Semakin Parah, Ketegangan Diplomatik dalam Hubungan Rusia-Eropa
Hubungan antara Rusia dan Uni Eropa telah tegang sejak krisis Ukraina pada tahun 2014. Ketegangan diplomatik baru-baru ini antara Moskow dan Brussel juga memperburuk hubungan Rusia-Eropa.
Kementerian Luar Negeri Rusia dalam sebuah pernyataan pada hari Jumat (05/02/2021) mengatakan bahwa duta besar Swedia, kuasa usaha Polandia dan sekretaris politik kedutaan Jerman telah mengambil bagian dalam protes ilegal di Moskow pada 23 Januari untuk mendukung Alexei Navalny.
Pernyataan tersebut menyatakan bahwa tindakan yang mereka lakukan tidak dapat diterima dan tidak sesuai dengan posisi diplomatik mereka, sehingga berdasarkan Konvensi Wina 1961 tentang Hubungan Diplomatik, para diplomat tersebut dianggap sebagai elemen yang tidak diinginkan dan diberi tahu harus meninggalkan Rusia dalam waktu dekat.
Tindakan tegas Moskow ini mendapat reaksi keras dari negara-negara Eropa. Dalam hal ini, presiden Prancis dan Jerman telah mengambil sikap terkait masalah tersebut. Di sisi lain, Polandia mengatakan bahwa masalah ini akan memperdalam krisis dalam hubungan bilateral. Sementara itu, topik utama kunjungan kepala kebijakan luar negeri Uni Eropa Joseph Borrell ke Moskow dan pertemuannya dengan Menteri Luar Negeri Rusia Sergei Lavrov adalah hukuman terhadap Alexei Navalny dan tuntutan pembebasannya, yang tentu saja ditentang oleh Moskow.
Navalny ditahan di bandara Moskow setelah kembali dari Jerman dan dijatuhi hukuman tiga setengah tahun penjara. Tentu saja, partisipasi diplomat asing dalam demonstrasi yang mendukung Navalny bertentangan dengan ketentuan Konvensi Hukum Diplomasi 1961, yang melarang diplomat mengambil tindakan yang bertentangan dengan etika diplomatik, termasuk mencampuri urusan dalam negeri negara asal.
Sikap dan tindakan Eropa, yang sejalan dengan sikap dan tindakan pemerintahan baru AS terhadap Rusia, merupakan tanda koordinasi penuh antara kedua sisi Atlantik untuk campur tangan secara terbuka terkait urusan dalam negeri Rusia dan untuk memberikan tekanan habis-habisan agar Moskow menerima tuntutan berlebihan dan intervensi Barat.
Sejatinya, isu Alexei Navalny kini menjadi fokus ketegangan hubungan Rusia-Barat, terutama dengan Uni Eropa. Dalam kasus kontroversial yang mendapat banyak perhatian dari Barat, Eropa mengklaim bahwa Navalny diracuni pada Agustus 2020 oleh agen Rusia menggunakan sejenis gas saraf yang disebut "Novichok", sebuah tuduhan yang dengan keras dibantah Moskow.
Alexei Navalny, seorang kritikus pemerintah Rusia dan menjadi pemimpin oposisi, selalu mendapat dukungan luas dari Uni Eropa dan Amerika Serikat dan telah berperan dalam protes anti-pemerintah di Rusia dalam beberapa tahun terakhir. Oleh karena itu, Barat telah membuka perhatian khusus baginya untuk mendorong dan menciptakan keresahan politik di Rusia, dan ini adalah akar dari tuntutan yang berulang dari Brussels dan Washington untuk pembebasannya.
Menurut Vladimir Zakharov, kepala Institut Rusia untuk Penelitian Politik dan Sosial, Navalny berharga bagi Barat hanya karena dapat digunakan sebagai alat yang efektif untuk melawan pemerintah Rusia.
Pemerintah Rusia telah berulang kali memperingatkan konsekuensi campur tangan Barat dalam urusan dalam negeri negara itu. Namun, dengan adanya pemerintah baru AS dan sikap bermusuhan serta peringatan Presiden Joe Biden terhadap Rusia, Eropa tampaknya mengambil sikap hati-hati dalam hubungan mereka dengan Rusia dan mengambil posisi yang lebih eksplisit dan mengancam.