Pesona Iran yang Mendunia (100)
Ṣadr ad-Dīn Muḥammad Shīrāzī yang lebih dikenal dengan sebutan Mulla Sadra dilahirkan pada 9 Jumadil awal 980 Hq atau 1571 M di kota Shiraz. Posisi keluarganya yang terpandang di provinsi Fars menyebabkan Sadr Ad-Din sejak kecil mendapatkan pendidikan terbaik dari para guru yang didatangkan khusus oleh orangtuanya.
Perjalanan ke berbagai kota, termasuk kepindahannya dari Fars ke Qazvin kemudian Isfahan serta kota lainnya menjadikan Sadr Ad-Din berinteraksi dengan banyak ulama dan pemikir terkemuka di zamannya.
Kecintaannya terhadap ilmu pengetahuan menyebabkan sebagian besar perjalanan hidup ilmuwan besar Muslim Iran ini demi pengembangan ilmu pengetahuan. Berbagai karyanya, terutama di bidang filsafat sampai saat ini masih menjadi rujukan penting. Magnum opusnya, Hikmah Al Muta'aliyah fi-l-Asfar al-'Aqliyyah al-Arba'ah menjadi perhatian para pengkaji filsafat Islam hingga kini.
Pemikiran filsafatnya tertuang dalam kitab Hikmah Mutaaliyah yang disusun dengan cara yang cukup unik. Sadra tidak mengikuti lazimnya penulisan buku filsafat tradisional yang dibangun dari logika, fisika, dan metafisika. Tapi Sadra menulisnya dengan menggunakan metafora mistis perjalanan jiwa yang dikenal dengan empat perjalanan.
Sadra memulai dengan perjalanan pertama, As-Safar min al-Khalq ila al-Haq atau perjalanan dari dunia ini menuju Al Haq. Di bagian ini dijelaskan mengenai prinsip-prinsip intelektual untuk memahami filsafat, seperti definisi dasar filsafat dan metafisika. Dalam perjalanan ini, pencari bergerak jauh dari multiplisitas dan tipuan fenomena menuju kesatuan dan kesadaran akan sifat dasar dari realitas.
Perjalanan kedua, As-Safar bi al-Haq fî al-Haq atau perjalanan dengan Al-Haq dalam Al-Haq. Perjalanan ini merupakan diskursus tentang ketuhanan, sifat-sifat dan juga pembuktian argumentatif mengenai keberadaan Allah.
Perjalanan ketiga, As-Safar min al-Haq ilâ al-Khalq bi al-Haq atau perjalanan dari al-Haq menuju al-khalq dengan al-Haq yang menjelaskan perjalanan dari Tuhan menuju dunia. Dalam tahap ini, pelaku perjalanan membahas perbuatan-perbuatan Tuhan. Ia juga disebut dengan ‘Penampakan Ilahi (Tuhan) dalam segala sesuatu yang dipandangnya. Inilah fase pembahasan aksi-aksi Tuhan. Perjalanan ini menjelaskan hubungan antara Allah dengan dunia alam, waktu dan penciptaan, serta seluruh kategori ontologis di dunia ini.
Perjalanan keempat, As-Safar bi al-Haq fî al-Khalq atau ‘perjalanan dalam al-khalq dengan al-Haq’. Pada tahap ini pelaku perjalanan membahas jiwa dan Hari kebangkitan. Kalangan sufi memandang masing-masing dari empat perjalanan tersebut sebagai tingkatan tauhid dari yang paling umum hingga khusus.
Pemikiran filsafat Mulla Sadra dipengaruhi oleh gagasan para pemikir sebelumnya, terutama Ibnu Sina, Suhrawardi, dan Ibnu Arabi juga pemikir Yunani. Tidak hanya melakukan sintesis pemikiran filsafat, Sadra juga mengadopsi sufisme, terutama Irfan Ibnu Arabi an kalam Nasiruddin Tusi. Lebih dari itu, Sadra berhasil mendirikan sebuah mazhab filsafat baru bernama "Hikmah Mutaliyah" yang dipandang oleh sebagian sarjana sebagai puncak dari filsafat Islam yang berpijak pada eksistensialisme.
Pemikiran filsafat eksistensialis Mulla Sadra berpijak dari gagasannya tentang wujud yang dibangun dari empat prinsip dasar. Prinsip pertama dari eksistensialisme Mulla Sadra menekankan adanya wahdat al-wujud atau kesatuan wujud, karena realitas yang plural pada dasarnya berasal dari Yang Esa.
Prinsip kedua, ashâlat al-wujûd, atau kemendasaran wujud daripada mâhîyah atau kuiditas. Menurut Sadra, kuiditas hanyalah abstraksi pikiran, sedangkan wujud adalah sesuatu yang melandasi keberadaan maujud, seluruh yang ada.
Prinsip ketiga, tashkik al-wujud atau gradasi wujud yang menjelaskan tentang bentangan realitas wujud yang bergradasi antara satu dengan yang lain bisa menjadi berbeda-beda sesuai level gradasinya masing-masing. Ketiga prinsip tesebut membedakan pemikiran eksistensialisme Mulla sadra dengan pemikir lainnya.
Salah satu corak pemikiran filsafat Sadra mengenai keyakinannya terhadap harmonisasi wahyu dan akal. Dalam kitab Asfar Arbaah (1981,8:303) sadra menulis, "Mustahil hukum-hukum syariat yang hak dan suci berbenturan dengan pengetahuan yang swabukti; dan celakakah aliran filsafat yang prinsip-prinsipnya tidak selaras dengan al-Quran dan Sunnah,".
Oleh karena itu, meskipun Sadra sangat menonjol dalam pemikiran filsafatnya tapi nuansa Qurani berperan penting dalam membentuk pemikirannya. Sadra menulis sejumlah karya tafsir Al-Quran yang dikumpulkan oleh Mohammad Khajavi menjadi tujuh jilid yang dinamakan "Tafsir al-Quran al-Karim"
Penulisan tafsir ini tidak dilakukan secara berurutan, karena Sadra mengawali karya tafsirnya dengan tafsir ayat Kursi yang ditulis tahun 1613 dan ayat al-Nur di tahun 1621. Ia juga memberikan penafsiran terhadap ayat 88 surat al-Naml. Kemudian Sadra melanjutkan dengan menggarap surat Yasin, Al-Hadid, al-Sajadah, al-Waqiah, al-A'la, Al-Thariq, al Jumu'ah dan Al-Zilzal. Tafsir terakhir yang ditulisnya surat Al-Fatihah dan beberapa ayat surat al-Baqarah. Sadra tidak berhasil menyelesaikan seluruh ayat di surat Al-Baqarah karena ajal menjemputnya.
Sadra juga menulis karya yang bertujuan untuk mengenalkan pembaca karyanya dengan tafsir filosofisnya berjudul "Mafatih al-Ghayb" yang ditulis sekitar tahun 1632.
Buku ini ditulis setelah Sadra menyelesaikan tafsir ayat kursi dan ayat al-Nur. Mafatih al-Ghayb membahas berbagai tema penting dalam al-Quran, terutama nilai-nilai etika, spiritualitas dan metafisika. Karya sadra lainnya berjudul Asrar Al-Ayat wa Anwar al-bayyinat yang ditulis setelah kitab Mafatih Al-Ghayb.
Mulla Sadra wafat di kota Basarah di tahun 1050 Hq (1640 M) dalam usia 71 ketika menempuh perjalanan menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji. Filsuf besar Muslim ini dimakamkan di kompleks pemakaman ulama sekitar makam Sayidina Ali bin Abu Thalib di kota Najaf.(PH)