Mengenal Para Ulama Besar Syiah (21)
Syeikh Jamaluddin Hasan bin Yusuf bin Mutahhar al-Hili, yang dikenal dengan Allamah Hilli adalah seorang ahli hukum (faqih) dan teolog Syiah pada abad kedelapan Hijriyah. Ia telah menulis lebih dari 120 buku di berbagai bidang ilmu agama dan beberapa karyanya menjadi buku diktat hauzah ilmiah.
Allamah Hilli termasuk salah satu orang jenius pada masanya dan selalu berusaha menjelaskan akidah Syiah berdasarkan prinsip-prinsip rasional. Dia memainkan peran penting dalam menyebarkan mazhab Syiah dan mempromosikan ajaran Ahlul Bait as. Dia dianggap sebagai pelestari mazhab Syiah.
Dia telah mendidik 500 mujtahid dan ilmuwan, melakukan sejumlah debat ilmiah dengan para ulama Sunni, menulis banyak buku untuk menjelaskan prinsip-prinsip akidah Syiah, dan menjawab sanggahan orang-orang di luar Syiah dengan argumentasi yang logis.
Allamah Hilli lahir pada malam 29 Ramadhan tahun 648 H di tengah keluarga yang agamis. Ibunya berasal dari keluarga terpelajar dan terpandang serta saudara perempuan dari Muhaqqiq al-Hilli, sementara ayahnya adalah seorang ilmuwan dan faqih di kota al-Hillah, Irak. Allamah Hilli menghabiskan masa kecilnya di bawah asuhan kedua orang tuanya dan di bawah pengawasan ulama yang juga pamannya, Muhaqqiq al-Hilli.
Dalam tempo singkat, ia mulai belajar dari para guru besar berkat kecerdasan dan ketekunannya. Dia mempelajari berbagai ilmu yang berkembang pada masa itu dari para guru besar dan telah menguasai banyak disiplin ilmu pengetahuan di masa mudanya.
Masa kecil Jamaluddin Hasan jatuh bersamaan dengan invasi brutal Mongol ke wilayah Islam. Iran dilanda api perang Mongol, sementara masyarakat Irak terpaksa meninggalkan kota-kota dan melarikan diri ke padang pasir karena takut serangan Mongol. Masyarakat Syiah Irak, Najaf, dan Kazimain berlindung di kompleks makam suci para imam maksum.
Akibat serangan ini, kota Baghdad yang merupakan pusat kebudayaan Islam dan keilmuan Syiah telah hancur. Tentu saja para ulama tidak tinggal diam dalam menghadapi bahaya yang dihadapi oleh kaum Muslim. Kalangan ulama bekerja keras untuk menghentikan pertumpahan darah dan bernegosiasi dengan para komandan dan penguasa Mongol.
Berkat upaya dan kearifan para fuqaha Syiah, termasuk ayah dari Allamah Hilli yaitu Syeikh Yusuf bin Mutahhar, keamanan kembali pulih di kota-kota dan secara perlahan kota al-Hillah berubah menjadi tempat berlindung bagi para ulama dan ilmuwan.
Masa kecil Allamah Hilli diwarnai dengan peristiwa sulit seperti itu, tetapi kondisi ini tidak menghalanginya untuk menimba ilmu. Dia mulai belajar mengaji dan mempelajari ilmu-ilmu dasar dari ayah serta pamannya, Muhaqqiq al-Hilli. Dia kemudian diterima oleh para guru besar terutama Khajeh Nashiruddin Thusi, untuk mempelajari ilmu fikih, teologi, logika, dan filsafat.
Allamah Hilli mencapai derajat ijtihad sebelum menginjak usia baligh. Ini semua karena kecerdasan dan ketekunannya dalam mempelajari ilmu dan memperdalam spiritualitas. Ia juga mendapatkan banyak keutamaan sehingga orang-orang di lingkungannya memanggilnya "Jamaluddin" yang berarti keindahan agama.
Pada usia 28 tahun, Allamah Hilli dipercaya untuk menjadi pemimpin mazhab Syiah Imamiyah, padahal waktu itu 400 mujtahid tinggal di kota al-Hillah. Hal ini menunjukkan betapa tinggi posisi dan kedudukan intelektual Allamah Hilli. Secara perlahan, kepintaran dan keutamaan Allamah Hilli mulai dikenal di dunia Islam. Sultan Mohammad Khodabandeh dari penguasa Dinasti Ilkhanat, yang dikenal baik dan sangat menghormati ulama, mengundang Allamah Hilli untuk datang ke Iran.
Sultan Mohammad memiliki ibu Kristen dan ia sendiri memeluk agama Budha, tetapi akhirnya masuk Islam selama pergaulannya dengan Muslim dan memilih mazhab Syafi'i. Pasca kedatangan Allamah Hilli di Iran, Sultan Mohammad sangat tertarik pada ilmu dan seni. Dia menyelenggarakan beberapa sesi debat untuk bertukar pandangan dan kritik di antara para ulama.
Di salah satu sesi debat ini, Allamah Hilli tampil di hadapan ulama dari mazhab-mazhab lain dan membuktikan kebenaran imamah Imam Ali as dan mazhab Syiah, di mana para ulama lain tidak mampu menyanggahnya. Perdebatan ini menyebabkan Sultan Mohammad Khodabandeh pindah ke mazhab Syiah.
Keputusan Sultan merupakan sebuah peristiwa penting dalam sejarah Syiah, karena pada masa pemerintahannya, Syiah menjadi mazhab resmi di seluruh Iran untuk pertama kalinya, dan dia adalah Sultan pertama yang menyebarkan Syiah Imamiyah secara besar-besaran. Selama periode ini, para ulama Syiah menemukan kesempatan emas untuk menyebarkan ajaran Ahlul Bait as.
Allamah Hilli melakukan banyak upaya untuk mendekatkan mazhab-mazhab Islam. Kebesaran jiwanya menyebabkan diskusi tentang perbedaan mazhab selalu berlangsung dalam suasana damai dan hangat. Di madrasah-madrasah yang didirikannya, para ulama dari berbagai mazhab mengajar secara berdampingan meskipun ada perbedaan pandangan dari segi akidah.
Meskipun Allamah Hilli secara tegas dan terbuka membela akidah Syiah, ia tetap memperoleh pujian dari para ulama mazhab lain. Misalnya, Ibnu Hajar al-'Asqalani, salah satu ulama Syafi'i dan hadits, menyebut Allamah Hilli sebagai tanda kebenaran dalam kecerdasan dan memuji sikap baiknya terhadap Ibnu Taimiyah, salah satu ulama garis keras Sunni.
Ibnu Taimiyah adalah seorang yang memiliki pemikiran ekstrem dan takfiri. Banyak ulama Islam baik Syiah maupun Sunni, menganggap akidahnya sesat dan ia sendiri telah keluar dari agama. Allamah Hilli menulis buku Minhaj al-Karamah untuk membuktikan kepemimpinan Ahlul Bait as, dan Ibnu Taimiyah juga menulis buku sanggahannya atas dasar sikap keras kepala.
Ketika Allamah Hilli melihat buku Ibnu Taimiyah, yang penuh dengan sikap tidak sopan dan cacian, ia melantunkan sebuah puisi dan mengirimkannya kepada Ibnu Taimiyah. Allamah Hilli berkata, "Jika engkau tahu apa yang diketahui oleh orang lain, engkau akan bersahabat dengan ilmuwan, tetapi engkau menjadikan kebodohan sebagai gayamu dan engkau berkata, 'Siapa pun yang bergerak melawan hawa nafsuku, ia bukanlah ilmuwan!'"
Perlu diketahui bahwa pemikiran ekstrem dan eklektik Ibnu Taimiyah yang diprotes oleh ulama Sunni dan Syiah, kemudian disebarkan oleh Muhammad ibn Abdul Wahab, pendiri sekte Wahabi. Saat ini pemikiran takfiri dari beberapa kelompok teroris seperti Daesh, bersumber dari sekte Wahabi.
Allamah Hilli, terlepas dari semua kerja kerasnya di bidang budaya, mengajar dan menulis buku-buku berharga, tidak lupa mendekatkan diri kepada Allah Swt dan meningkatkan derajat spiritualnya. Dia dianggap sebagai orang yang paling zuhud dan bertakwa, dia memerintahkan semua shalat dan puasanya dilakukan ulang setelah wafatnya meskipun ia tidak pernah meninggalkan shalat dan puasa. Meskipun telah menunaikan haji, dia mewasiatkan seseorang untuk menunaikan haji atas namanya.
Ulama besar Syiah ini dengan meneladani Imam Ali as, telah membuka banyak kebun, membuat saluran air dengan tangannya, dan kemudian mewakafkan itu semua kepada masyarakat. Tidak ada seorang pun yang meragukan kecintaannya kepada Rasulullah Saw dan Ahlul Bait. Ia selalu mewasiatkan orang lain untuk mencintai Ahlul Bait dan menerima kepemimpinan mereka.
Allamah Hilli berkata, "Bukti terbesar kecintaan kepada Ahlul Bait adalah menaati dan menerima kekhalifahan dan kepemimpinan mereka serta bangkit dengan cara yang telah ditetapkan oleh mereka… Saya mewasiatkan kecintaan dan kasih sayang kepada putra-putri Fatimah az-Zahra as, karena mereka adalah pemberi syafaat kita pada hari ketika harta dan anak-anak tidak akan bermanfaat bagi kita… Ya Allah! Bangkitkanlah kami atas kecintaan kepada Ahlul Bait dan jadikan kami termasuk orang-orang yang telah menunaikan hak kakek mereka, Rasulullah dan keturunannya."
Sepeninggal Sultan Mohammad Khodabandeh, Allamah Hilli kembali ke kampung halamannya di Hillah. Di sana, ia melanjutkan studi, mengajar, dan menulis buku-buku hingga akhir hayatnya. Ulama besar ini meninggal dunia pada bulan Muharram tahun 726 H di kota Hillah. Ia dimakamkan di kota Najaf di dekat makam Imam Ali as. (RM)