Iran, 40 Tahun Pasca Revolusi Islam (13)
(last modified Wed, 03 Oct 2018 06:41:57 GMT )
Okt 03, 2018 13:41 Asia/Jakarta
  • Sanksi AS diberlakukan sejak 1 Mei 1980, yang menjadi sanksi resmi pertama pemerintah AS terhadap Iran.
    Sanksi AS diberlakukan sejak 1 Mei 1980, yang menjadi sanksi resmi pertama pemerintah AS terhadap Iran.

Selama 40 tahun usia Republik Islam, Amerika Serikat selalu berusaha menciptakan berbagai rintangan bagi kemajuan Iran dalam berbagai cara. Dalam proses ini, "embargo telah menjadi salah satu alat politik permusuhan AS terhadap Iran. Sanksi zalim AS diberlakukan sejak tanggal 1 Mei 1980, yang menjadi sanksi resmi pertama pemerintah AS terhadap Iran.

Sanksi tersebut merupakan awal dari kisah fluktuaktif soal sanksi AS terhadap Iran. Ketika terjadi pemboman di Beirut pada 1984, Amerika Serikat memberi langsung menuding dan tanpa memberikan bukti, Amerika Serikat menggunakan alasan tersebut untuk menjatuhkan sanksi terhadap negara-negara pendukung terorisme. Ketika itu, nama Iran dimasukkan ke dalam negara-negara pendukung terorisme ini memberikan alasan lain untuk memperpanjang daftar sanksi Iran. Pada saat itu, nama Iran ditambahkan ke daftar negara yang sponsor terorisme.

Beberapa tahun kemudian, ruang lingkup sanksi masuk ke sektor investasi dan bisnis. Pada tanggal 30 April 1995, Presiden Bill Clinton mengumumkan bahwa ia akan menerapkan larangan komprehensif pada perdagangan luar negeri dan investasi di Iran. Undang-Undang Sanksi Iran-Libya tahun 1996 merupakan kebijakan konfrontatif lain yang melarang investasi perusahaan non-AS di sektor energi Iran.

Pada tahun 2001, langkah-langkah ini menjadi lebih kompleks dan muncul dua isu baru dalam skenario sanksi anti-Iran: pertama, pengumuman dan penjatuhan sanksi ekonomi terhadap individu dan LSM, dan kedua, peningkatan dan perluasan sanksi otomatis.

Setelah langkah tersebut, proyek penyitaan dan pencurian aset Iran pun dimulai. Menyusul serangan insiden teror 11 September 2001 di New York, George W. Bush mengesahkan undang-undang yang mengesahkan blokade properti dan aset individu  dan entitas yang mendukung terorisme. Dalam hal ini, sejumlah individu dan entitas di dalam Iran dan di luar Iran tercantum dalam daftar sanksi.

Dalam lanjutan politik tersebut, AS dengan melontarkan klaim palsu soal program nuklir Iran dan menjadikan program nuklir Iran mengambil isu internasional melalui enam resolusi Dewan Keamanan PBB. Resolusi tersebut memberikan wewenang baru kepada Amerika Serikat untuk memperketat sanksi sepihaknya terhadap Iran. Dengan tekanan dan dikte AS, sejak 2006 diratifikasi berbagai resolusi di Dewan Keamanan anti-program nuklir Iran dalam bentuk serangkaian sanksi baru. Pada akhir 2011, Amerika Serikat melarang perusahaan dan lembaga keuangan asing untuk bertransaksi dengan bank Iran termasuk Bank Sentral Iran. Skenario tersebut berakhir pada 20 Juli 2015, dengan ratifikasi resolusi 2231 Dewan Keamanan PBB.

Namun belum genap dua tahun sejak penandatanganan kesepakatan Rencana Aksi Bersama Komprehensif (JCPOA), Presiden AS Donald Trump, menilai JCPOA sebagai kesepakatan buruk, yang dijadikan sebagai alasan untuk memulihkan sanksi terhadap Iran. Pada tanggal 8 Mei 2018, Trump menandatangani perintah penarikan AS dari JCPOA dan menolak memperpanjang penangguhan sanksi nuklir sehingga secara sepihak memulihkan sanksi terhadap Iran.

Karena hubungan politik dan perdagangan yang luas dengan berbagai negara di dunia, Amerika Serikat berusaha memaksakan banyak negara untuk mengikuti sanksi terhadap Iran. Dalam hal ini, perusahaan-perusahaan yang saham utamanya dimiliki oleh perusahaan atau investor Amerika, dipaksa untuk mematuhi sanksi AS.

Banyak bank dan perusahaan besar serta perusahaan asuransi pelayaran telah terpaksa mengikuti sanksi AS dikenakan kekhawatiran langkah balasan AS termasuk pembatasan akses ke fasilitas keuangan dan bisnis di Amerika.

Akibatnya, tujuan agresif Amerika selama empat dasawarsa terakhir telah difokuskan pada dua bagian regional dan internasional. Upaya internasional dibangun dengan menggunakan beberapa isu seperti program nuklir dan Iranphobia dan sanksi, serta perluasannya di berbagai negara. Proyek Iranphobia, sebagai salah satu pilar utama Amerika di kawasan, sebenarnya bukan hal baru dan merupakan politik yang telah digulirkan oleh pemerintah AS sebelumnya.

Langkah lain seperti kudeta lunak dari dalam juga masuk dalam agenda strategi Amerika Serikat melawan Iran.  Rahbar atau Pemimpin Besar Revolusi Islam Iran, Ayatullah Sayyid Ali Khamenei, dalam pertemuan dengan sekelompok elit muda dan talenta ilmiah unggul, mengingatkan kembali sikap permusuhan Amerika terhadap bangsa Iran sejak hari-hari pertama Revolusi Islam. Beliau menilai rezim yang sangat jahat di Amerika Serikat dengan sebutan "Si Setan Besar."

Beliau menjelaskan bahwa pemerintah AS adalah pelaksana jaringan berbahaya dan jahat, Zionisme internasional, yang merupakan musuh negara-negara independen dan penyebab sebagian besar perang di kawasan dan dunia. Menurut beliau, Israel sama seperti lintah yang akan menyedot kekayaan apapun yang dimiliki negara-negara.

Ayatullah Sayid Ali Khamenei.

Sekarang, Trump melanjutan politik yang sama, namun dengan lebih lancang dan congkak. Dengan langkah tidak bijaknya keluar dari JCPOA, Trump telah menunjukkan kepada dunia bahwa dia tidak memiliki pemahaman realistis tentang fakta Amerika Serikat dan Iran di masa lalu dan sekarang. Iran sama sekali tidak terkejut iketika di era Obama, Rahbar menyebut Amerika Serikat sedang menyembunyikan "tinju besi" di balik sarung tangan beludrunya, dan sekarang juga tidak khawatir dengan retorika ancaman Trump.

Ketidakpercayaan Iran terhadap Amerika Serikat bukan sekedar slogan, itu didasarkan pada rapor masa lalu dan perilaku saat ini serta analisa realistis dari hegemoni Amerika.

Politik Amerika di hadapan JCPOA dapat disimpulkan pada satu tujuan yaitu memaksa Iran memberikan banyak konsesi kepada Amerika Serikat. Namun Amerika Serikat harus belajar dari pengalaman bahwa Iran tidak akan terjebak dalam tibu muslihat Washington.

Ayatullah Khamenei, dalam surat kepada Presiden dan Ketua Dewan Keamanan Nasional Iran, Hassan Rouhani, mencatat bahwa pemerintah Amerika Serikat, baik dalam kasus nuklir maupun dalam masalah lain, tidak memiliki sikap lain kecuali permusuhan, dan masa depan juga tetap akan melakukan hal yang sama.

Beliau menekankan, "Berharap dari Si Setan Besar, tidak belajar dari pengalaman pengingkaran janji Amerika dan penyepelean kemampuan diri sendiri, merupkan tiga sudut segitiga yang menyebabkan negara terbelakang dan seseorang harus diperingatkan."

Rahbar juga mengatakan dalam pidatonya di hadapan keluarga para syuhada, menyebut ancaman Amerika terhadap Iran, sekedar omong kosong dan menekankan bahwa omong kosong Presiden Amerika Serikat bukan hal baru karena Republik Islam sejak awal telah berhadap-hadapan dengan plot AS, tetapi musuh bangsa Iran tidak mampu melakukan apapun.

Mengacu pada pernyataan terbaru oleh pejabat AS soal upaya mengubah pemerintah Republik Islam, Rahbar mengatakan, "... Kapan kalian (AS) tidak berusaha mengubah pemerintah Republik Islam, namun kalian selalu tersandung batu dan mulai sekarang juga akan terus demikian."