Pujian Presiden AS kepada PM India Soal Kebebasan Beragama
(last modified Sun, 15 Mar 2020 13:11:44 GMT )
Mar 15, 2020 20:11 Asia/Jakarta

Pada hari pertama kunjungan Presiden Amerika Serikat ke India pada 23 Februari 2020, bentrokan pecah di New Delhi setelah Kapil Mishra, seorang pemimpin dari Partai Bharatiya Janata (BJP) (partai berkuasa) memberikan ultimatum kepada aparat keamanan untuk menumpas demonstran anti-CAA (Citizenship Amendment Act) dari wilayah Jaffrabad di ibukota tersebut dalam waktu tiga hari.

CAA adalah langkah kontroversial yang baru-baru ini disahkan oleh pemerintah Perdana Menteri Narendra Modi yang menghubungkan kewarganegaraan dengan agama di India dan secara aktif mendiskriminasi umat Islam.

Jika dikombinasikan dengan usulan Daftar Warga Nasional (NRC) yang diusulkan dan Daftar Populasi Nasional (NPR) yang diperbarui,  maka kemungkinan akan berdampak buruk pada banyak warga India, terutama penduduk Muslim, yang merupakan minoritas terbesar di negara itu. Banyak yang akan kehilangan kewarganegaraan. Para aktivis sosial dan pakar telah meminta pemerintah untuk menarik undang-undang tersebut.

Protes ratusan pengunjuk rasa, bahkan hingga ratusan ribu demonstran terhadap undang-undang tersebut telah meletus di seluruh negeri. Wilayah Shaheen Bagh di New Delhi adalah episentrum simbolis dari protes itu, di mana sebagian besar wanita Muslim telah memimpin demonstrasi selama tiga bulan. Jaffrabad, tempat Mishra memberikan ultimatum kepada polisi New Delhi, juga merupakan lokasi protes.

Segera setelah ultimatum itu, bentrokan pecah di Jaffrabad dan menyebar ke wilayah lain di timur laut New Delhi. Pada hari berikutnya, situasi telah berubah dari bentrokan menjadi kekerasan anti-Muslim skala penuh yang sejauh ini telah merenggut 38 nyawa, terutama Muslim. Ini juga mengakibatkan banyak kerusakan properti, baik publik maupun swasta, dan menjadikan kekerasan terburuk terhadap sebuah komunitas di New Delhi sejak 1984 ketika penganut Sikh menjadi sasaran.

Pada hari kedua kunjungan Trump, ketika dia tiba di New Delhi, lebih dari 13 orang telah kehilangan nyawa dalam kekerasan itu. Namun, ketika presiden Amerika itu memberi pengarahan kepada media tentang kunjungannya dan ditanya tentang kekerasan sektarian di New Delhi dan kebebasan beragama secara umum, dia secara mengejutkan justru memuji Modi.

Trump mengatakan bahwa perdana menteri India "luar biasa" dalam kebebasan beragama dan bahwa Modi menginginkan "rakyat memiliki kebebasan beragama dan sangat kuat." Trump tidak mengomentari bentrokan di New Delhi. Menurutnya, dia telah mendengar tentang itu, tetapi belum membicarakannya dengan Modi, dan mengatakan bahwa itu "terserah India".

Ucapan dan pujian Trump kepada Modi itu dianggap aneh dan menggelikan oleh banyak kalangan. Pasalnya, pemerintahan Modi telah melakukan kekerasan terhadap minoritas agama di India, bahkan AS pernah menolak kunjungan Modi, yang saat itu menjabat menteri utama Gujarat. AS juga mencabut visa B-1/B-2 Modi dengan alasan pelanggaran berat kebebasan beragama. Modi adalah satu-satunya orang yang pernah dilarang melakukan perjalanan ke AS di bawah Undang-Undang Kebebasan Beragama Internasional (IRFA). (RA)