Ketika Trump Dukung Permintaan Teroris Hentikan Pembebasan Idlib
(last modified Sat, 28 Dec 2019 05:18:54 GMT )
Des 28, 2019 12:18 Asia/Jakarta
  • Pasukan Suriah
    Pasukan Suriah

Kemenangan beruntun militer Suriah dan sekutunya memaksa teroris mundur ke pangkalan terakhir mereka, yakni Provinsi Idlib.

Mengingat pelanggaran gencatan senjata oleh teroris, militer Suriah dan sekutunya mulai melancarkan operasi pembebasan Idlib sejak beberapa waktu lalu, namun Barat khususnya Amerika Serikat dengan dalih Hak Asasi Manusia (HAM) menuntut dihentikannya operasi ini.

Sekaitan dengan ini, Presiden AS Donald Trump Kamis (26/12) di akun twitternya dalam sebuah klaim palsu meminta Rusia, Iran dan Turki, negara yang berusaha mengakhiri perang di Suriah dalam koridor Dialog Astana dan Sochi, untuk menghentikan pembunuhan warga sipil di Idlib.

Trump menulis, "Saya meminta Tehran, Moskow dan Damaskus untuk mengakhiri pembantaian warga sipil di Idlib." Ia mengklaim bahwa Rusia, Iran dan Suriah melanjutkan pembunuhan di Idlib, tapi Turki berusaha keras menghentikannya.

Meski klaim Trump ini direspon luas oleh media, namun ini tidak dapat menutupi raalita sikap dan langkah destruksif Amerika di Suriah. Amerika bersama sekutu Barat dan Arabnya sejak tahun 2011 melancarkan upaya besar-besaran untuk menumbangkan pemerintah legal Suriah dan merusak poros muqawama dengan mendukung penuh kelompok teroris di Damaskus. Namun upaya ini dan langkah sadis kelompok teroris tidak berhasil dan sejak pembebasan Aleppo perimbangan kekuatan sepenuhnya menguntungkan pemerintah Suriah dan sekutunya.

Kini militer Suriah bersama sekutunya berencana membebaskan secara penuh benteng terakhir teroris, yakni Provinsi Idlib dan hal ini membuat AS dan sekutunya ketakutan. Oleh karena itu, Trump melalui penyebaran agitasi, propaganda dan represi politik, berusaha menghentikan operasi pembebasan berbagai wilayah Idlib. Damaskus senantiasa menekankan bahwa operasi militer di Idlib dimaksudkan untuk melawan teroris yang bercokol di provinsi ini.

Provinsi Idlib merupakan wilayah terakhis di negara yang masih dikuasai oleh kelompok teroris dan kelompok ini mendapat dukungan dari berbagai negara sekutu Barat di kawasan khususnya Arab Saudi, Turki dan juga Barat sendiri. Meski demikian pemerintah Suriah dan Rusia sebagai sekutu Damaskus menekankan bahwa setiap gencatan senjata di wilayah yang dikuasai teroris tidak bisa mencakup perlawanan terhadap fenomena buruk ini.

Selama perang internal Suriah, poros Barat-Arab senantiasa berusaha menghentikan perlawanan terhadap teroris dengan alasan HAM ketika kelompok dukungan mereka ini dalam kesulitan atau terjepit. Dengan berkurangnya tekanan, poros ini berharap kelompok teroris memiliki waktu untuk merekonstruksi diri dan memulihkan kekuatannya.

Menurut Akil Mahfoud, pengamat politik, militer Suriah melalui koordinasi penuh dengan Rusia tengah berusaha membebaskan secara penuh wilayah yang dikuasai teroris di Idlib. Sementara Turki dan Amerika melalui sabotasenya mencegah kemajuan pasukan pemerintah Suriah di Idlib, mengejar kepentingan mereka sendiri.

Pemerintah Suriah dan petinggi negara ini berulang kali memprotes peran negatif Barat di Suriah khususnya kebijakan Washington melanjutkan tensi dan konfrontasi di negara ini. Sejatinya Amerika sebagai pemimpin Barat bersama Arab Saudi, merupakan sponsor utama kelompok teroris di Suriah.

Barat dalam koridor kebijakan gandanya melalui perang syaraf dan propaganda membesar-besarkan dampak operasi militer Suriah dan sekutunya terhadap teroris dengan menebar klaim korban besar di pihak sipil. Padahal mereka bungkam atas serangan teroris dan pembantaian warga sipil oleh mereka sendiri di Suriah.

Rusia sebagai sekutu pemerintah Suriah di perang melawan kelompok teroris berulang kali menekankan bahwa Amerika penghalang utama untuk mengakhiri krisis Suriah. Selain itu, Amerika dengan melanjutkan kehadiran pasukannya di Suriah, secara praktis selain melanggar kedaulatan pemerintah sah Damaskus, juga mencegah diakhirinya bentrokan di negara yang dilanda perang ini. (MF)