Nov 15, 2020 15:44 Asia/Jakarta
  • Quo Vadis Kebebasan Berekspresi di Perancis

Tren anti-Islam dan penghinaan terhadap keyakinan Muslim di Perancis telah meningkat dalam beberapa tahun terakhir. Salah satu indikasinya mengenai publikasi berulangkali kartun yang menghina Nabi Muhammad Saw oleh Charlie Hebdo.

Amnesti International dalam sebuah pernyataan mengkritik kondisi kebebasan berekspresi di Prancis, dan menilai pemerintah Prancis tidak bisa mengklaim sebagai negara pengusung kebebasan berekspresi. Dalam pernyataannya, organisasi hak asasi manusia internasional ini menyebutkan beberapa kasus standar ganda oleh pemerintah Prancis mengenai masalah penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw.

Setelah terjadi kasus pembunuhan seorang guru Perancis oleh seorang imigran Muslim Chechnya karena memperlihatkan karikatur yang menghina Nabi Muhammad Saw, Macron mengambil sikap keras kepala dengan tidak berupaya memadamkan api hasutan. Ia secara terbuka tidak menghentikan penerbitan kartun-kartun provokatif ini dengan dalih membela hak kebebasan berekspresi.

Macron mengklaim, "Saya berdiri di sini untuk membela kebebasan." Tidak jelas apa yang dia maksud dengan kebebasan. Apakah menghina dan mengejek keyakinan sekitar satu setengah miliar Muslim merupakan tanda kebebasan di Prancis? Menurut Seyed Hadi Borhani, pakar Asia Barat, "Prancis adalah salah satu negara paling bebas dalam menghina nilai-nilai Islam,".

 

Emamnuel Macron

 

Pada saat yang sama, pemerintah Prancis meningkatkan tindakan ketat terhadap Muslim di negaranya dengan menutup beberapa masjid dan pusat Islam di negaranya serta melakukan tindakan tidak manusiawi terhadap Muslim. Misalnya, polisi Perancis baru-baru ini menginterogasi empat anak berusia 10 tahun selama beberapa jam karena mereka menyebut guru di kelas yang menunjukkan kartun yang menyinggung sebagai kesalahan.

Dari sudut pandang Macron, penghinaan berulangkali terhadap Nabi dari agama surgawi yang agung bukanlah tindakan yang salah dan tidak bertanggung jawab, tetapi di Prancis, menghina pejabat negara dianggap sebagai kejahatan yang akan diseret ke ranah hukum.

Pada 2019, pengadilan Prancis menghukum dua pria karena dianggap menghina pejabat tinggi negara ini setelah mereka membakar boneka Emmanuel Macron. 

Selain itu, setiap komentar atau tindakan yang terkait dengan Holocaust atau Israel di Prancis dianggap sebagai kejahatan dan pelakunya akan diseret ke pengadilan. Pada Juni 2020, Pengadilan Hak Asasi Manusia Eropa mengumumkan hukuman kepada 11 orang di Perancis karena menjatuhkan sanksi terhadap barang-barang Israel, yang melanggar hak mereka atas kebebasan berekspresi. Selain itu, dengan dalih sekularisme, Muslim Prancis tidak dapat mengenakan pakaian keagamaannya, termasuk jilbab untuk wanita di sekolah atau di tempat kerja di sektor publik.

Berbagai contoh kecil ini menunjukkan perilaku penguasa Perancis dalam masalah Islam sebagai standar ganda. Itulah mengapa Amnesti International dalam sebuah pernyataan mengatakan, "Pernyataan pemerintah Prancis tentang kebebasan berekspresi tidak dapat menyembunyikan standar ganda yang memalukan. Kebebasan harus diterapkan untuk semua."

Sikap bias Macron terhadap Islam dan pembelaannya terhadap pelaku penghinaan terhadap Nabi Muhammad Saw serta upayanya untuk menyamakan Islam dengan terorisme demi menampilkan citra palsu dari agama ilahi ini menemukan alasan baru untuk meningkatkan tekanan terhadap Muslim yang tinggal di Prancis, dan tindakan anti-Islam yang terus berlanjut hingga kini.(PH)

Tags