Tujuan AS Menduduki Afghanistan (11)
Di kesempatan kali ini kami akan mengajak Anda menyoroti sikap tak bertanggung jawab Amerika yang lari dari Afghanistan.
Seperti masalah serangan militer ke sebuah negara yang harus dilancarkan sesuai dengan ketentuan, prinsip internasional dan secara bertanggung jawab, maka isu keluarnya para penjajah juga harus dilakukan dalam koridor ini. Pasukan penjajah melalui aksinya tidak boleh menimbulkan instabilitas dan merusak sistem umum di negara yang dijajah atau tuan rumah.
Sementara itu, pasukan Amerika Serikat yang menyerang Afghanistan tahun 2001 dengan melanggar teks piagam PBB, ketika keluar dari negara ini pada tahun 2021, friksi antara pemerintah Kabul dan Taliban mencapai puncaknya dan mengarah kekebuntuan politik, serta negara ini dilanda instabilitas. Adapun pasukan keamanan yang sebelumnya mendapat dukungan udara dari Pasukan Bantuan Keamanan Internasional (ISAF) dan berperang melawan Taliban, kini menyadari tidak lagi mendapat dukungan tersebut, produksi dan penyelundupan narkotika di negara ini meningkat, Daesh (ISIS) meningkatkan aksi terornya, kemiskinan dan korupsi di Afghanistan meningkat.
Amerika Serikat yang menyaksikan kondisi ini, tetap bersikeras manarik diri dari Afghanistan dan menyatakanbahwa tidak ada lagi alasan untuk melanjutkan perang. Padahal di antara motif agresi militer Afghanistan yang diumumkan Washington adalah melawan terorisme, narkotika dan menerapakan keamanan di Kabul dan dari sudut pandang hukum internasional, negara pendudukan memiliki kewajiban. Melihat kepergian Amerika yang tidak bertanggung jawab, Taliban juga melihat diri mereka menang dalam perang psikologis dan mulai menunjukkan kekuatannya di Afghanistan.
Strategi Amerika di Afghanistan sudah pasti dan hanya taktik administrasi Gedung Putih terhadap negara ini yang berubah. Presiden AS Joe Biden selalu menekankan bahwa AS harus mengakhiri perang tanpa akhir, termasuk Afghanistan, dan mengembalikan sebagian besar pasukannya ke rumah dan memfokuskan misi pasukan AS justru pada perang melawan Al-Qaeda dan ISIS. Secara khusus, terkait masalah Afghanistan, Biden selalu mendukung negosiasi dengan Taliban dan tidak menganggap kelompok ini sebagai musuh Amerika Serikat. Dia secara terbuka menyatakan penentangannya terhadap gagasan pembangunan bangsa di Afghanistan; Karena dia percaya bahwa Afghanistan tidak mungkin menjadi negara yang bersatu.
Biden mengumumkan bahwa Amerika Serikat telah mencapai tujuannya di Afghanistan dengan membunuh Osama bin Laden dan menghancurkan Al-Qaeda, namun Amerika Serikat mengklaim tidak menutup mata terhadap ancaman teroris dan akan mengatur ulang kemampuan anti-terorisnya. Menyusul pengumuman tergesa-gesa tentang penarikan penuh pasukan Amerika dan NATO dari Afghanistan, kelompok Taliban melancarkan serangan yang intens dan belum pernah terjadi sebelumnya di negara itu selama bulan-bulan menjelang September 2021.
Nyatanya, serangan-serangan tersebut, yang akhirnya berujung pada jatuhnya pemerintahan dengan pergerakan Taliban menuju Kabul dan kaburnya Ashraf Ghani dalam sejarah (Minggu, 15 Agustus 2021), kembali pada pengumuman yang tidak tepat waktu dan tepat sasaran penarikan pasukan Amerika dari Afghanistan. Biden telah menegaskan bahwa penarikan pasukan Amerika secara resmi akan dimulai pada 1 Mei dan akan selesai 4 bulan kemudian, yaitu hingga 11 September 2021 (bertepatan dengan peringatan 20 tahun insiden teroris 11 September 2001).
Bagaimanapun, sulit untuk secara akurat memprediksi perkembangan masa depan di Afghanistan. Banyak ahli melihat solusi dalam menciptakan pemerintahan moderat dari Taliban di mana semua kelompok etnis dan agama berpartisipasi. Ini berarti bahwa penguasa Taliban akan berperilaku bertanggung jawab sebagai aktor politik aktif di dalam negeri dan di arena internasional. Dalam hal ini, dimungkinkan untuk membentuk pemerintahan terpusat dengan dukungan internasional, yang dapat mengatasi krisis saat ini dengan bantuan komunitas internasional. Namun, sejauh ini masalah ini belum dilaksanakan oleh Taliban, dan partisipasi aktif kelompok etnis lain dalam badan pemerintahan Taliban tidak diperhatikan, dan dalam hal ini, berbagai pandangan tertuju ke masa depan.
Taliban melihat pengakuan internasional sebagai sarana melegitimasi dirinya secara internal untuk menegakkan hukumnya dan memaksa orang untuk mematuhinya. Reputasi Taliban sebagai kelompok "pemikiran gelap" telah menempatkan tanggung jawab yang berat di pundak para pemimpin baru kelompok ini untuk menghilangkan sikap ini dari pikiran mereka. Tapi bagi Taliban, masalah ini hanya memiliki satu solusi sejauh ini, membuat semuanya terlihat baik. Zabihullah Mujahid, juru bicara Taliban, mengatakan dalam hal ini: Permusuhan telah berakhir dan kami ingin hidup damai tanpa musuh internal dan eksternal. Dia mengumumkan bahwa Afghanistan tidak akan menjadi tempat berkembang biak bagi teroris; Seperti tahun 1996 hingga 2001.
Hal ini mengingat aksi teroris dalam beberapa bulan terakhir di Afghanistan, khususnya pengeboman masjid-masjid Syiah dan intensifikasi pergerakan kelompok teroris ISIS di berbagai belahan Afghanistan, menunjukkan bahwa Taliban membutuhkan partisipasi semua kelompok etnis dan kelompok agama untuk membangun keamanan yang komprehensif di negara ini, sehingga dengan persatuan nasional ini, mereka harus menghadapi ancaman teroris.
Pir Mohammad Mollazehi, pakar isu-siu Afghanistan meyakini, sementara para pemimpin Taliban dan pemerintah pusat tidak secara terang-terangan mengikuti praktik keagamaan yang ketat dan mendukung partisipasi perempuan sampai batas tertentu, para pemimpin lokal mengkritisi setiap penyimpangan dari interpretasi mereka tentang Islam, termasuk pakaian dan perilaku warga. Lingkungan seperti itu akan memungkinkan tumbuhnya berbagai kelompok ekstremis dan kekerasan, termasuk kelompok teroris transnasional seperti ISIS dan Al-Qaeda. Banyak dari komandan militer Taliban saat ini tidak memiliki ingatan tentang perang saudara tahun 1990-an, telah bergabung dengan apa yang disebut gerakan jihadis global dan berhasil menciptakan mekanisme pembiayaan lokal yang kuat, mengenakan pajak hampir apa saja dan haus akan kekuasaan. Tidak mungkin para komandan ini akan menerima kekuasaan parsial dan simbolis. Juga tidak jelas sejauh mana para komandan ini bersedia berkompromi pada masalah sosial di tingkat nasional dan membuat perubahan mendasar dalam manajemen ketat para pemimpin Taliban di tingkat lokal karena tekanan masyarakat.
Tapi ada masalah penting dan itu adalah prospek kembalinya Amerika ke Afghanistan setelah meninggalkan negara ini. Amerika masih memiliki pendapat tentang Afghanistan dengan sumber daya mineral dan bawah tanahnya yang unik dan belum tersentuh serta situasi strategisnya di Asia Barat. Tidak realistis untuk berpikir bahwa Amerika telah meninggalkan wilayah tersebut dan Afghanistan. Nampaknya mereka belum keluar daerah dan hanya berperan di sana-sini, meski ternyata mereka sudah menarik mundur pasukannya. Ahli strategi Amerika percaya bahwa jika Amerika meninggalkan Afghanistan sepenuhnya, itu akan meninggalkan negara ini di tangan para pesaingnya seperti Cina, Iran dan Rusia. Mempertimbangkan perkembangan di Pakistan dan intensifikasi aktivitas teroris ISIS, tampaknya Amerika masih mengelola semacam kekacauan untuk kembali kapan pun dibutuhkan, jika tidak, mereka tidak akan meninggalkan Afghanistan.
Sejatinya AS dengan memanfaatkan pendekatan "kerusuhan terorganisir", tetap mempertahankan Afghanistan dalam kondisi tidak aman. Selain itu, Amerika mengejar ambisi lainnnya melalui kerusuhan ini termasuk merusak Iran, Rusia dan Cina. Selain itu, harus diperhatikan bahwa sejarah kesepakatan keamanan Kabul-Washington akan berakhir tahun 2024, dan kemungkinan besar masalah perjanjian keamanan Kabul di masa depan akan dicakup oleh pemahaman rahasia dalam perjanjian Doha antara Amerika Serikat dan Taliban adalah masalah masa depan kesepakatan keamanan Kabul-Washington.