Mengenang Serangan Rudal AS ke Pesawat Sipil Iran
Rapor Amerika Serikat dipenuhi dengan kejahatan terhadap kemanusiaan. Watak jahat dan arogan telah menyatu dengan kepribadian para pejabat pemerintah AS.
Selama 40 tahun sejak kemenangan Revolusi Islam, AS berulang kali melakukan kejahatan terhadap rakyat Iran. Salah satu dokumen kejahatan itu adalah serangan rudal terhadap pesawat penumpang sipil Iran.
Kapal perang AS, USS Vincennes pada 3 Juli 1988 menembak jatuh pesawat sipil Iran di atas perairan Teluk Persia. Penerbangan 655 (IR 655) merupakan sebuah penerbangan terjadwal oleh Iran Air dari Tehran menuju Dubai, via Bandar Abbas. Sebanyak 290 penumpang dan awak kabin gugur, di mana terdapat 66 anak, 53 wanita, dan 46 warga negara asing.
Warga negara asing dalam tragedi ini berasal dari Uni Emirat Arab, India, Pakistan, Italia, dan Yugoslavia.
Wakil Presiden AS waktu itu, George H. W. Bush menyebut tindakan itu sesuai dengan hukum AS untuk membantu memastikan kelancaran transfer minyak dan menjaga jalur perdagangan maritim.
Serangan rudal AS terhadap pesawat penumpang merupakan pelanggaran hukum udara internasional dan aturan dasar untuk menjamin keselamatan dan keamanan maskapai penerbangan internasional. Namun, pemerintah AS tidak pernah menyampaikan permintaan maaf karena membunuh rakyat Iran dan komandan kapal perang itu, William Rogers justru menerima medali Legion of Merit atas pengabdiannya.
Setelah insiden itu, para pejabat Washington dalam sebuah langkah terkoordinasi berusaha menyesatkan opini publik dan menolak bertanggung jawab atas insiden tersebut. Presiden AS saat itu, Ronald Reagan mengatakan pesawat itu bergerak ke arah USS Vincennes dan untuk itu dipukul dengan rudal demi mempertahankan diri dari potensi serangan.
Jenderal William J. Crow, salah satu kepala staf gabungan AS, menyatakan bahwa USS Vincennes melepaskan tembakan dengan tujuan membela diri.
Pada hari-hari berikutnya, Gedung Putih juga menyusun beberapa skenario untuk membenarkan langkah militer AS menggunakan hak membela diri.
Di antara skenario itu adalah: "Sebuah jet tempur F-14 Tomcat bersembunyi di belakang pesawat penumpang Airbus; pesawat Airbus sedang melakukan misi bunuh diri; operasi ini dilakukan bersamaan dengan operasi kapal cepat Iran dan ini adalah bagian dari operasi yang direncanakan pagi itu."
Klaim ini dipaparkan oleh para komandan militer dan pejabat senior AS untuk menutupi sebuah tindakan, yang jelas-jelas melanggar prinsip hukum internasional. Namun, semua kebohongan ini terbongkar seiring berjalannya waktu.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa pemerintah AS berencana menyalahkan pilot Iran atas penembakan pesawat penumpang sipil itu. Namun, semua argumen yang mereka susun untuk membuat narasi palsu ini secara perlahan terbongkar.
Kepala Staf Gabungan di bawah Presiden Reagan, William Crowe dalam konferensi pers setelah penembakan jatuh penerbangan 655, menyebut tindakan itu sebagai sebuah langkah pertahanan yang tepat.
"Rute penerbangan pesawat Iran langsung menukik ke bawah dan mengarah ke USS Vincennes. Ketika pesawat itu tidak mengindahkan peringatan berulang kami, Vincennes menembaknya untuk melindungi dirinya dari potensi serangan," katanya.
Klaim lain Crowe adalah bahwa Airbus Iran telah keluar dari wilayah udaranya dan karena itu, komandan Angkatan Laut AS William Rodgers keliru mengidentifikasi pesawat itu sebagai jet tempur tempur F-14 Tomcat.
Presiden Reagan mengatakan, "Vincennes telah menembak jatuh pesawat itu 'dalam tindakan defensif yang tepat' dan bahwa pesawat Iran 'langsung menuju ke Vincennes' dan 'gagal mengindahkan peringatan yang berulang-ulang.'"
Padahal, Airbus milik Iran Air itu berada dalam penerbangan terjadwal dan tidak, seperti yang diklaim oleh para pejabat Washington, mengubah arah menuju kapal perang mereka.
Pada hari-hari berikutnya, para pejabat AS atau awak kapal USS Vincennes mengeluarkan komentar dan pernyataan yang seragam terkait insiden penembakan pesawat penumpang Iran.
Namun, Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO) pada Desember 1988 menyatakan bahwa USS Vincennes melepaskan rudal ketika posisinya berada di wilayah Iran dan ini benar-benar melanggar hukum internasional.
Pada 1991, tiga tahun setelah insiden tragis itu, Laksamana Crowe akhirnya mengakui di acara ABC Nightline bahwa kapal perang AS sebenarnya berada di perairan teritorial Iran ketika insiden itu terjadi.
Dokumen terbaru terkait kejahatan itu diterbitkan oleh majalah Amerika, VICE, dengan mengungkapkan bagaimana Inggris membantu AS menutupi tragedi penembakan pesawat penumpang sipil Iran.
Dalam laporan yang disusun oleh Solomon Hughes, majalah VICE menulis, "Presiden Ronald Reagan dan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher, bertukar surat dan meminta agar tanggung jawab insiden tersebut dilimpahkan ke Iran dengan cara apapun. Dalam surat-surat itu, mereka menekankan bahwa pernyataan resmi harus dibuat sedemikian rupa untuk menunjukkan bahwa AS menembak jatuh pesawat itu untuk mempertahankan diri."
Di salah satu suratnya, Reagan menyatakan keprihatinannya atas permintaan Iran kepada PBB untuk mengutuk pembunuhan warga sipil oleh AS. Dia meminta agar insiden itu tidak merusak kepentingan bersama AS dan Inggris di wilayah Teluk Persia dan tidak memengaruhi kehadiran pasukan di kawasan.
Media-media melaporkan bahwa Inggris secara terbuka mendukung klaim AS di mana Iran harus disalahkan atas insiden itu. Reagan mengakui pemerintah Thatcher dengan cepat mendukung klaim AS bahwa mereka telah menembak jatuh pesawat itu untuk membela diri.
Sebelum surat-surat tersebut, Kementerian Luar Negeri Inggris mengirim sebuah telegram rahasia ke Kedutaan AS di London. Pesan rahasia ini meminta AS untuk membangun opini bahwa USS Vincennes meluncurkan rudal setelah diserang oleh Iran dan kapal perang ini telah mengeluarkan peringatan kepada sebuah pesawat diidentifikasi, tetapi tidak memperoleh jawaban dan kemudian meluncurkan rudal untuk membela diri.
Sementara itu, seorang pakar militer Rusia, Yuri Lyamin dalam sebuah wawancara dengan media Sputnik, mengatakan AS sengaja mengambil langkah itu. Mereka ingin menunjukkan kepada Iran bahwa mereka akan menembak jatuh pesawat apapun bahkan sipil, jika mereka menganggapnya sebagai ancaman bagi kapal mereka. Ini adalah elemen lain dari penggunaan taktik kekuatan.
Pada 7 Agustus 1988, George H. W. Bush mengatakan "Saya tidak akan pernah meminta maaf atas nama Amerika Serikat, saya tidak peduli apa faktanya, saya bukan tipe orang yang meminta maaf atas nama Amerika."
Hari ini watak Amerika belum berubah dan Amerika era Trump masih mempertahankan kebijakan anti-kemanusiaan, yang menjadi kebanggaan para pemimpin negara itu. AS akan mencari pembenaran apapun untuk menggunakan kekuatan dan mengejar ambisinya. (RM)