Nasionalisasi Minyak Iran dan Independensi Nasional
Setiap tanggal 29 Esfand, yang bertepatan tahun ini dengan 20 Maret diperingati sebagai "Hari Nasionalisasi Industri Minyak" Iran. Di hari itu, sejarah politik dan ekonomi Iran memasuki lembaran baru yang dimulai dengan perjuangan besar yang menjadi landasan pemikiran ekonomi "tanpa minyak."
Tampaknya, untuk memahami urgensi hari bersejarah ini, kita harus membuka sejarah masa lalu dan kembali ke hari-hari ketika minyak yang merupakan kekayaan besar bangsa Iran berada dalam cengkeraman imperialis. Para penjarah minyak tahu bahwa emas hitam ini merupakan material penting selama berabad-abad yang dimanfaatkan untuk mengamankan dominasi ekonomi dan industri mereka terhadap dunia.
Negara-negara industri global tahu benar posisi penting minyak yang sangat dibutuhkan untuk kemajuannya. Oleh karena itu mereka senantiasa berusaha untuk mengamankan pasokan minyaknya dengan menguasai sumber-sumber minyak di dunia, termasuk di Iran, dengan berbagai cara termasuk melakukan kolonialisme.
Jejak kolonialisme tersimpan di museum sejarah minyak negara-negara penghasil minyak, termasuk Iran. Dokumen-dokumen tersebut mencakup semua jenis kontrak, dari eksplorasi hingga produksi dan penjualan minyak mentah.
Pada tahun 1870, pemerintah Iran menandatangani kontrak dengan pebisnis Inggris, Baron Julius Reuter, mengenai eksplorasi minyak di Iran dengan masa kontrak selama 70 tahun.
Pada pasal sebelas kontrak tersebut, petrol atau atau minyak didefinisikan sebagai unsur penting yang setara dengan jenis tambang lain seperti batubara, besi, tembaga dan timah. Pada 32 tahun kemudian, tepatnya tahun 1902, pemerintah Iran menandatangani kontrak yang memberikan hak eksplorasi, eksploitasi, dan penjualan minyak di seluruh Iran, kecuali untuk lima bagian utara Iran, kepada orang Inggris lainnya, William Knox Darcy, dengan masa waktu selama 60 tahun.
Dominasi dan penjarahan sumber daya minyak Iran tersebut menyulut peningkatan suhu politik dan sosial dengan terjadinya berbagai peristiwa politik Iran setelah Shahrivar 1320 Hs. Kondisi internasional pada periode ini menunjukkan sejumlah negara terutama Rusia, Inggris dan Amerika Serikat menyampaikan proposal kepada pemerintah Iran supaya diizinkan untuk mengekplorasi minyak.
Inggris diberi hak istimewa untuk mengeksploitasi sumber daya minyak wilayah selatan Iran, sedangkan Rusia berusaha untuk mengeksplorasi sumber daya minyak di wilayah utara Iran, dan Amerika juga tidak mau ketinggalan untuk meraih keuntungan dari penjualan minyak Iran tersebut.
Selama periode ini, muncul gerakan perlawanan dari para tokoh politik dan agama Iran seperti Ayatullah Kashani dan Dr. Mohammad Mossadegh terhadap penjarahan minyak yang terus berlanjut.
Fatemeh Amini, seorang pakar sejarah Revolusi Islam, mengatakan, "Dokumen sejarah menunjukkan bahwa Ayatullah Kashani memainkan peran penting dan tak tergantikan dalam nasionalisasi industri minyak. Beliau memiliki jasa yang besar bagi rakyat Iran, karena menyediakan sarana bagi pembebasan sumber energi anugerah Tuhan di Iran ini, ".
Ayatullah Kashani dalam kondisi sensitif tersebut melanjutkan perjuangannya melawan pemerintah yang memberikan hak istimewa kepada konsorsium minyak Inggris, dan menulis surat kepada PBB untuk memprotes masalah tersebut.
Ayatullah Kashani memprotes tindakan perusahaan minyak Inggris di negaranya, dan bersama sejumlah anggota parlemen Iran lainnya berupaya untuk membatalkan kontrak dengan konsorsium minyak Inggris. Namun atas rekomendasi pemerintah Inggris untuk rezimh Shah, Ayatullah Kashani ditangkap dan kemudian diasingkan.
Tokoh Iran lainnya yang sangat vokal menentang masalah penguasaan minyak Iran adalah Mohammad Mossadegh yang saat itu menjabat sebagai perdana menteri Iran. Beliau berulangkali menekankan upayanya untuk melakukan menasionalisasi industri minyak, sehingga rakyat Iran bisa mengekplorasi dan mengelola dan mengeksploitasi sumber minyaknya sendiri. Pada akhirnya, undang-undang nasionalisasi industri minyak Iran disahkan pada tanggal 20 Maret 1951.
Namun setelah Perdana Menteri Iran Mohammad Mossadegh menjalankan undang-undang nasionalisasi industri minyak pada bulan April 1951 terjadi gejolak di dalam negeri. Salah satunya adalah boikot minyak Iran pada paruh pertama 1330 HS dengan tujuan membahayakan stabilitas politik dan ekonomi negara ini.
Efek destruktif terbesar terjadi kudeta yang dirancang Amerika dan Inggris pada Agustus 1953 terhadap perdana menteri Mohammad Mossadegh. Pasca kudeta tersbeut, kehadiran perusahaan minyak internasional termasuk British Petroleum Company, Shell Petroleum Inc., Golf Oil Corporation, Mobile Oil Corp, Océal-en-Fila dan Tzaco Steel Standards, secara leluasa masuk ke Iran dan membentuk konsorsium baru.
Dengan diluncurkannya Konsorsium Minyak Iran, meskipun undang-undang nasionalisasi minyak diterapkan, tapi dalam praktiknya, pemerintah Iran dan Perusahaan Minyak Nasional Iran memiliki kekuasaan yang sangat terbatas. Anggota konsorsium memutuskan jumlah produksi minyak dan harga minyak, tanpa campur tangan perusahaan Iran yang merupakan penentu utama pendapatan negara.
Nasib minyak Iran setelah nasionalisasi tidak jauh berbeda dengan sebelumnya hingga kemenangan Revolusi Islam yang berhasil memangkas tangan penjarah sumber daya minyak negara ini.
Ketergantungan terhadap minyak, baik di tahun-tahun sebelumnya hingga kini dijadikan sebagai instrumen tekanan terhadap Iran. Oleh karena itu, Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran menegaskan urgensi mengurangan ketergantungan terhadap industri minyak sebagai instrumen penting ekonomi resistif. Rahbar mengungkapkan, "... Ketergantungan ini, warisan seratus tahun silam,".
Hasil studi ekonomi di negara-negara yang memiliki minyak atau sumber daya sejenisnya menunjukkan efek destruktif dari penyalahgunaan sumber pendapatan tersebut. Penelitian terhadap 113 negara yang dilakukan antara tahun 1971 hingga 1997, serta buku Terry Lynn Karl berjudul "The Paradox of Plenty: Oil Booms and Petro-States" yang terbit tahun 1997, menggambarkan krisis politik, sosial, dan ekonomi negara-negara kaya minyak.
Studi-studi ini menunjukkan bahwa kenaikan harga minyak di negara dengan ekonomi berbasis minyak menunjukkan terjadinya kenaikan impor dan menekan produksi dalam negeri, yang mengerek kenaikan harga barang-barang non-impor seperti tanah dan rumah, dan menunda implementasi reformasi pajak, menghilangkan insentif untuk menarik partisipasi masyarakat di sektor riil, dan menyebabkan ketergantungan perekonomian negara terhadap minyak dalam jangka panjang.
Persoalan tersebut hanya sebagian dari kenyataan yang dilihat dari wajah Iran di masa lalu yang tergantung terhadap pendapatan minyak. Itulah sebabnya Republik Islam Iran bertekad untuk menjauh dari era ini, dan mengubah minyak menjadi pendukung ekonomi resistif di negara ini yang diolah bukan sebagai bahan mentah, tapi menjadi produk olahan yang bernilai ekonomi tinggi.(PH)