain, berada dalam ancaman pencabutan kewarganegaraan. Angka ini bukan sekadar statistik, melainkan cerminan dari sebuah “kesenjangan kewarganegaraan” yang mendalam dan struktural.
Logika di balik mekanisme ini menciptakan sebuah sistem dua lapis: bagi sebagian orang, kewarganegaraan adalah hak yang permanen; sementara bagi sebagian lainnya—khususnya mereka yang memiliki “potensi kewarganegaraan” lain—kewarganegaraan dapat berubah menjadi hak istimewa yang bisa dicabut kembali.
Kerentanan ini tidak tersebar secara merata dan justru lebih banyak menargetkan kelompok minoritas ras dan agama, khususnya Muslim.
Hal inilah yang oleh Sayeeda Warsi, anggota Majelis Tinggi Inggris, disebut sebagai “normalisasi Islamofobia” dan penguatan rasa menjadi “warga kelas dua.”
Peningkatan signifikan penggunaan instrumen pencabutan kewarganegaraan sejak tahun 2010 (lebih dari 1.080 kasus) menunjukkan bahwa mekanisme ini telah bergeser dari pinggiran menjadi bagian utama dalam kebijakan imigrasi dan keamanan Inggris.
Tren ini terjadi dalam konteks yang lebih luas dari meningkatnya Islamofobia dan xenofobia di Eropa. Bersamaan dengan itu, upaya 27 negara Eropa termasuk Inggris untuk melemahkan Konvensi Hak Asasi Manusia Eropa demi mempermudah deportasi migran, menandakan adanya perubahan arah yang mengkhawatirkan; sebuah kondisi di mana “hak asasi manusia” dikorbankan demi “keamanan ekstrem” dan “politisasi isu migrasi.”
Pada akhirnya harus dikatakan bahwa ancaman pencabutan kewarganegaraan bagi jutaan orang bukan sekadar masalah hukum, melainkan sebuah krisis identitas dan sosial. Proses ini merusak kepercayaan kelompok minoritas terhadap kontrak sosial dan menantang prinsip fundamental kesetaraan warga negara di hadapan hukum. Langkah menuju “dua lapis kewarganegaraan” tidak hanya melemahkan kohesi internal masyarakat Barat, tetapi juga menampilkan pola berbahaya di tingkat global untuk menargetkan kelompok minoritas dengan dalih “keamanan nasional.” Laporan ini merupakan sebuah peringatan keras bagi semua pihak yang menganggap Barat sebagai pembela hak asasi manusia dan kewarganegaraan yang setara. (MF)