Aug 01, 2019 12:06 Asia/Jakarta
  • Prakarsa Licik Kesepakatan Abad (4)

Amerika Serikat dan lobi-lobi Zionis tampaknya mencetuskan prakarsa Kesepakatan Abad dengan memperhatikan tiga aspek yaitu: politik, geografi, dan ekonomi.

Dari segi politik, para perancang Kesepakatan Abad mempertimbangkan perkembangan situasi di tingkat internal Palestina, regional, dan dunia internasional. Mereka berkesimpulan bahwa transformasi politik telah menciptakan landasan yang tepat untuk melaksanakan rencana kompromi versi Gedung Putih di bumi Palestina.

Di tingkat Palestina, pemerintah AS – dalam mendorong kesuksesan Kesepakatan Abad – menaruh perhatian khusus pada masalah perselisihan internal faksi-faksi Palestina, terutama konflik pemerintah Otorita Ramallah dengan kubu perlawanan.

Perselisihan internal Palestina seperti Fatah dan Hamas di ranah pemikiran dan garis perjuangan sudah ada sejak dulu. Konflik ini dimanfaatkan oleh musuh-musuh Palestina untuk mencapai kepentingan mereka. Gerakan Fatah sejak awal berusaha untuk mengembalikan hak-hak rakyat Palestina lewat kompromi politik dengan rezim Zionis Israel.

Di Palestina, basis sosial Gerakan Fatah mulai goyah karena sikap kompromi mereka dengan musuh dan perubahan haluan pemikiran dari sebagian petinggi kelompok ini. Oleh sebab itu, Gerakan Hamas mampu memenangkan pemilu legislatif Palestina pada 2007 dan membentuk pemerintah.

Tampilnya Hamas di kancah politik Palestina membuat rezim Zionis dan para pendukung Fatah tidak nyaman. Hal ini memperuncing perseteruan antara Fatah dan Hamas terkait identitas pemerintah yang telah dibentuk di bawah kepemimpinan Ismail Haniyeh.

Perseteruan Fatah-Hamas sedikit mereda setelah kedua pihak menandatangani pakta pembentukan pemerintah persatuan nasional Palestina, tetapi setelah Hamas merebut pusat-pusat dinas keamanan Fatah – karena khawatir aksi kudeta Fatah terhadap pemerintahan Hainyeh – hubungan kedua kelompok ini bertambah buruk.

Akibatnya, Gerakan Fatah memindahkan markasnya ke Tepi Barat dan membentuk pemerintahan sendiri serta menolak mengakui pemerintahan Haniyeh.

Perselisihan Fatah-Hamas sekarang telah menjadi instrumen untuk merampas sumber daya Palestina dan mengalihkan perhatian publik Dunia Islam dari masalah Palestina serta membuka ruang bagi Israel untuk memperluas pendudukan.

Dalam upaya mengimplementasikan Kesepakatan Abad, AS dan rezim Zionis berusaha mengobarkan perselisihan masa lalu antara Fatah dan Hamas. Mereka mengira faksi-faksi Palestina tidak akan bersikap solid terhadap prakarsa licik tersebut.

Ilustrasi persatuan antara Gerakan Fatah dan Hamas.

Di samping itu, para petinggi Hamas juga berselisih paham mengenai krisis Suriah; antara mendukung pemerintah Damaskus atau ikut memeranginya. Konflik politik internal ini dimanfaatkan oleh negara-negara reaksioner Arab di Teluk Persia, Mesir, dan Yordania untuk menanamkan pengaruh mereka dan menyiapkan kondisi untuk menyambut pengumuman Kesepakatan Abad.

Selain kisruh internal Palestina, Washington dan Tel Aviv yakin bahwa perkembangan regional Asia Barat akan memuluskan jalan mereka untuk menerapkan Kesepakatan Abad. Di antara perkembangan ini adalah pergolakan yang terjadi di Riyadh.

Perebutan kekuasaan di Arab Saudi – meski memiliki akar sejarah yang panjang – memasuki babak baru dan berbahaya dengan aksi-aksi kontroversial Mohammed bin Salman (MBS) dan penahanan sejumlah pangeran dan penentang rezim Al Saud. Kisruh politik di kerajaan dan ambisi MBS untuk berkuasa ikut berdampak pada masalah Palestina.

MBS – sebagai putra mahkota dan menteri pertahanan Saudi – berusaha menduduki takhta dengan menarik dukungan dari Washington dan Tel Aviv. Demi kekuasaan, ia tidak hanya mendukung kebijakan Israel di kawasan, tetapi bersedia menjadi alat bagi para pemimpin Zionis untuk mencapai mimpi mereka yaitu menguasai Palestina secara penuh.

Arab Saudi berada di garis depan dalam mengkhianati cita-cita Palestina, di antara negara-negara reaksioner Arab yang mendukung Kesepakatan Abad. Rezim Saudi mengkhawatirkan meningkatnya pengaruh Iran di Asia Barat dan secara khusus di Palestina. Oleh karena itu, Riyadh mendukung kompromi Palestina-Israel melalui Kesepakatan Abad yang diprakarsai oleh Presiden Donald Trump ini.

Perebutan kekuasaan di Saudi dan kebutuhan MBS akan dukungan Amerika-Israel, telah membuat Al Salman tidak hanya mendukung prakarsa Kesepakatan Abad, tetapi juga mempersiapkan kondisi bagi pelaksanaannya.

Pada 29 Mei 2019, Imam Masjid al-Aqsa, Syeikh Akram Sabri menyebut putra mahkota Saudi tidak mengerti fakta-fakta masalah Palestina. Soal dukungan Riyadh untuk Kesepakatan Abad, ia mengatakan, “Sebelum ini semua hal dilakukan di bawah meja dan sekarang semuanya ada di atas meja. Beberapa negara diam-diam bekerja sama dengan Israel, namun interaksi ini sekarang dilakukan secara terbuka. Beberapa pemimpin Arab mengeluarkan komentar seperti hak orang-orang Yahudi untuk hidup dan ketertindasan mereka. Orang-orang yang membuat komentar ini tidak mengerti fakta-fakta dari masalah Palestina.”

Dalam beberapa tahun terakhir, Arab Saudi, Bahrain, dan Uni Emirat Arab terlibat dalam perang yang dilancarkan AS dan rezim Zionis terhadap kaum Muslim. Dalam perspektif Barat dan sekutunya di Arab, Kesepakatan Abad akan terlaksana jika sudah tidak ada lagi isu Palestina dan Quds, yang selalu menjadi alasan untuk aksi-aksi perlawanan.

Di tingkat internasional, para pendukung Kesepakatan Abad mengira bahwa dengan kemenangan kubu sayap kanan di Eropa dan beralihnya fokus publik dunia dari kejahatan Israel ke kejahatan teroris Daesh, telah menciptakan iklim yang tepat untuk mengimplementasikan Kesepakatan Abad.

Namun, perkembangan regional justru berjalan di luar prediksi negara-negara Barat dan Arab pro-kompromi. Semua faksi Palestina solid menentang kesepakatan tersebut. Otorita Ramallah bersama Hamas dan Jihad Islam, menyatakan penentangan mereka terhadap prakarsa AS, Kesepakatan Abad.

Penasihat Mahmoud Abbas untuk Urusan Internasional, Nabil Shaath mengatakan, “Kesepakatan Abad hanyalah sebuah kebohongan dan penipuan oleh Presiden AS untuk menghapus cita-cita Palestina. Sebenarnya tidak ada yang namanya Kesepakatan Abad, ini adalah sebuah prakarsa Amerika-Zionis yang memberi lampu hijau kepada rezim pendudukan untuk menyempurnakan kejahatan rutinnya.”

“Semua langkah yang diambil Trump membuktikan bahwa kesepakatan ini tidak lain adalah konspirasi untuk mengakhiri perjuangan Palestina," ungkapnya.

Selain penolakan internal Palestina, kemenangan kubu perlawanan terhadap terorisme takfiri di Irak dan Suriah serta kekalahan poros Arab di Yaman, semakin mempersempit ruang untuk mengimplementasikan Kesepakatan Abad.

Kemenangan poros perlawanan – yang saat ini terdiri dari Iran, Suriah, Irak, Lebanon, Yaman, serta kelompok perlawanan di Bahrain dan Palestina – telah menggagalkan pelaksanaan Kesepakatan Abad, memperkuat resistensi Palestina, membuat Israel kalah dalam perang di Gaza, dan mengakhiri denyut nadi teroris Daesh di Irak dan Suriah.

Seorang pengamat isu Palestina asal Iran, Mohammad Abdollahi menuturkan, “Kesepakatan Abad benar-benar telah gagal. Kesepakatan ini sama sekali tidak disetujui oleh faksi-faksi dan rakyat Palestina bahkan secara lisan pun. Bahkan pemerintah Otorita Ramallah dan Mahmoud Abbas dengan uang suap 10 miliar dolar dari Mohammed bin Salman, juga tidak bersedia menerima Kesepakatan Abad dan mengatakan kesepakatan ini akan pergi ke neraka.”

Sementara itu, seorang analis Israel, Tsivi Bareil dalam sebuah artikel di surat kabar Haaretz menulis, “Prakarsa perdamaian AS untuk Palestina merupakan sebuah usulan transaksi keuangan dengan membiarkan aksi pendudukan. Rakyat Palestina tidak akan pernah menjual cita-citanya dengan imbalan milyaran dolar (Konferensi Bahrain).” (RM)

Tags