Klaim Intervensi Rusia dalam Pilpres AS
(last modified Sat, 10 Dec 2016 12:54:58 GMT )
Des 10, 2016 19:54 Asia/Jakarta
  • Klaim Intervensi Rusia dalam Pilpres AS

Presiden petahana AS, Barack Obama mengeluarkan instruksi kepada dinas intelejen negara ini untuk memberikan laporan mengenai serangan siber, dan kemungkinan intervensi asing dalam pemilu presiden November 2016 lalu, terutama masalah serangan hacker terhadap email yang berpengaruh signifikan dalam kampanye pilpres.

Lisa Monaco, penasehat presiden AS urusan keamanan dalam negeri hari Jumat (9/12) menyatakan, dinas intelejen AS harus memberikan laporannya sebelum masa jabatan Obama berakhir. Meskipun serangan siber bukan masalah baru, tapi kemungkinan memberikan pengaruh dengan cara baru terhadap kompetisi pemilu presiden yang berlangsung tahun ini.

Instruksi Obama tersebut mengemuka di saat Washington berulangkali melemparkan tudingan terhadap Moskow mengenai intervensi Rusia dalam pemilu presiden AS. Masalah tersebut hingga kini masih menjadi polemik di AS. Tudingan terhadap Rusia dilancarkan berkaitan dengan fase sebelum dan sesudah pemilu presiden. Tujuan investigasi ini bukan untuk mempertanyakan hasil pilpres Novermber lalu. Sebab, Gedung Putih secara resmi telah mengumumkan bahwa Donald Trump menjadi pemenang pemilu presiden.

Pada Oktober 2016, AS menuding Rusia menyiapkan sebuah serangan siber terhadap institusi partai Demokrat demi mempengaruhi opini publik AS. Tujuannya untuk mendukung kemenangan Donald Trump dalam pemilu presiden yang digelar November 2016.

Menyikapi tudingan AS tersebut, pejabat tinggi Rusia, terutama presiden Vladimir Putin menyampaikan bantahan keras. Moskow balik menuding pejabat AS melemparkan tudingan terhadap Rusia untuk menutupi kelemahannya dalam menganalisis secara realistis masalah pemilu dalam negerinya sendiri. Hillary Clinton, capres yang kalah dalam pilpres AS November lalu secara terbuka melemparkan tudingan terhadap peran Moskow dalam pemilu presiden demi memuluskan kemenangan Donald Trump.

Hillary Clinton dalam debat ketiga dengan Trump mengklaim Rusia melakukan aksi spionase terhadap AS, dan mempengaruhi pemilu presiden negara ini, dan Trump adalah bonekanya. Sebaliknya, Donald Trump memiliki pandangan positif terhadap Rusia, dan presidennya, Vladimir Putin. Bahkan, presiden terpilih AS ini menyuarakan pemulihan hubungan antara AS dan Rusia, serta kerja sama kedua negara, terutama dalam penanganan terorisme.

Sementara itu, CIA dalam laporannya mengakui adanya intervensi Rusia dalam pemilu presiden AS. Dalam laporan tersebut secara terbuka disebutkan bahwa Rusia membantu kemenangan Donald Trump dalam pemilu presiden dengan melemparkan propaganda pelemahan pemilu presiden AS. CIA mengidentifikasi orang-orang di AS yang menjalin hubungan dengan pemerintah Rusia, dan ribuan email yang dihack, termasuk komite nasional partai Demokrat dan lainnya, dan tim sukses pemilu Hillary Clinton yang dibocorkan oleh situs Wikileks.

Washington mengklaim orang-orang ini menjalankan instruksi Rusia untuk mendukung pemenangan Trump dalam pemilu presiden, dan sebaliknya untuk melemahkan Hillary Clinton. Masyarakat informasi AS menilai tujuan Rusia adalah mendukung kemenangan Trump dalam pemilu presiden. Pada saat yang sama sikap para pejabat tinggi Rusia mengenai Trump cenderung positif, dan menilai naiknya Trump akan mendorong pemulihan hubungan Washington dan Moskow.

Meski demikian, bola salju intervensi asing dalam pilpres AS menjadi bumerang bagi negara ini dengan munculnya gelombang protes atas kemenangan Trump pasca pengumuman hasil pilpres November lalu. Bahkan mengemuka prakarsa penghitungan ulang surat suara sebagaimana dilemparkan oleh Jill Stein dari partai Hijau.(PH)