Islamophobia di Barat (48)
Senat Prancis dalam sebuah laporan tentang ancaman terorisme, menyatakan keprihatinan atas penyebaran Salafisme. Laporan ini merekomendasikan mobilisasi lembaga-lembaga pemerintah dan menyiapkan kerangka hukum untuk melawan Salafisme secara efektif di Prancis.
Komite Investigasi Senat memeriksa kesiapan badan-badan pemerintah untuk melawan ancaman baru terorisme pasca bubarnya kelompok teroris Daesh. Komite menyetujui penguatan beberapa badan pemerintah dan memperkirakan bahwa badan-badan tersebut tidak cukup untuk melawan ancaman baru terorisme.
Komite Investigasi Senat menyesalkan bahwa tidak adanya keberanian pemerintah telah menyebabkan suburnya paham Salafisme di masyarakat Prancis. Pengawasan lembaga keamanan terhadap orang-orang yang berafiliasi dengan kelompok Salafi, tidak mampu mencegah tindakan terorisme yang melibatkan mereka.
Masyarakat Muslim tercatat sebagai komunitas agama terbesar kedua di Prancis dengan jumlah sekitar 5 juta orang dan memiliki 2.500 masjid dan tempat ibadah. Sejak pertengahan dekade 1990-an, masyarakat Muslim Prancis menghadapi berbagai pembatasan dalam menjalankan agamanya termasuk larangan penggunaan jilbab bagi pelajar Muslimah di sekolah.
Dengan maraknya aksi teror di Prancis dalam beberapa tahun terakhir, masyarakat Muslim di negara itu selalu dikaitkan dengan setiap aksi terorisme. Setiap serangan teror di Prancis selalu diikuti dengan gelombang kekerasan dan tuduhan miring terhadap warga Muslim di media-media Prancis.
Padahal, tindakan keji itu dilakukan sekelompok kecil orang yang mengaku dirinya Muslim, tapi keliru dalam menafsirkan ajaran Islam. Namun, pemerintah Prancis dan Barat selalu menggunakan diksi terorisme Islam. Jika serangan terorisme dilakukan seorang Yahudi, Kristen, atau Budha, mereka tidak akan mencapnya sebagai terorisme Yahudi atau terorisme Kristen dan atau terorisme Budha. Padahal, tindakan terorisme yang dilakukan orang Yahudi, Kristen, Budha, atau Hindu, tidak sedikit kasusnya di dunia.
Tiada hari bagi orang Zionis – yang menyebut dirinya Yahudi – tanpa menumpahkan darah warga Palestina. Di Amerika, setiap hari ada laporan tentang kejahatan yang dilakukan oleh orang yang menyebut dirinya sebagai Kristen. Di Myanmar, warga Muslim Rohingya disiksa dan dibunuh dengan cara yang paling keji oleh orang-orang Budha. Di Kashmir, banyak Muslim meninggal dunia di tangan warga Hindu.
Kejahatan tersebut tidak pernah dianggap sebagai terorisme Yahudi atau Kristen, Budha, dan Hindu. Tapi jika ada orang yang mengaku dirinya Muslim dan melakukan tindakan terorisme, aksi ini langsung dikaitkan dengan Islam dan melabelinya sebagai terorisme Islam.
Tidak ada kata lain untuk menyebut pendekatan Barat ini kecuali upaya menyebarkan Islamophobia dan sentimen anti-Islam serta tindakan untuk membatasi warga Muslim menjalani ajaran agamanya.
Padahal menurut prinsip-prinsip liberalisme, setiap manusia bebas dalam memilih dan mempraktikkan keyakinannya. Namun, pemerintah Barat mencitrakan Islam sebagai ancaman sehingga memiliki alasan untuk mengekang warga Muslim menjalani hidup berdasarkan prinsip kebebasan yang diyakini Barat.
Mengenai kegiatan kelompok Salafi termasuk aksi terornya, perlu dicatat bahwa gerakan Salafi-Wahabi merupakan buah dari kebijakan pemerintah Prancis dan beberapa negara Barat di Eropa serta beberapa negara Muslim di wilayah Asia Barat.
Interpretasi keliru terhadap ajaran Islam selalu ditemukan di sepanjang sejarah Islam, tapi gerakan ini tidak pernah menemukan kesempatan seperti sekarang ini di mana mampu menyulut perang dan merusak keamanan beberapa negara Muslim di kawasan. Mereka bahkan memperluas tindakan terorismenya sampai ke wilayah Eropa.
Lembaga-lembaga penelitian, pakar politik, dan media di Barat percaya bahwa Al Qaeda dan Taliban di Afghanistan serta Daesh di Irak dan Suriah, terbentuk dan memperoleh kekuatan karena kebijakan Amerika Serikat dan beberapa negara Barat.
Pemerintah Barat – demi memajukan agendanya – memicu krisis di negara-negara Muslim dengan memberikan dukungan politik, finansial, dan militer kepada kelompok Salafi-Wahabi yang beroperasi di negara-negara Muslim. Sumber pemikiran dan pendanaan utama kelompok ini berasal dari para penguasa Wahabi di Arab Saudi.
Arab Saudi adalah sekutu dekat Prancis dan Amerika serta negara-negara Eropa, yang mengaku memperjuangkan tegaknya demokrasi dan memerangi terorisme. Paris memberikan dukungan kepada Riyadh dalam menyulut perang di Suriah dan Irak.
Pemerintah Paris membiarkan ribuan pemuda Muslim Prancis berangkat ke Suriah dan Irak untuk bertempur. Mereka merupakan orang-orang yang belajar di masjid-masjid dan lembaga-lembaga yang berada di bawah asuhan ulama Wahabi di Prancis dan negara-negara lain Eropa.
Sepertiga anggota Daesh di Suriah adalah warga negara Eropa, termasuk Prancis. Jadi mustahil sejumlah besar warga Eropa ini bisa pergi ke Irak dan Suriah tanpa sepengetahuan lembaga keamanan dan intelijen mereka.
Kekhawatiran Senat Prancis mengenai aktivitas gerakan Salafi di negara itu juga mengacu pada warga negara Eropa yang pernah pergi ke Irak dan Suriah. Senat Prancis menyatakan keprihatinan atas keberadaan orang-orang yang mereka sebut Salafi, tetapi para senator sama sekali tidak berbicara tentang pentingnya meninjau ulang hubungan Prancis dengan Saudi, negara yang menjadi sumber ekstremisme di kawasan.
Saat ini pemerintah Paris dengan menjual senjatanya kepada Riyadh, sejatinya telah terlibat langsung dalam pembantaian rakyat Yaman, yang dilakukan oleh militer Saudi dan Uni Emirat Arab.
Padahal, 75 persen orang Prancis dalam jajak pendapat yang dilakukan oleh lembaga YouGov, mendesak pemerintah untuk menghentikan ekspor senjata ke negara-negara agresor Yaman termasuk Arab Saudi. 69 persen responden menyerukan peran yang lebih besar parlemen Prancis dalam mengontrol penjualan senjata ke luar negeri.
Tuntutan itu mendorong para legislator Prancis dan bahkan Sebastien Nadot – sekutu presiden Prancis – membuka penyelidikan tentang legalitas penjualan senjata ke Saudi Cs yang terlibat dalam perang Yaman.
Senat Prancis jika benar-benar prihatin dengan ancaman teroris Salafi di Prancis, maka pertama-tama mereka harus meninjau ulang hubungan negara itu dengan Saudi dan menghentikan penjualan senjata ke Riyadh. Namun, kecil kemungkinan para senator Prancis akan mengambil langkah semacam ini.
Prancis dan pemerintah Eropa lainnya mengadopsi kebijakan standar ganda dalam memerangi terorisme, dan selama ada standar ganda, maka ancaman terorisme akan tetap ada. (RM)