Mengenal Para Ulama Besar Syiah (20)
Sebelum ini, kami telah memperkenalkan Khajeh Nashiruddin Thusi, salah satu ulama besar abad ketujuh Hijriyah. Sosok jenius ini adalah salah satu tokoh yang paling bersinar di dunia Islam di berbagai bidang seperti, teologi Syiah, filsafat, irfan, matematika dan astronomi.
Prestasi dan karya ilmiah Khajeh Thusi diajarkan di lembaga akademisi Barat dan Timur selama berabad-abad setelah kepergiannya. Ia dilahirkan di kota Thus, wilayah Khorasan Iran dan selama hidupnya telah melakukan banyak perjalanan ilmiah ke kota Rey, Qum, dan Irak, serta menduduki posisi yang tinggi di pusat-pusat akademis terpenting di dunia Islam.
Di antara mahakaryanya adalah kitab Syarah Isyarat Ibn Sina, Akhlak Nashiri, dan Tajrid al-‘Itikad, yang masing-masing ditulis di bidang filsafat, etika, dan teologi Syiah. Karya-karya ini masih menjadi rujukan para ulama dan peneliti sampai sekarang.
Terlepas dari peran besar Khajeh Nashiruddin Thusi di dunia sains dan pemikiran pada abad ketujuh Hijriyah, ulama besar Syiah ini juga memiliki kontribusi di ranah politik dalam melestarikan kehidupan umat Islam selama pendudukan Mongol.
Sejak pasukan Mongol menginvasi Iran yang dimulai dari Khorasan kemudian dalam tempo 40 tahun bergerak ke Baghdad dan pusat Kekhalifahan Abbasiyah, mereka telah melakukan pembantaian dan penghancuran setiap daerah yang dilewatinya. Tidak ada kekuatan yang berani menghalangi mereka, Dinasti Khwarazmian dan bahkan pemerintahan Ismailiyah mampu ditaklukkan di benteng-benteng kokoh yang telah membendung serangan Dinasti Seljuk selama lebih dari 200 tahun.
Dalam situasi seperti itu, semua warisan peradaban Islam akan dimusnahkan dan tidak ada lagi nama Islam atau Syiah yang tersisa di Iran dan Irak. Namun kehadiran ulama besar Syiah, Khajeh Nashiruddin Thusi telah menjadi mercusuar harapan bagi umat Islam.
Dengan meneladani kepemimpinan para imam maksum Syiah, Khajeh Thusi – dengan ilmu dan kepemimpinannya – telah melindungi kaum Muslim dan warisan peradaban Islam. Saat di puncak keputusasaan, dia menghembuskan kehidupan baru ke dalam tubuh umat Islam yang sedang sekarat, terutama Syiah.
Taktik Khajeh Thusi ini tidak hanya dipakai di awal invasi Mongol, tetapi ia terus menggunakan pengaruhnya di hadapan para penguasa Mongol untuk melindungi kaum Muslim dan warisan dunia Islam. Berkat kepiawaiannya, ia berkali-kali menyelamatkan nyawa banyak orang dan ulama dari bahaya kematian, serta membebaskan banyak ulama dan masyarakat dari penjara.
Setelah dua kali invasi Mongol ke Iran yang diikuti dengan penghancuran kota-kota dan pembantaian massal, Khajeh Thusi berlindung ke benteng Ismailiyah untuk menyelamatkan nyawanya. Benteng ini lebih aman daripada tempat lain karena kekuatannya.
Ketika serangan Mongol menargetkan benteng Ismailiyah, Khajeh Thusi – yang pernah menyaksikan kekejaman mereka di Neishabour dan Khorasan – menyadari bahwa mustahil bisa menghadapi pasukan haus darah seperti itu. Dia melihat satu-satunya jalan untuk selamat adalah menyerah dan mengikuti kemauan pasukan agresor. Ia membujuk orang-orang dan para raja untuk menyerah demi mengurangi jumlah korban dan kehancuran.
Khajeh Thusi ingin menyelamatkan nyawa kaum Muslim dan menciptakan peluang untuk mengubah situasi yang memilukan ini. Tentara Khwarazmian dan Dinasti Abbasiyah tidak mampu menahan serangan Mongol, tetapi pemikir besar ini – dengan kecerdasan, kecakapan, dan kesalehannya – mampu menyelamatkan nyawa banyak orang Muslim serta melestarikan budaya dan ilmu-ilmu keislaman dari kehancuran.
Setelah pemerintahan Khwarazmian ditaklukkan, Khajeh Thusi tidak berhenti berjuang dan ia memanfaatkan seluruh kemampuannya untuk mempengaruhi para penguasa Mongol dan mengubah pendirian mereka. Dia mampu menyelamatkan nyawa para ilmuwan berkali-kali, membebaskan banyak tahanan, dan mencegah penjarahan properti Muslim.
Peran yang dimainkan Khajeh Thusi ini mengundang pujian dari masyarakat dan ulama sehingga kedudukannya semakin dihormati dan jumlah pengagumnya bertambah. Di sisi lain, Hulagu Khan – Khan pertama dari dinasti Khan yang menguasai wilayah Persia – sangat menghormati Khajeh Thusi ketika menyadari kepiawaiannya dalam urusan masyarakat. Hulagu Khan sampai-sampai tidak mengambil tindakan apapun sebelum bermusyawarah dengan pemikir besar ini.
Keahlian politik dan kecerdikan Khajeh Thusi telah menginfiltrasi jantung pemerintahan Mongol. Para raja Mongol sangat tertarik dengan para peramal dan astronom. Khajeh Thusi memanfaatkan keahliannya di bidang astronomi dengan sebaik mungkin dan dengan cara ini, ia telah menaklukkan hati Hulagu Khan sehingga sang raja tidak bepergian tanpa meminta petunjuknya dan tidak mengeluarkan hartanya sebelum meminta masukan dari Khajeh.
Khajeh Thusi kemudian memimpin kementerian dan lembaga penasihat para penguasa Mongol. Dia juga mengurusi urusan wakaf negara-negara Islam dan memanfaatkan posisinya untuk menyebarkan ajaran Syiah dan memperkuat ilmu-ilmu keislaman.
Khajeh Nashiruddin Thusi tidak hanya dihormati di kalangan para pemikir Syiah, tetapi para ulama Sunni juga memuji ulama yang bijak ini. Para tokoh Sunni menganggap Khajeh Thusi sebagai sosok yang berbudi luhur, penjaga ilmu, rendah hati, sopan dan santun, seorang politikus, memiliki kedudukan tinggi, dan menguasai masalah Islam. Mereka menghormati ketokohan dan kedudukan Khajeh Thusi.
Ibnu al-Fuwati, pustakawan di Observatorium Maragheh dan sejarawan abad ketujuh dan delapan Hijriyah mengatakan, “Khajeh Thusi adalah orang yang mulia dan berbudi luhur, memiliki karakter yang baik, dan kerendahan hati, dermawan, dan tidak menolak permintaan orang yang membutuhkan, dan dia bersikap baik kepada semua orang.”
Ibnu Shakir dari sejarawan Ahlu Sunnah, menulis bahwa Khajeh Thusi adalah orang yang sangat ramah, murah hati, toleran, mudah bergaul, dan cerdas, dan ia merupakan salah satu politisi pada masa itu.
Khajeh Nashiruddin Thusi meninggal dunia di Baghdad pada 18 Dzulhijjah tahun 672 H, setelah berjuang seumur hidup tanpa kenal lelah. Dia menghabiskan hidupnya untuk mengabdi kepada kaum Muslim, dan meninggal dunia saat berada di Baghdad untuk mengatur masalah wakaf dan para pemikir. Sebelum meninggal, Khajeh Thusi berwasiat agar jasadnya dimakamkan di Kompleks Makam Kazhimain dan tidak dikuburkan di tempat lain.
Dia juga mewasiatkan agar di atas makamnya, tidak dituliskan kalimat apapun tentang keahlian-keahliannya di bidang ilmiah atau kalimat untuk menyanjung kedudukannya. Para muridnya bersikeras untuk menuliskan sebuah ayat al-Quran atau satu bait dari puisi-puisi karyanya di atas nisan sehingga generasi mendatang mengenali pemilik kubur ini.
Namun, Khajeh Thusi berkata, “Hanya tuliskan nama saya saja di batu nisan, karena ketika kuburan saya bersebelahan dengan kedua imam maksum ini (Imam Musa al-Kazhim dan Imam Muhammad al-Jawad as di kota Kazimain, Irak), maka tidak pantas menulis kalimat penghormatan kepada saya. Jika kalian tetap ingin menulis sesuatu, maka tulislah ayat ini (ayat 18 surat al-Kahf).”
Mengenai wasiat ini, Allamah Hasanzadeh-Amoli, seorang ‘arif dan ulama besar kontemporer Iran menuturkan, “Pemilik buku-buku di bidang hikmah, filsafat, irfan, matematika, fikih, yurisprudensi, ilmu eksak, arsitektur, teknik, dan pendiri Observatorium Maragheh, serta pemilik buku Tabel Ilkhanik yaitu Khajeh Nashiruddin Thusi yang dijuluki sebagai ‘Guru Manusia,’ mewasiatkan agar di atas nisannya dituliskan ayat ini “…sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua” (Al-Kahf, ayat 18) memiliki makna bahwa saya menjulur seperti anjing Ashabul Kahfi di samping makam para imam di kota Kazimain. Dalam hikayat ini, tersembunyi kekayaan makrifat yang besar.” (RM)