Kontradiksi Trump di Timur Tengah
Salah satu karakteristik Presiden AS, Donald Trump adalah kontradiksi yang muncul melalui kata-kata maupun perbuatannya. Dalam statemen terbarunya tentang Asia Barat, Trump kembali melontarkan kontradiksi.
Presiden AS dalam pidato hari Sabtu (12/10) mengklaim bahwa kesalahan terbesar AS adalah memasuki Asia Barat. Donald Trump mengatakan, "Kita menghabiskan 4 triliun dolar untuk membiayai perang di Irak. Menurut saya, kesalahan terbesar Amerika adalah berperang di Asia Barat. Kita menghabiskan 8 triliun dolar di kawasan itu dan kehilangan ribuan pasukan,".
Tampaknya, Trump lupa bahwa mantan Presiden AS George W. Bush yang meluncurkan perang di Afghanistan dan Irak dengan dalih memerangi terorisme telah mengakibatkan terjadinya pembunuhan ratusan ribu orang dan kehancuran besar-besaran di dua negara tersebut.
Selain itu, agresi militer AS menjadi faktor penting dalam pembentukan kelompok-kelompok teroris Takfiri seperti Daesh di Asia Barat, yang melakukan banyak kejahatan di Irak, Suriah dan lainnya. Kemudian, selama pemerintahan Obama pada 2014, Amerika Serikat meluncurkan koalisi yang dikenal sebagai koalisi internasional Anti-Daesh, di mana Kurdi Suriah memainkan peran penting dalam melawan Daesh. Kerja sama dan dukungan Washington terhadap Kurdi meningkat selama pemerintahan Trump, dan menempatkan Kurdi Suriah memainkan peran penting dalam mengalahkan kelompok teroris Daesh, termasuk di Raqqa.
Tapi kini, meskipun Kurdi berharap dukungan AS terhadap mereka berlanjut, Trump justru menikam mereka dari belakang dengan membiarkannya diserang pasukan Turki. Trump telah membenarkan klaim bahwa AS telah berperang di Suriah selama 10 tahun, dan sekarang harus menarik pasukannya keluar dari siklus perang tanpa akhir itu. Pada saat yang sama, Trump meyakini tindakan apa pun harus menguntungkan, terutama keuntungan finansial bagi Amerika Serikat. Oleh karena itu, alasan Trump tidak mendukung Kurdi Suriah melawan invasi Turki bisa dilihat dari perspektif ini.
"Kami diminta untuk berperang mendukung Kurdi di Suriah. Tapi saya katakan, kami tidak mendukung satu pihak yang berperang dengan lainnya," papar Trump. Langkah Trump ini telah menyulut banyak penentangan, terutama dari Kongres AS. Senator AS Bernie Sanders mengatakan keputusan Trump menarik pasukan AS dari Suriah adalah tindakan "memalukan" di saat Turki melancarkan invasi militer. Sanders menegaskan, "Kita tidak bisa membiarkan sekutu kita yang berperang bersama pasukan AS dibiarkan mati begitu saja".
Sikap kontradiktif Trump semakin jelas dalam sepak terjang AS terhadap sekutunya di Teluk Persia, terutama Arab Saudi. Arab Saudi adalah mitra strategis dan ekonomis bagi Washington di kawasan, sekaligus pembeli senjata terbesar Amerika Serikat.
Trump memiliki pandangan instrumental di negara itu dan berulangkali mempermalukan rezim Al Saudi dengan menyebutnya sebagai sapi perahan. Presiden AS meminta lebih banyak uang dari Saudi setelah terjadi serangan baru-baru ini terhadap fasilitas minyak Saudi, Aramco yang dilakukan gerakan perlawanan Yaman. Pada saat yang sama, Amerika Serikat juga meningkatkan penempatan alutsistanya di Arab Saudi dan mengerahkan sekitar 3.000 tentara.
Trump mengatakan para pejabat Saudi harus membayar bantuan Washington terhadap Riyadh. Tentu saja, tindakan-tindakan ini tidak dilakukan tanpa pembayaran finansial dari Saudi. Jadi, Trump berulangkali berbicara tentang perlunya AS keluar dari Asia Barat karena merasa rugi triliunan dolar, tapi pada saat yang sama mengerahkan peralatan militer dan pasukan baru ke kawasan tersebut. Tampaknya, bagi Trump, ini hanya masalah keuntungan besar yang bisa diraih dengan mengorbankan apapun, termasuk nyawa manusia.(PH)