Jan 01, 2023 19:09 Asia/Jakarta
  • Kehadiran AS di Afghanistan dan maraknya terorisme
    Kehadiran AS di Afghanistan dan maraknya terorisme

Dengan dalih memerangi terorisme, Amerika Serikat menduduki Afghanistan selama 20. Lantas saja dampak dari pendudukan ini menurut lembaga think tank Barat ?

Amerika Serikat pernah mengklaim datang ke Afghanistan untuk memberikan keamanan dan mengakhiri terorisme, tetapi setelah hampir dua dekade berlalu sejak itu (2001), Organisasi Perdamaian Dunia pada tahun 2019 menyebut Afghanistan sebagai negara paling tidak aman di dunia setelah Suriah. Perang 20 tahun Amerika di Afghanistan tidak membawa apapun selain ketidakamanan dan bencana kemanusiaan ke Afghanistan. Pada tahun 2020, lebih dari beberapa puluh ribu orang tak berdosa telah terbunuh dalam perang Amerika di Afghanistan.

Perang 20 AS di Afghanistan hanya picu tragedi kemanusiaan 

Dalam dua dekade perang Amerika di Afghanistan, lebih dari 11 juta warga Afghanistan terpaksa meninggalkan rumah mereka. Pasca Perang Dingin, Amerika telah membuat kawasan ini tidak aman kemanapun ia melangkah. Rantai gangguan di Afghanistan berbentuk seperti Amerika yang memimpinnya. Karena negara ini memulai perang di Afghanistan yang tidak ada habisnya. Sejak awal, sudah jelas bahwa perang Amerika di Afghanistan tidak akan menghasilkan apa-apa selain menambah masalah Afghanistan.

Masyarakat tradisional Afghanistan tidak menghendaki demokrasi yang diklaim Barat. Pengabaian terhadap tradisi dan keyakinan agama warga Afghanistan oleh Amerika Serikat merupakan alasan kegagalan negara ini di Afghanistan. Rencana dan program yang dibawa Amerika ke Afghanistan, juga tidak selaras dengan struktur sosial Afghanistan. Ini semua menjadi faktor penentangan rakyat Afghanistan terhadap Amerika.

Selain itu, kegagalan strategis Amerika di Afghanistan, kehadiran militer Amerika selama 20 tahun di Afghanistan, pembantaian terhadap warga sipil semakin mempercepat kegagalan Amerika Serikat. Perang paling panjang Amerika telah mengubah Afghanistan menjadi salah satu negara paling terbelakang di dunia, di mana saat ini tidak ada satu pun sektor di Afghanistan yang mencapai swasembada.

Hingga tahun 2020, ekonomi Afghanistan bergantung pada bantuan negara-negara asing, dan 60 persen bujet tahunan Afghanistan dijamin oleh negara donatur. Kemiskinan dan pengangguran juga mencapai puncaknya di Afghanistan. Data tahun 2019 menunjukkan bahwa angka pengangguran di negara ini mencapai 40 persen, tapi selama dua tahun terakhir angka pengangguran meningkat drastis.

Majalah Amerika, Foreign affairs dalam sebuah artikel yang ditulis oleh James Dobbins, utusan AS untuk Afghanistan dan penasihat urusan internasional pada pemerintahan George W. Bush, menyatakan bahwa Amerika Serikat memulai intervensi militernya di Afghanistan dengan tujuan memerangi terorisme. Invasi ke Afghanistan dan penggulingan Taliban dilakukan tanpa masalah dan menghasilkan kemenangan yang cepat dan murah. Tetapi ketika ancaman langsung dari al-Qaeda menghilang, Amerika, seperti kekuatan intervensionis lainnya, dihadapkan pada dua jalan; Pilihan harus dibuat antara pendudukan permanen, atau berkomitmen pada rezim penerus dengan kompetensi minimal. George W. Bush memilih opsi kedua, tetapi gagal untuk memahami skala penuh dari tantangan yang dia hadapi, dan benih kekalahan Washington dan penghancuran seluruh infrastruktur Afghanistan ditaburkan pada tahun 2002.

Krisis Pengungsi di Afghanistan

Wang Feng, anggota akademi ilmu sosial Cina meyakini bahwa Amerika Serikat dengan slogan menjamin keamanan dan mengakhiri konfrontasi, datang ke Afghanistan, tapi kini bukan saja keamanan Afghanistan tidak terjamin, bahkan bentrokan di negara ini meningkat drastis. Selain itu, Amerika datang ke Afghanistan dengan tujuan menghapus terorisme, tapi tujuan Washington ini juga tidak terealisasi dan saat ini keberadaan kelompok teroris regional dan trans-regional yang bercokol di Afghanistan seperti al-Qaeda dan Daesh (ISIS) semakin banyak.

Vali Reza Nasr, anggota senior Brookings institution meyakini bahwa perang di Afghanistan tidak membawa kemenangan bagi Amerika. Perang ini setidaknya bukan suatu kemenangan bagi Amerika mengingat tentara yang dikerahkan dan dana yang dibelanjakan. Amerika khususnya di masa Presiden Donald Trump meyakini bahwa bahkan jika investasi finansial dan militernya di Afghanistan dinaikkan tiga kali lipat, tetap tidak ada jaminan bagi kemenangan, dan Washington sekali lagi akan mencapai titik di mana ia harus menggandakan atau melipatgandakan apa yang telah diinvestasikan untuk kesekian kalinya. Padahal, hasil dari bersikeras meraih kemenangan di Afganistan hanyalah perluasan pijakan militer dan keuangan Amerika di Afganistan. Jadi Amerika mencapai suatu titik (seperti yang terjadi di Vietnam) di mana ia harus mengambil keputusan; Keputusan dalam hal ini bahwa dia tidak lagi ingin menginvestasikan lebih banyak modal dan biaya dan harus mengakhiri situasi ini.

Ryan Crocker, anggota senior dari Carnegie Endowment for International Peace, percaya bahwa pembicaraan antara AS dan Taliban bukan hanya pembicaraan yang berpusat pada perdamaian, tetapi tentang "penyerahan Amerika, bukan perdamaian". Amerika Serikat meninggalkan Afghanistan dalam situasi di mana Taliban, percaya pada kekalahan Amerika kafir di medan perang, dam  mengambil alih negara itu lagi serta memberi dorongan kepada sekutu dan anggota al-Qaeda.

Judy Dempsey, pemimpin redaksi Strategic Europe, percaya bahwa pengambilalihan cepat Afghanistan oleh Taliban membuat ejekan terhadap kebijakan keamanan dan pertahanan Uni Eropa. Mengacu pada krisis pengungsi di Afghanistan, dia menekankan bahwa dominasi Taliban mengungkapkan kebenaran yang menyakitkan dan itu; Kegagalan Eropa dan Amerika dalam membangun keamanan dan mengekspor nilai-nilai demokrasi dan kemanusiaan.

Aaron David Miller, anggota senior lain dari Carnegie Institute for International Peace, yang berfokus pada kebijakan luar negeri AS, percaya bahwa meskipun Bush, Obama, dan Trump paling bertanggung jawab atas kekacauan di Afghanistan, namun penarikan AS dari Afghanistan selama era Biden telah merusak citra Amerika Serikat sebagai pembela nilai-nilai demokrasi, terutama citra warga Afghanistan yang jatuh dari roda pesawat Amerika dan kehilangan nyawa.

Stephen Wertheim, salah satu anggota senior dari Carnegie Institute for International Peace, percaya bahwa Amerika Serikat memulai perang yang tidak perlu di Afghanistan dengan tujuan yang tidak dapat dicapai. Tujuan yang diumumkan Amerika adalah membentuk sebuah pemerintahan model Barat dan terpusat, tapi pada akhirnya gagal. AS mengkhianati warga Afghanistan, terutama perempuan dan anak perempuan, karena menjanjikan masa depan tanpa Taliban, tetapi tidak pernah terealisasi.

Jason Campbell, seorang peneliti keamanan internasional di RAND Cooperation Institute, percaya bahwa Afghanistan, di mana Taliban adalah aktor politik yang dominan, akan menjadi lingkungan yang sangat menguntungkan bagi al-Qaeda dan kelompok-kelompok yang berpikiran sama. Selain itu, kesepakatan antara AS dan Taliban membuat kelompok ini percaya bahwa mereka benar selama 20 tahun berjuang. Setelah menandatangani perjanjian dengan AS, Taliban tidak mengungkapkan visi untuk Afghanistan yang stabil dan inklusif, dan tidak menunjukkan keinginan untuk terlibat dalam diskusi serius dengan pemain Afghanistan lainnya. Campbell percaya bahwa Amerika Serikat telah gagal di Afghanistan, tetapi Cina, Rusia, dan Iran dapat menggunakan masalah ini untuk keuntungan mereka.

Berkuasanya kembali Taliban di Afghanistan

Menurut Lembaga Rand, fakta pahit di Afghanistan adalah Amerika Serikat tidak dapat mengalahkan Taliban, tidak mampu menciptakan demokrasi di negara-negara yang ia banyak menumpahkan darah dan uang di negara tersebut. Kegagalan dan bahkan tidak mampu meninggalkan Afghanistan dengan kondisi yagn layak dan terhormat. Mitch McConnell, pemimpin kubu minoritas di Senat Amerika meyakini bahwa metode Amerika keluar dari Afghanistan sebagai keputusan kebijakan luar negeri terburuk di sejarah Amerika, dan lebih buruk dari Saigon, ibu kota Vietnam Selatan saat itu. Sangat jelas bahwa Trump telah memutuskan untuk menjatuhkan pemerintah Afghanistan dan berdamai dengan orang-orang yang telah dia lawan 20 tahun lalu. Perdamaian yang menyebabkan kembalinya Taliban ke tampuk kekuasaan.