Ambisi AS Menghentikan Program Nuklir Damai Iran (2)
Perkembangan baru seputar kesepakatan nuklir JCPOA termasuk keluarnya AS dari kesepakatan, keengganan Eropa memenuhi komitmennya, dan kemudian langkah Iran mengurangi komitmen nuklirnya, telah menyingkap tujuan yang ingin dikejar AS dalam menyikapi program nuklir damai Republik Islam.
Setelah Eropa tidak melaksanakan ketentuan kesepakatan nuklir, pemerintah Iran pada 1 Juli 2019 mengumumkan bahwa pihaknya telah melampaui batas 300 kilogram cadangan uranium berdasarkan pasal 36 JCPOA, tetapi ini tidak berarti pelanggaran.
Presiden AS Donald Trump dan Gedung Putih dalam statemen terpisah memperingatkan Iran dan secara prinsip menolak hak pengayaan uranium oleh Tehran.
Statamen terbaru pemerintah AS yang dimuat di situs resmi Gedung Putih, telah menjadi bahan olokan media-media dunia. Gedung Putih menyebut Tehran telah melanggar kesepakatan nuklir, jauh sebelum kesepakatan itu dibuat.
Wartawan surat kabar The Washington Post, John Hudson di akun Twitter-nya menulis, "Kalimat aneh dalam statemen baru Gedung Putih mengenai Iran 'Ada sedikit keraguan bahwa bahkan sebelum keberadaan kesepakatan itu, Iran telah melanggar ketentuan-ketentuannya.'"
Para analis dan pengamat mengaku heran dan menertawakan pernyataan resmi Gedung Putih, bagaimana Iran bisa melanggar JCPOA sebelum kesepakatan ini dibuat? Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif ikut men-tweet sebagai ledekan atas pernyataan aneh tersebut.
"Serius?" tanya Zarif sembari memposting statemen Gedung Putih yang berbunyi, "Ada sedikit keraguan bahwa bahkan sebelum keberadaan kesepakatan itu, Iran telah melanggar ketentuan-ketentuannya."
Departemen Luar Negeri AS memberikan respon atas langkah Iran meningkatkan cadangan uranium yang diperkaya. Dalam sebuah pernyataan resmi, Kemenlu AS mengatakan kesepakatan nuklir apapun tidak boleh mengizinkan pemerintah Iran memperkaya uranium di tingkat apapun.
Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo bersama Penasihat Keamanan Nasional Gedung Putih, John Bolton selalu mengambil sikap keras terhadap Tehran. Sikap Pompeo bahkan telah menyingkap tujuan asli AS mempermasalahkan program nuklir damai Iran.
Pompeo pada 1 Juli menulis, "Rezim Iran telah mengambil langkah baru untuk memajukan ambisi nuklirnya. Rezim ini kembali menggunakan program nuklirnya untuk memeras masyarakat internasional dan mengancam keamanan kawasan. Sponsor terbesar terorisme di dunia tidak pernah diizinkan untuk memperkaya uranium pada tingkat apapun."
Berbagai tudingan Pompeo mengindikasikan kemarahan besarnya terhadap langkah serius Tehran. Pemerintah Iran telah mematuhi dan memenuhi komitmennya berdasarkan kesepakatan nuklir, namun setelah AS keluar dari JCPOA dan Eropa juga tidak melaksanakan komitmennya, Tehran memutuskan untuk menangguhkan komitmennya dan meningkatkan cadangan uranium yang diperkaya.
Para pejabat AS berpikir bahwa Iran akan terus mematuhi kesepakatan nuklir meskipun kita telah keluar darinya dan Eropa juga ingkar janji, tetapi mereka sekarang menghadapi mimpi buruk yang selalu ditakutinya yaitu keputusan Iran mengabaikan pembatasan nuklir yang ditetapkan JCPOA. Untuk itu, Barat sekarang meningkatkan ancamannya terhadap Tehran.
Sikap pemerintahan Trump terhadap JCPOA dikritik oleh anggota senior Partai Demokrat di Senat. Senator Bob Menendez mengatakan, strategi tekanan maksimum pemerintahan Trump harus diubah menjadi upaya diplomatik yang maksimal untuk menyelesaikan masalah nuklir Iran di meja perundingan.
Menendez mengkritik pemerintah AS karena tidak memiliki dukungan diplomatik yang berarti untuk melawan Iran. "Kongres belum mengizinkan perang dengan Iran, dan pemerintah jika sedang mempertimbangkan aksi militer dengan Iran, harus datang ke Kongres untuk meminta persetujuan," ujarnya.
Pemerintahan Trump telah menerapkan kebijakan tekanan maksimum terhadap Iran dalam satu tahun terakhir, dan menuntut agar Iran "berperilaku seperti negara normal" dan meninggalkan upaya untuk mencapai senjata nuklir, program rudal besar-besaran, dukungan untuk terorisme, dan tindakan-tindakan lain yang memicu ketegangan.
Perlu dicatat bahwa program nuklir Iran sepenuhnya untuk tujuan damai dan berjalan sesuai dengan ketentuan JCPOA, dan kekuatan rudal Iran juga untuk tujuan pertahanan negara. Di samping itu, Republik Islam mendukung gerakan anti-Zionis seperti Hizbullah dan Hamas, dan menganggap AS sebagai sponsor utama terorisme di wilayah Asia Barat.
Kebijakan regional Iran bertujuan untuk menangkal tindakan agresif AS dan sekutunya di kawasan, dan kebijakan ini berorientasi pada stabilitas regional.
Secara prinsip, kesepakatan nuklir 2015 yang dicapai antara Iran dan kelompok 5+1 termasuk AS adalah sebuah kompromi yang mengakui hak Iran untuk memperkaya uranium. Di samping itu, Iran menerima beberapa pembatasan di bidang nuklir dengan imbalan pencabutan sanksi PBB serta sanksi-sanksi sepihak AS dan Eropa terhadap Iran.
Keputusan AS keluar dari JCPOA merupakan sebuah pelanggaran terhadap hukum internasional khususnya prinsip mematuhi kewajibannya, dan juga melanggar resolusi 2231 Dewan Keamanan PBB. Anehnya, mereka sekarang mengajukan tuntutan yang tidak rasional kepada Tehran yaitu melaksanakan komitmen JCPOA sendirian.
Lalu, atas dasar apa AS menuntut Iran untuk memenuhi komitmen JCPOA ketika mereka sendiri telah keluar?
Sikap Washington ini dapat dianggap sebagai kebijakan standar ganda. Dengan kata lain, dalam pandangan pemerintahan Trump, JCPOA akan dianggap sebagai kesepakatan yang baik jika semata-mata melayani kepentingan AS dan Israel, namun ketika komitmen pemerintah AS ditagih, mereka menolak untuk memenuhinya.
Pemerintah AS memandang kesepakatan nuklir sebagai sebuah alat, yaitu instrumen yang berguna untuk mengekang kegiatan nuklir Iran. Namun, para pejabat AS sekarang terkejut dengan langkah berani Iran dan mereka benar-benar salah perhitungan dalam berurusan dengan Republik Islam.
Anehnya lagi, Perdana Menteri rezim Zionis, ikut menyampaikan kekhawatiran atas langkah kedua pemangkasan komitmen Iran dalam kesepakatan nuklir JCPOA. Benjamin Netanyahu menyebut langkah Iran meningkatkan level pengayaan uranium sebagai tindakan berbahaya. Dia meminta Inggris, Prancis dan Jerman untuk menjatuhkan sanksi atas Iran.
"Kami tidak akan mengizinkan Iran memperoleh senjata nuklir," kata Netanyahu dalam sebuah pernyataan.
Rezim Zionis sejak awal menjadi penentang utama kesepakatan nuklir JCPOA dan menuntut pembatalannya, namun sekarang meminta kepatuhan Tehran terhadap kesepakatan.
Sikap Iran mengenai JCPOA cukup jelas. Tehran akan berkomitmen terhadap kesepakatan ini selama memperoleh manfaat darinya. Jadi, tuntutan AS dan Eropa agar Iran memenuhi komitmen JCPOA sendirian benar-benar tidak rasional dan berlebihan.
Trump meskipun berulang kali mengancam Iran, juga berkali-kali menyerukan perundingan dengan Tehran, dan para pejabat pemerintahannya termasuk Mike Pompeo, juga sudah sering mengulangi permintaan itu.
Permintaan perundingan ini diajukan Trump setelah kebijakan tekanan maksimum tidak mencapai hasil yang diharapkan, ancaman militer tidak membuat Iran gentar, dan berkurangnya dampak sanksi AS.
Namun, jelas bahwa Iran tidak akan pernah melakukan negosiasi dengan AS di bawah sanksi ekonomi dan tekanan. Pendekatan AS ke Iran semata-mata didasarkan pada ancaman, tekanan, dan paksaan.
Dalam berurusan dengan Iran, pemerintah AS mengadopsi kebijakan yang bertentangan dengan prinsip dan hukum internasional. Mereka tidak hanya menekankan kelanjutan dari strategi tekanan maksimum, tetapi juga mengerahkan kapal perang dan pasukan ke dekat perairan Iran dengan tujuan memicu ketegangan.
"Tekanan AS terhadap Iran bukan karena kekuatan negara itu dan kelemahan Republik Islam, tetapi karena kekalahan beruntun Washington di tingkat regional dan internasional dalam melawan Tehran," pungkas menlu Iran.
Republik Islam Iran secara konsisten menentang kebijakan dan tindakan AS selama 40 tahun terakhir dan secara praktis telah menggagalkan konspirasi Paman Sam.
Trudy Rubin, seorang analis Amerika mengatakan, kritik terbuka Trump terhadap Iran dan seruannya kepada sekutu untuk mendukung kampanye tekanan maksimum merupakan indikasi dari kegagalan kebijakannya." (RM)