Kesepakatan Riyadh dan Kendalanya
(last modified Wed, 13 Nov 2019 11:56:59 GMT )
Nov 13, 2019 18:56 Asia/Jakarta
  • Kesepakatan Riyadh
    Kesepakatan Riyadh

Pemerintahan Yaman yang telah mengundurkan diri dan dipimpin oleh Abd Rabbu Mansur Hadi serta Dewan Transisi Selatan (STC) yang dipimpin Aidarus al-Zoubaidi selama beberapa bulan lalu terlibat friksi serius. Friksi ini bahkan mendorong STC menguasai istana kepresidenan di Aden.

Sementara itu, Arab Saudi yang melihat friksi ini tidak selaras dengan kepentingannya telah banyak melakukan upaya untuk membujuk pemerintah Yaman yang mengundurkan diri dan STC untuk berunding serta menyelesaikan sengketa mereka melalui dialog. Upaya ini pada akhirnya berujung pada penandatanganan kesepakatan Riyadh.

Al Nahyan, MBS dan Mansur Hadi

Arab Saudi yang ingin mencegah eskalasi friksi antara STC dan pemerintahan Mansur Hadi serta mencegah perang Yaman melawan Ansarullah berubah menjadi perang antar koalisi mulai mempersiapkan peluang perundingan dua aliansinya ini di Jeddah. Pada akhirnya berhasil ditandatangani kesepakatan Riyadh.

Kesepakatan Riyadh memiliki banyak butir, namun yang terpenting adalah:

  • Mansur Hadi akan membentuk pemerintahan baru dengan melibatkan STC setelah 30 hari ditandatanganinya kesepakatan.
  • Setalah tujuh hari penandatanganan kesepakatan, pemerintah Mansur Hadi akan kembalil ke Aden.
  • Milisi STC akan digabungkan dengan Departemen Pertahanan pemerintahan Mansur Hadi serta pembentukan satu militer.
  • Propaganda yang saling menyerang akan dihentikan.
  • STC akan dilibatkan dalam perundingan dengan Ansarullah.

Meski melalui mediasi Arab Saudi, pemerintah Yaman yang mengundurkan diri dan STC menandatangani perjanjian Riyadh, namun kesepakatan ini masih menghadapi banyak kendala untuk dilaksanakan.

Friksi Internal soal Kesepakatan Riyadh

Salah satu kendala terpenting adalah perpecahan dan friksi di tubuh pemerintahan Mansur Hadi. Friksi ini juga terlihat selama konfrontasi antara STC dan pemerintah Mansur Hadi pada Agustus lalu. Sejumlah anggota kabinet Mansur Hadi termasuk mendagri, mengkritik Arab Saudi karena tidak membela mereka dalam menghadapi milisi STC.

Mendagri pemerintahan Mansur Hadi, Ahmed Al-Maisari setelah istana kepresidenan Maashiq dikuasai STC mengatakan: "Arab Saudi selama empat hari bungkam atas transformasi Aden, padahal mitra kita tengah memotong kepala dan telinga kita."

Ahmed al-Maisari Oktober lalu dan selama proses perundingan antara STC dan pemerintah Mansur Hadi, dalam pidtonya di Provinsi Shabwah meminta Mansur Hadi komitmen dengan prinsip nasionalisme dan tidak memberi posisi serta saham di pemerintahan kepada separatis dan pemberontak. Sejumlah petinggi pemerintah Yaman yang mengundurkan diri juga mengkritik kesepakatan Riyadh.

Sejumlah Kubu Penting Yaman Selatan Tolak Kesepakatan Riyadh

Salah satu kendala lain yang mencegah implementasi kesepakatan Riyadh adalah berbagai faksi politik di Yaman selatan tidak terbatas pada STC dan pemerintahan Mansur Hadi, tapi ada kubu dan tokoh penting lain yang menolak kesepakatan Riyadh.

Sheikh Abdullah Isa bin Afrar, ketua Dewan Putra Mahra dan Socotra di akun twitternya menolak undangan Fahd bin Turki bin Abdulaziz, kepala staf gabungan militer Arab Saudi untuk menghadiri acara penandatanganan kesepakatan antara pemerintah Mansur Hadi dan STC. Ia menyatakan alasan penolakannya adalah karena tidak ada keadilan dipembagian saham bagi dewan yang dipimpinnya di antara kubu politik selatan.

Hasan Baum, ketua Majelis al-Watani li Tahri al Janub serta tokoh terkemuka Gerakan Hirak Selatan seraya menolak kesepakatan Riyadh menilai kesepakatan ini membuka peluang bagi keterlibatan rakyat selatan di perang yang bukan milik mereka.

Sementara faksi lain seperti Dewan Penyelamatan Nasional Yaman selatan, Dewan Rakyat Shabwah, koalisi kabilah Shabwah, koordinator pemuda Aden, Dewan Umum Provinsi al Mahra dan Socatra serta komite demonstrasi damai al-Mahra seraya merilis statemen menyatakan penolakan mereka terhadap kesepakatan Riyadh.

Mengingat kondisi ini, dapat dikatakan bahwa kesepaktan Riyadh memicu terbentukan front lain dari kubu-kubu selatan Yaman dalam menentang pemerintahan Mansur Hadi serta Dewan Transisi Selatan.

Sejumlah Faksi dan Tokoh Selatan Tidak Percaya kepada Arab Saudi

Arab Saudi bertindak sebagai mediator antara pemerintah Mansur Hadi dan Dewan Transisi Selatan. Padahal Saudi selama ini merupakan pilar utama dalams erangan ke Yaman dan selama 56 bulan telah menimbulkan banyak kerugian ke negara Arab miskin ini.

Aden

Sikap pemerintahan Mansur Hadi dan STC yang menerima Suadi sebagai mediator telah memicu beragam kritik dari kubu Yaman. Tawakkol Karman, anggota terkemuka Partai Reformasi terkait hal ini di akun twitternya menulis,"Kami menolak kesepakatan yang membuat Arab Saudi sebagai pengawas Yaman dan perjanjian yang membuat hegemoni Riyadh di Yaman semakin kuat."

Abdullah al-Alimi, ketua kantor Mansur Hadi dan anggota lain Partai Reformasi hanya beberapa jam setelah berakhirnya acara penandatanganan kesepakatan Riyadh, di akun twitternya secara tersirat menuding Arab Saudi tidak memiliki minat yang cukup untuk melaksanakan kesepakatan ini. Saleh al-Jabwani, menteri transportasi pemerintahan Mansur Hadi dan tokoh paling getol menentang kesepakatan Riyadh di akun twitternya seraya mengisyaratkan kunjungan dirinya dan al-Maisari ke Shabwah dan Marib serta Hadramaut di akun twitternya dengan menyindir Mansur Hadi menulis,"Secepatnya mereka yang bersandar kepada selain Yaman akan merugi."

Respon ini seakan-akan menunjukkan bahwa penentangan terhadap kesepakatan Riyadh di dalam dan luar pemerintah Yaman yang mengundurkan diri berada di level tinggi dan potensi pelaksanaan kesepakatan ini semakin lemah.

Esensi sejumlah Butir Utama Kesepakatan Riyadh

Salah satu kendala yang membuat pelaksanaan kesepakatan Riyadh kian kabur adalah esensi sejumlah butir kesepakatan tersebut. Misalnya, di kesepakatan ini disebutkan bahwa pemerintahan Mansur Hadi setelah satu pekan dari penandatanganan kesepakatan Riyadh harus kembali ke Aden, namun setelah satu pekan dari penandatanganan kesepakatan ini, hanya dua menteri yang kembali ke Aden dan pemerintahan Mansur Hadi praktisnya tidak terbentuk.

Masalah ini sebuah indikasi penting untuk meragukan implementasi kesepakatan Riyadh. Butir lainnya kesepakatan ini adalah pembentukan pemerintah baru dalam tempo 30 hari. Meski demikian kesepakatan terkait pemerintahan seperti ini khususnya penunjukan perdana menteri baru serta penempatan anggota kabinet adalah isu yang pasti memicu friksi.

Dewam Transisi Selatan (STC) menilai haknya untuk menentukan perdana menteri baru dan wajar saham serta poisisi mereka di struktur kekuasaan akan mengalami peningkatan mencolok. Tentunya hal ini akan menjadi faktor perdebatan dan friksi dengan para menteri pemerintahan Mansur Hadi saat ini serta dengan kubu selatan Yaman lainnya.

Peleburan pasukan STC di Departemen Dalam Negeri pemerintahan Mansur Hadi juga salah satu butir yang dapat memicu perpecahan serius, karena butir ini praktisnya menghapus al-Hizam al-Amni (Security Belt), sayap militer STC dan melemahkan kemampuan militer dewan ini.

Di sejumlah pandangan anggota Dewan Transisi Selatan yang dirilis pasca kesepakatan Riyadh, terlibat banyak perbedaan pendapat. Sekaitan dengan ini, Mansur Saleh, wakil bidang media STC di akun twitternya menyatakan, Dewan Transisi Selatan tidak akan pernah menerima komitmen keputusan Dialog Nasional (perundingan menentukan masa depan politik Yaman yang dimulai 2012 hingga 2014 di mana Yaman tetap bersatu dan dibagi menjadi enam wilayah) serta namanya hanya disebutkan dalam bentuk formal di kesepakatan.

Ia juga menambahkan, Mansur Hadi dan pemerintahan barunya kembali ke Aden, tapi kami menolak tegas kembalinya Ali Muhsin al-Ahmar, wakil Mansur Hadi dan orang dekat Partai Reformasi.

Mengingat kendala ini, kesepakatan Riyadh dapat dinilai sebagai kesepakatan yang rentan gagal yang juga tidak dapat menjamin tujuan Arab Saudi di Yaman.