Jun 15, 2016 10:14 Asia/Jakarta

Bulan Ramadan adalah manifestasi  ayat 48 Surat al-Maidah ”... Maka berlomba-lombalah berbuat kebajikan...” Bulan suci ini merupakan peluang bagi penghambaan dan mencapai derajat Khalifatullah.

Di bulan ini, kita harus membersihkan diri kita dari ketergantungan kepada dunia, melebihi bulan-bulan lainnya. Melalui shalat, puasa, ibadah dan membaca al-Quran, kita harus berusaha menjadi bagian dari tamu istimewa Allah Swt, supaya kita dapat mengikuti jamuan Ilahi, meminta ampunan, mensucikan diri serta meraih nikmat Ilahi.

 

Allah Swt saat menyifati bulan penuh berkah Ramadan di surat al-Baqarah ayat 185 berfirman yang artinya, “(Beberapa hari yang ditentukan itu ialah) bulan Ramadan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al Quran sebagai petunjuk bagi manusia dan penjelasan-penjelasan mengenai petunjuk itu dan pembeda (antara yang hak dan yang bathil)...” Di bulan ini Allah Swt menjadikan di antara malamnya sebagai malam qadr (Lailatul Qadr) serta menurunkan ajaran yang memberi petunjuk dan dimaksudkan untuk kebahagiaan manusia. Di awal surat al-Qadr Allah berfirman, “Sesungguhnya Kami telah menurunkannya (Al Quran) pada malam kemuliaan.

 

Filsafat diwajibkannya puasa disebutkan bahwa salah satu tujuan dari puasa adalah mencapai derajat takwa. Mencapai tahap ini, manusia membutuhkan peta jalan. Untuk mencapai jalan hidayah dan bergerak maju, manusia membutuhkan pembimbing. Pembimbing yang melangkah di jalan kebenaran dan tidak mendorong manusia ke arah jurang kehancuran. Allah Swt Sang Pencipta Alam Semesta telah memberikan pembimbing tersebut kepada manusia. Sang Maha Pencipta telah menentukan jalur hidayah dengan menurunkan al-Quran. Al-Quran adalah penunjuk jalan bagi manusia untuk mencapai hidayah dan faktor yang mendorong manusia mencapai derajat takwa. Allah Swt di surat al-Baqarah ayat kedua berfirman, “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa.

 

Di bulan ini sangat dianjurkan untuk membaca al-Quran, karena setiap satu kata al-Quran merupakan cahaya (nur) dan akan membimbing hamba ke arah Tuhan. Dengan membaca setiap kata dan ayat al-Quran, akan bersinar cahaya terang di hati-hati yang mati dan lalai. Hati akan tergerak dan siap menerima hari-hari yang penuh maknawi. Oleh karena itu, ada hubungan istimewa antara bulan suci Ramadan dan al-Quran.

 

Sama seperti musim semi ketika manusia dan alam mengalami keceriaan khusus serta kehidupan bersemi kembali, al-Quran juga musim semi bagi hati manusia. Dengan membaca al-Quran dan belajar memahami ajarannya, hati-hati akan senantiasa hidup. Imam Ali as bersabda, “Pelajarilah Kitabullah (al-Quran) karena ia adalah kata-kata yang paling indah dan nasehat paling jelas. Capailah pemahaman di al-Quran, karena ia adalah musim semi bagi setiap hati manusia.

 

Manusia yang bertakwa menjadikan al-Quran sebagai pedoman perilaku dan amal perbuatannya. Ia senantiasa mentaati perintah dan larangannya. Hati-hati orang bertakwa akan merasa tenang berada di samping al-Quran dan selalu meminta pertolongan kepada Kitab Suci ini setiap menghadapi kesukaran.

 

Al-Quran bersumber dari Zat dan Wujud paling suci selama 23 tahun diturunkan kepada Rasulullah Saw. Sumber jernih ini untuk mengalir membutuhkan lahan yang bersih dari kotoran dan hati-hati yang bersih dari dosa serta jiwa yang siap untuk menerima kebenaran. Dari petuah dan ajaran Nabi serta para ulama disimpulkan bahwa kesucian al-Quran harus dijaga dan diperlakukan dengan penuh penghormatan. Poin ini juga harus diperhatikan bahwa ketika membaca al-Quran, seseorang harus memiliki kepekaan, yaitu dia tengah berhadapan dengan Allah Swt dan mendengarkan wahyu Ilahi.

 

Membaca al-Quran memiliki adab dan tata cara, di antaranya adalah suci. Sama seperti Allah Swt adalah Maha Suci, maka syarat pertama membaca al-Quran juga diambil dari Zat Allah Yang Maha Suci seperti dijelaskan dalam surat al-Waqiah ayat 79 yang artinya, “Tidak menyentuhnya kecuali orang-orang yang disucikan.

 

Menurut para wali Allah, mulut adalah tempat berlalunya Kalam Allah. Oleh karena itu, jalur ini harus suci, sehingga proses penyucian al-Quran terhadap hati dan jiwa manusia berjalan lebih baik. Rasulullah Saw bersabda, “Bersihkanlah jalan yang dilalui al-Quran. Kemudian beliau ditanya, “Wahai Rasulullah, apakah jalan al-Quran?” Beliau menjawab, “Mulut!” Sahabat kemudian bertanya, “Dengan apa kami membersihkan mulut?” Nabi menjawab, “Dengan menyikat gigi.

 

Memandang halaman kitab suci al-Quran sudah termasuk ibadah. Menurut Rasulullah Saw, melihat yang termasuk ibadah ada pada tiga hal, salah satunya adalah memandang al-Quran. Membuka lembaran kitab suci al-Quran dan memandang lembarannya termasuk adab membaca wahyu Ilahi. Adab lainnya adalah diam ketika mendengar bacaan al-Quran dan merenungkannya. Seperti yang difirmankan Allah dalam surat al-A’raf ayat 204, “Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.

 

Berfikir dan merenungkan ayat Ilahi, termasuk adab dan kesopanan lain membaca al-Quran. Terkait hal ini Imam Sajjad as berkata, “Ayat-ayat al-Quran merupakan harta karun ilmu dan pengetahuan. Dan setiap orang berakal akan mewajibkan dirinya ketika membuka setiap lembaran harta karun ini untuk memandangnya dan memanfaatkan keindahannya. Ia juga akan menjadikan hati dan jiwanya tersinari cahaya al-Quran dengan memikirkan dan merenungkan arti setiap ayatnya. Maka ketika itulah, ia mulai membaca ayat-ayat suci al-Quran.

 

Tahapan lain yang harus dilalui seseorang dalam menghadapi wahyu Ilahi ini adalah membersihkan hati dari niat yang kotor dan syirik. Imam Ali as dalam pesannya kepada salah satu sahabatnya terkait membaca al-Quran bersabda, “Sebagian orang membaca al-Quran demi mencari kerelaan Allah Swt, sebagian lainnya untuk mencari hal-hal duniawi dan sebagian yang lain membaca al-Quran untuk bertikai dengan orang lain. Jika kamu memiliki kemampuan maka jadikan dirimu di antara mereka yang membaca al-Quran demi mencari kerelaan Allah.

 

Di bulan Ramadan semangat membantu orang lain di tengah-tengah masyarakat terlihat nyata. Saat itu, egoisme terkalahkan oleh sifat terpuji, rela berkorban dan membantu orang lain. Rasulullah Saw bersabda, “Siapa saja yang memberi buka orang yang berpuasa di bulan Ramadan karena Allah, maka pahalanya seperti memerdekakan seorang budak dan dosa-dosanya diampuni. Sebagian sahabat bertanya, Wahai Rasulullah, kami tidak memiliki kemampuan untuk melakukannya. Beliau menjawab,  walau hanya dengan sebiji atau setengah kurma pun tidak masalah. Dan jika kalian tetap tidak mampu, berilah segelas air minum kepada orang yang berpuasa saat berbuka.

 

Sejumlah sahabat Nabi bersama muslim lainnya berhijrah ke Madinah. Mengingat kondisi perekonomian mereka yang minim, akhirnya mereka tidak mendapat tempat berteduh. Oleh karena itu, mereka tinggal di bagian utara Masjid Nabawi. Bangunan ini dikenal dengan nama Suffah, sebuah bangunan yang berada di luar masjid, namun masih tetap tersambung ke rumah ibadah tersebut. Orang yang tinggal di bangungan tersebut, kemudian dikenal dengan Ahlu Suffah.

 

Ahlu Suffah meski tergolong miskin dan tidak memiliki harta, namun sangat beriman. Ketika terjadi perang, mereka termasuk prajurit-prajurit Islam terbaik. Warga Madinah mengenal mereka dan terkadang warga mengundang mereka untuk makan siang atau makan malam. Nabi sendiri sangat menyayangi mereka dan kerap mengunjunginya sambil membawa makanan.

 

Di salah satu malam di bulan Ramadan, warga Madinah mengundang sekitar 40 Ahlu Suffah untuk berbuka puasa. Namun masih ada 30 lainnya yang tidak mendapat undangan. Mereka kemudian mengerjakan shalat dan duduk di pojok-pojok tempat tinggal mereka serta sebagian lainnya bersandar di dinding. Mereka belum juga berbuka puasa. Saat itu, Nabi dengan muka cerah dan tersenyum memasuki Suffah sambil menjinjing sebuah wadah yang penuh makanan dan tertutup rapat.

 

Ahlu Suffah yang menyaksikan kedatangan Nabi, langsung berdiri dan menyerbu Rasulullah. Nabi kemudian duduk dan mulai membuka hidangan yang beliau bawa. Bau makanan tersebar di Suffah. Dengan penuh kasih sayang, Nabi mulai membagi makanan bagi semua orang dan beliau menjadi orang terakhir yang makan.