Idul Adha, Momentum untuk Membuang Ego
Salah satu bulan mulia dalam kalender Hijriyah adalah bulan Dzulhijjah, yang diberkahi dengan pelaksanaan manasik haji oleh kaum Muslim dari berbagai penjuru dunia.
Dzulhijjah adalah bulan kembali kepada Allah Swt, bulan untuk meleburkan dosa dengan berkah manasik haji dan bulan diterimanya taubat orang-orang yang menunaikan ibadah haji.
Dzulhijjah adalah bulan thawaf di Baitullah dan mengucapkan Labbaik, momentum untuk memperbaiki diri dan mencari keridhaan Tuhan, serta bulan untuk menyempurnakan akhlak dan derajat spiritual.
Ketika Dzulhijjah tiba, Rasulullah Saw dan para sahabat menaruh perhatian besar untuk memperbanyak ibadah. Beliau bersabda, “Tidak ada hari di mana amal saleh pada hari itu lebih dicintai Allah daripada hari-hari ini yakni 10 hari pertama bulan Dzulhijjah.”
Idul Adha (Idul Qurban) adalah salah satu hari raya dalam Islam yang jatuh pada tanggal 10 Dzulhijjah. Hari raya ini mengingatkan akan sebuah ujian yang berat dan manifestasi dari jalinan cinta antara Nabi Ibrahim as dan Tuhan.
Kaum Muslim merayakan Idul Adha sebagai hari raya untuk ketaatan dan penghambaan, hari raya untuk mendekatkan diri kepada Allah Swt, hari untuk melepaskan diri dari belenggu hawa nafsu, serta hari untuk meningkatkan kadar iman dan yakin.
Idul Adha adalah manifestasi tauhid dan hari yang agung bagi para jamaah haji. Imam Jakfar Shadiq as menafsiran kalimat “Yaumu al-Hajj al-Akbar” (hari haji akbar) sebagai Hari Raya Idul Adha.
Kata Eid dalam bahasa berarti “kembali” dan secara istilah, bermakna kembali kepada Allah Swt. Pada hari ini, rahmat dan ampunan Tuhan turun kepada orang-orang Mukmin. Alangkah mulianya jika hari raya ini diisi dengan amal-ibadah untuk menghapus dosa-dosa dan mempersiapkan diri untuk menerima anugerah yang lebih besar.
Qurban berarti dekat atau mendekatkan, dan digunakan untuk pekerjaan-pekerjaan baik yang dilakukan oleh manusia dengan tujuan mendekatkan diri kepada Allah dan meraih rahmat-Nya. Setiap ketaatan dan perbuatan baik yang mendatangkan rahmat Ilahi adalah sebuah bentuk mendekatkan diri kepada-Nya, seperti sabda Rasulullah Saw tentang shalat, “Shalat akan mendekatkan setiap orang yang bertakwa kepada rahmat Allah Swt.”
Hari ini adalah Idul Adha dan hari mendekatkan diri kepada Allah. Ratusan ribu jamaah haji bergerak menuju tanah Mina setelah melakukan wukuf di Padang Arafah serta bermalam dan bermunajat di Masy'ar al-Haram. Pada 10 Dzulhijjah, manasik haji memasuki fase penting dan menentukan yaitu ketika para jamaah secara bergelombang melempar jumrah di Mina.
Mereka melemparkan batu-batu kerikil ke arah tiang yang merupakan simbol syaitan. Dengan amalan ini, para jamaah menjauhkan dirinya secara lahir dan batin dari syaitan. Setelah itu mereka pun menyembelih hewan kurban.
Para peziarah Baitullah masing-masing mencapai derajat makrifat yang berbeda dari manasik haji dan setiap manasik ini menyimpan rahasia baginya. Para urafa berkata wukuf di Padang Arafah adalah untuk meningkatkan pengenalan kepada Allah dan menyingkap tabir penciptaan.
Masy'ar adalah tempat untuk mencapai makrifat batin, Mina adalah tanah untuk menumpahkan kecintaan dan mencapai pertemuan dengan Tuhan. Nabi Ibrahim as dengan menanggalkan semua ketergantungan duniawi, membawa putranya ke tempat penyembelihan dan memperlihatkan bentuk kepasrahan yang paling indah.
Idul Adha adalah hari raya pengorbanan, keikhlasan, dan cinta. Mengorbankan putra kesayangannya di jalan Tuhan merupakan sebuah ujian Ilahi untuk Nabi Ibrahim as dan Idul Adha adalah pengingat akan peristiwa besar itu.
Setelah selesai membangun Ka’bah, Nabi Ibrahim mengumumkan perintah haji dan Allah juga menetapkan rukun-rukun haji. Di usia tua dan beratnya perjuangan berdakwah, Ibrahim diperintahkan untuk mengorbankan buah hatinya, Ismail. Sebuah ujian yang sulit bagi orang yang telah menghabiskan umurnya di jalan tauhid dan penghambaan Tuhan.
Namun, Allah Swt menguji seseorang sesuai dengan kadar kemampuannya dan tentu saja ujian yang dihadapi oleh para nabi lebih sulit dan lebih berat dari manusia biasa.
Nabi Ibrahim as mulanya memberitahu Ismail tentang perintah untuk berkurban dan berkata, “Hai anakku! Sesungguhnya aku melihat dalam mimpi bahwa aku menyembelihmu. Maka pikirkanlah apa pendapatmu?” Ismail menjawab, “Wahai ayahku, kerjakanlah apa yang diperintahkan kepadamu; Insya Allah kamu akan mendapatiku termasuk orang-orang yang sabar.”
Ibrahim berada dalam dua situasi antara kecintaan kepada buah hatinya dan kecintaan kepada Allah, tetapi ia tunduk pada perintah-Nya. Ia membawa Ismail ke tanah Mina untuk dikorbankan dan ketika sampai di sana, Ismail berkata, “Wahai ayahku! Telungkupkanlah wajahku agar tidak terlihat oleh ayah, sehingga tidak timbul rasa iba dan kecintaan kepada anak tidak menjauhkanmu dari ketaatan kepada Allah.”
Ismail – sama seperti ayahnya – memiliki derajat spiritual dan makrifat yang tinggi kepada Allah. Ibrahim menutupi wajah putranya dan mulai meletakkan pisau di lehernya, tetapi atas kehendak Allah, leher Ismail tidak tersayat oleh pisau itu. Seketika, seekor kibas muncul di hadapan Ibrahim dan terdengar suara dari langit, “Hai Ibrahim! Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus anak itu dengan seekor sembelihan yang besar. Kami abadikan untuk Ibrahim itu (pujian yang baik) di kalangan orang-orang yang datang kemudian, (yaitu) “kesejahteraan dilimpahkan atas Ibrahim.”
Hari ini para jamaah haji juga melakukan kurban sebagai bentuk ketaatan dan mereka berkata, “Ya Ilahi, kami sama seperti Ibrahim juga tunduk kepada-Mu. Kami telah menanggalkan ketergantungan duniawi dan memutuskan rantai belenggu hawa nafsu sehingga kami bisa dekat kepada-Mu lebih dari sebelumnya.”
Kaum Muslim merayakan Idul Adha di setiap tahun. Mereka memulainya dengan mandi sunnah, memakai pakaian yang paling bagus, dan menggunakan wewangian. Setelah shalat eid, mereka membuka pintu silaturahim dan merayakan hari yang bahagia ini.
Di antara amalan Idul Adha adalah jamaah haji wajib berkurban dalam manasik haji, sementara kaum Muslim yang tidak berhaji dianjurkan untuk menyembelih hewan kurban. Semua amalan ini dilakukan untuk meraih keridhaan Ilahi dan mencapai derajat takwa.
Pada hari ini, kaum Muslim menyembelih kambing, sapi, atau unta dan kemudian membagi-bagikan dagingnya kepada fakir-miskin. Sejumlah riwayat menganjurkan orang-orang untuk berkurban pada Idul Adha sehingga kaum dhuafa dan fakir-miskin juga memperoleh makanan.
Selain berkurban dan membangun solidaritas sosial, ada juga amalan dan shalat-shalat sunnah yang dikerjakan pada hari raya ini. Pelaksanaan amalan ini adalah kesempatan untuk memperoleh makrifat dan kesempurnaan yang tinggi.
Seorang arif besar, Almarhum Mirza Jawad Maleki Tabrizi mengenai amalan Idul Adha mengatakan, “Dengan tibahnya hari raya, kerjakanlah semua amalan yang mendatangan keridhaan dan mengundang kasih sayang-Nya. Allah Swt adalah pemilik dunia dan akhirat serta kehidupan dan kematian kalian, dan kita tidak boleh lalai terhadap Tuhan yang maha pengasih dan penyayang ini.
Di pagi hari, mandilah dengan niat untuk mensucikan hati dari kehadiran selain Tuhan. Kemudian lantunkanlah takbir “Allahu Akbar” dan dengan takbir ini, seluruh makhluk terlihat kecil dan tidak berarti apa-apa di hadapan keagungan Tuhan. Dengan niat menghiasi diri dengan pakaian takwa dan akhlak mulia, pakailah baju yang paling bersih dan kemudian bergeraklah ke masjid untuk menunaikan shalat ied.”(RM)