Jilbab, Kemuliaan dan Keagungan
Selama ini jilbab muncul di permukaan sebagai isu yang cenderung dilihat secara polemis benar-salah. Satu pihak mendukung dan di pihak lain menentangnya. Padahal masalahnya barangkali tidak bisa dilihat secara hitam putih semata. Kontroversi ini terlihat begitu benderang di dunia maya.
Dari hiruk-pikuk kontroversi ini, ada fenomena yang cukup menarik mengenai hashtag atau tagar dalam bahasa Farsi "Hejab, Balandegi Ast" atau "Jilbab, Keagungan" yang berpijak dari pengalaman pribadi masing-masing penggunanya.
Tampaknya, tagar ini mencoba keluar dari kontroversi hitam putih, tapi mengangkat aspek yang sepenuhnya personal, dan mendalam karena dirasakan langsung oleh penggunanya. Salah satu akun yang mengusung tagar ini menuliskan pengalamannya:
Aku berjilbab sejak SMP, tanpa paksaan
Dengan jilbab, tetap bisa pelesiran
Studiku di kampus tidak ketinggalan
Aktivitas dan pekerjaanku juga berjalan
Sebagian presenter TV juga nyaman berjilbab, tanpa paksaan
Aku juga bergaul nyaman dengan temen-teman di taman
Tanpa masalah, tanpa hambatan
jilbab, kemuliaan
Seorang muslimah lain bernama Somayeh Rahimi menuliskan pengalamannya. "Aku memiliki beberapa saudari. Dua orang tidak mengenakan chador, sebuah jenis jilbab yang mirip abaya. Tapi aku mencintai mereka sebagai saudari. Kami juga sering bersama melakukan aktivitas di luar. Chador yang kukenakan tidak menghalangi kegiatanku selama ini. Semua dilakukan dengan nyaman. Bagiku jilbab kemuliaan," tulis Muslimah Iran ini.
Di postingan lain, Saranaz Hosseini mengutip perkataan Imam Ali, "Mengenakan jilbab lebih baik bagi perempuan. Keindahannya terjaga,"
Arma, seorang muslimah lainnya menulis komentar tentang pengalamannya beraktivitas di taman dengan keluarga sebagaimana yang lain. Baginya mengenakan jilbab di arena terbuka seperti taman lebih menjaganya. Jilbab, kemuliaan menurutnya.
Beberapa dari komentar ini hanya sebagian kecil dari tanggapan mengenai jilbab dan gerakan tagar "Jilbab, kemuliaan dan keagungan".
Ada yang cukup menarik dari fenomena jilbab di dunia modern dewasa ini. Perempuan memainkan peran signifikan di berbagai bidang dari politik, sosial, budaya hingga ekonomi. Di tengah masyarakat yang masih memegang teguh nilai-nilai agama, jilbab memiliki kedudukan khusus. Sejarah juga menunjukkan bahwa jilbab tidak hanya dikenal dalam tradisi agama Islam saja tapi, agama langit lainnya.
Agama Islam memandang jilbab sebagai pakaian yang melindungi perempuan, bukan membatasinya. Oleh karena itu, seorang muslimah yang berjilbab tidak akan merasa dibatasi dengan pakaian yang dikenakannya dalam aktivitas sosial, bahkan justru menjadikan dirinya mulia, karena dilihat sebagai manusia, bukan dari jendernya.
Dengan kata lain, seorang muslimah dengan jilbabnya akan menjaga kesucian dan kehormatan diri dan keluarganya di tengah interaksi sosial dengan orang lain. Dari sisi ini, hubungan sosial dibangun berlandaskan kekuatan diri yang positif, karena muncul dari dalam, bukan luarnya.
Sebagian psikolog menilai hijab berhubungan langsung dengan nilai kepercayaan diri. Seorang muslimah berhijab akan bertumpu pada kekuatan pemikiran dan kelebihan dalam dirinya, bukan fisik luarnya. Sebab akan mendorong seorang perempuan lebih biaa mengaktualkan potensi dirinya, sebagai lapisan puncak dari hirarki Maslow. Barangkali tidak berlebihan, ketika seorang profesor studi agama dari Jepang, Shachiko Murata mengungkapkan pandangannya, "Kelembutan dan kehalusan perempuan terletak pada jilbabnya. Jilbab, ruang suci perempuan dan puncak ketenteramannya, sekaligus menunjukkan kedudukan dan urgensi perempuan,"
Jilbab yang dibarengi dengan nilai-nilai agung dari pemakainya menjadikan sosok perempuan berada di tangga tinggi dalam kehidupan sosial. Psikolog Iran, profesor Ferdowsi Pour menjelaskan, "Di antara perilaku sosial, terutama perilaku tradisional terkadang muncul contoh dari perilaku bermakna yang membuat para peneliti penasaran untuk mengkaji apa hubungan signifikan dari perilaku tersebut. Jilbab, merupakan susunan komposit dari keyakinan, hukum dan afeksi yang saling terikat dalam bentuk sebuah perilaku bermakna. Jilbab memberikan pesan kesehatan moralitas dan spiritualitas,".
Al-Quran memberikan acuan mengenai hijam dalam surat An-Nur ayat 30 dan 31. Di ayat ini sebenarnya muncul seruan dua arah. Tidak hanya bagi perempuan saja, tapi juga bagi laki-laku untuk menahan pandangannnya. Artinya ada dua sisi yang seimbang dilihat bukan hanya dari pihak perempuan saja, tapi juga dari laki-laki.
Kubu penentang jilbab memandang secara sinis jilbab yang dinilainya sebagai pakaian yang merendahkan kemanusiaan seorang perempuan karena membatasinya. Padahal, kemuliaan perempuan justru terletak pada peran aktifnya di tengah masyarakat. Faktanya selama ini banyak muslimah yang menjalankan peran pentingnya di berbagai bidang sosial masyarakat.
Modernitas telah mengubah cara pikir masyarakat menuju konsumerisme, dan faktanya perempuan cenderung menjadi alat sekaligus target untuk melayani konsumerisme tersebut. Jilbab menjadikan seorang perempuan tidak disibukan oleh tampilan luar yang kerap menjadi sasaran konsumerisme. Jilbab memfokuskan seorang muslimah dalam kecantikan dalamnya; pemikiran, komitmen dan kemampuan kinerja dan karyanya. Barangkali Inilah pesan yang ingin diangkat dari tagar "Jilbab, kemuliaan dan keagungan,".
Frantz Fanon, sosiolog dan filsuf Perancis menilai jilbab bukan pembatas kebebasan manusia, tapi justru menguatkannya. Fanon menulis, "Setiap kali jilbab ditanggalkan, yang merupakan cakrawala baru yang dilarang imperialis, beberapa kali akan dibuka dan setelah melihat setiap wajah tanpa tirai, maka harapan bagi imperialis untuk menyerang meningkat 10 kali lipat,".
Menyikapi masalah ini Laila Koshtkar, di akun medsosnya menulis, "Jika kita tahu hubungan antara kekuatan hegemonik dengan penyebaran budaya menentang hijab, mungkin kita akan tahu, jilbab bisa jadi alat untuk melawannya,".