Serangan Rudal AS ke Penerbangan IR655
(last modified Sun, 28 Jun 2020 08:53:41 GMT )
Jun 28, 2020 15:53 Asia/Jakarta
  • Ilustrasi serangan rudal AS terhadap pesawat sipil Iran.
    Ilustrasi serangan rudal AS terhadap pesawat sipil Iran.

Pada 3 Juli 1988, sebuah pesawat penumpang milik Iran Air (IR655) lepas landas dari Bandara Internasional Mehrabad Tehran dengan tujuan Dubai, tetapi pesawat nahas ini tidak pernah mencapai tujuan.

Pesawat Airbus yang membawa 290 penumpang dan awak itu dirudal di ketinggian 12 ribu kaki oleh kapal perang Amerika Serikat, USS Vincennes di atas perairan Teluk Persia. Penumpang yang gugur mencakup 66 anak-anak, 53 wanita, dan 46 warga negara asing. Warga negara asing dalam tragedi ini berasal dari Uni Emirat Arab, Kuwait, India, Pakistan, Italia, dan Yugoslavia.

Penerbangan IR655 terkena tembakan dua rudal dari USS Vincennes, kemudian meledak dan jatuh di dekat Pulau Hengam, Iran. AS menembak jatuh pesawat itu dan tidak memiliki jawaban atas sebuah pertanyaan. AS beralasan, kapten kapal perang telah berbuat salah, namun jika ia salah, mengapa ia dianugerahi medali?

Kontradiksi seperti ini banyak ditemukan dalam perilaku Amerika. Kontradiksi-kontradiksi yang sangat mudah ditebak oleh orang awam sekali pun. Presiden AS saat ini juga banyak melakukan kesalahan dan kontradiksi seperti itu.

AS punya catatan panjang dalam pelanggaran hak asasi manusia dan ini tidak bisa ditutupi dari sorotan media-media internasional, dan bahkan media-media Amerika merasa malu atas perilaku pemerintah Washington. Saat ini, dukungan langsung AS terhadap para pelanggar HAM dan rezim pembantai anak-anak di Yaman, Palestina, Irak, dan Suriah, merupakan sebuah realitas yang tidak bisa ditutupi.

Bangsa Iran sudah bertahun-tahun berada di bawah sanksi dan menjadi target nomor satu dari aksi terorisme ekonomi AS. Sanksi ini diperketat lewat kebijakan tekanan maksimum Trump dalam dua tahun terakhir.

Tragedi 3 Juli merupakan dampak dari kehadiran ilegal militer AS di kawasan. Tragedi ini tidak akan pernah dilupakan oleh sejarah. Menteri Luar Negeri Iran, Mohammad Javad Zarif dalam sebuah tweet di akunnya menulis, "Pada 3 Juli 1988, AS menembak jatuh pesawat sipil Iran yang menyebabkan 290 penumpang gugur, namun pelaku kejahatan ini justru memperoleh medali, bukannya hukuman."

"Setelah perjanjian nuklir JCPOA, AS pada tahun 2016 mengeluarkan lisensi penjualan 200 pesawat Boeing, Airbus, dan ATR, tetapi membatalkan semua lisensi itu pada 2018 bahkan sebelum satu pesawat pun diserahkan oleh Boeing. Sasaran utama sanksi AS adalah warga Iran," ujarnya.

Pada dasarnya, penembakan jatuh pesawat sipil Iran oleh AS merupakan salah satu dari fase konfrontasi kekuatan arogan dengan Republik Islam untuk memperkuat rezim Saddam yang sedang menyerang Iran.

Setelah pesawat jatuh dirudal, para pejabat AS mengungkapkan alasan yang saling bertentangan untuk menjustifikasi kejahatannya. Mereka mengesankan tindakan bermusuhan ini sebagai sebuah kesalahan.

Perlu dicatat bahwa USS Vincennes dilengkapi dengan peralatan canggih termasuk radar dan sistem komputer, dan pesawat yang sedang mengudara pun sangat jelas tipenya. Jadi jelas tidak ada potensi kesalahan dalam kasus ini, tindakan tersebut sepenuhnya disengaja.

Kejahatan ini telah menambah daftar panjang kejahatan AS dan menjadi sebuah noktah hitam dalam daftar tindakan terorisme Paman Sam. Para pejabat Washington mempermainkan hukum internasional dengan berbohong dan menyembunyikan fakta. Mereka berusaha menyesatkan opini publik dunia demi menutupi kejahatannya.

Sikap ini menunjukkan bahwa AS telah mempolitisasi masalah HAM dan menjadikannya sebagai alat untuk menekan bangsa-bangsa lain. Serangan yang disengaja terhadap penerbangan IR655 kembali membuktikan klaim-klaim palsu Washington dalam masalah pembelaan HAM.

Pada 5 Juli 1988, Republik Islam Iran melalui sepucuk surat meminta ketua periodik Dewan Keamanan PBB menggelar sidang darurat untuk membahas kasus tersebut. Dalam pertemuan itu, Iran diwakili oleh menlunya waktu itu, Ali Akbar Velayati dan Amerika oleh Wakil Presiden waktu itu, George H. W. Bush. Menlu Iran dalam pidatonya mengatakan, kehadiran militer AS di Teluk Persia telah menjadi pemicu pelanggaran hukum dan kejahatan di kawasan yang tidak membawa apapun kecuali ketidakamanan.

Selain membawa kasus ini ke Dewan Keamanan PBB dan Organisasi Penerbangan Sipil Internasional (ICAO), Iran juga mengajukan gugatan ke Mahkamah Kejahatan Internasional (ICC) di Den Haag. Namun, ICAO telah bermain politik dan lebih memilih menyampaikan penyesalan dan belasungkawa, ketimbang melakukan penyelidikan teknis dan menyerahkan laporannya ke Dewan Keamanan.

Meskipun terbukti kejahatan itu disengaja, namun tidak satu pun dari awak USS Vincennes yang dihukum. Kapten kapal USS Vincennes, William Rogers justru menerima medali Legion of Merit atas pengabdiannya menembak jatuh pesawat sipil Iran dan membunuh 290 orang di dalamnnya.

Empat tahun kemudian, surat kabar The New York Times dalam sebuah laporan menyatakan USS Vincennes sedang berlabuh di perairan Iran, bukan perairan internasional, tetapi Departemen Pertahanan AS menyembunyikan fakta ini pada masa itu.

Kepala Staf Gabungan AS di era Presiden Reagan, Laksamana William Crowe dalam wawancara dengan BBC, mengatakan USS Vincennes yang dilengkapi dengan meriam dan rudal jarak jauh telah memasuki wilayah Iran dengan alasan yang tidak jelas. Ini mengindikasikan bahwa kapal secara terencana disiapkan untuk tindakan jahat.

Dia menegaskan bahwa kapal penjelajah Angkatan Laut AS itu berada di perairan teritorial Iran ketika menembak jatuh sebuah pesawat Iran.

Ilustrasi kejahatan Amerika.

Para pejabat AS menyebut penembakan jatuh sebuah pesawat Korea Selatan (Penerbangan 007) pada 1983 sebagai tindakan barbar, dan menyerukan sanksi internasional terhadap maskapai Uni Soviet. Namun setelah mereka sendiri menjatuhkan pesawat Iran dengan sengaja, AS melemparkan klaim-klaim tak berdasar dan mengesankan pembunuhan 290 warga sipil sebagai sebuah insiden kecil.

Pada 7 Agustus 1988, Wakil Presiden AS waktu itu George H. W. Bush mengatakan "Saya tidak akan pernah meminta maaf atas nama Amerika Serikat, saya tidak peduli apa faktanya, saya bukan tipe orang yang meminta maaf atas nama Amerika."

William Rogers secara terbuka mengatakan, "Jika insiden ini terjadi ratusan kali, saya akan tetap mengeluarkan perintah tembak."

Tentu tidak aneh jika komentar-komentar seperti ini keluar dari lisan para pejabat AS, karena mereka sudah terbiasa melakukan kejahatan. Daftar panjang kejahatan AS terhadap kemanusiaan antara lain penggunaan senjata atom untuk membom Hiroshima dan Nagasaki yang menewaskan lebih dari 220.000 warga sipil, kejahatan perang dalam Perang Meksiko selama tahun 1846-1848 dengan lebih dari 10.000 orang tewas, kejahatan perang di Filipina pada tahun 1899-1992 dengan korban tewas setidaknya mencapai 200.000 orang.

Melakukan kejahatan tragis dalam Perang Vietnam (1955-1975) dengan ratusan ribu orang tewas, melancarkan kudeta militer di berbagai negara dunia termasuk Kudeta 28 Mordad di Iran, mendukung serangan kimia rezim Saddam terhadap kota-kota di Iran dan Irak, mendirikan penjara rahasia dan penggunaan berbagai metode penyiksaan di penjara Guantanamo dan Abu Ghraib, dan terbaru menumpas aksi unjuk rasa anti-rasisme di Amerika.

Dengan rapor merah ini, AS bukan hanya tidak punya hak untuk mengeluarkan penilaian tentang situasi HAM di negara lain, tetapi mereka harus diseret ke pengadilan kejahatan perang dan dihukum. (RM)