Pengaruh Daesh di Asia Tenggara (I)
Lawatan raja Arab Saudi, Salman bin Abdul Aziz ke Malaysia dan Indonesia menjadi perhatian publik regional dan internasional. Para analis politik menilai kunjungan tersebut berkaitan dengan upaya para penguasa kerajaan Arab Saudi menyebarkan ideologi Wahabi dan menancapkan pengaruhnya di kawasan strategis itu.
Kondisi tersebut berlangsung di saat sebagian kepentingan Saudi di kawasan Timur Tengah membentur dinding. Pasalnya, kelompok teroris dukungan Riyadh mengalami kekalahan telak di Irak dan Suriah. Kelompok teroris Daesh menyerang Irak dan Suriah dengan tujuan untuk mendirikan khilafah di kedua negara itu. Tapi tujuan tersebut tidak terwujud, dan mereka mengalami kekalahan bertubi-tubi.
Akhirnya Daesh memindahkan personilnya ke kawasan lain, termasuk Asia Tenggara dan Afghanistan. Dipilihnya, Asia Tenggara sebagai sasaran Daesh dengan pertimbangan adanya potensi kawasan tersebut menjadi tempat didirikannya Khilafah ala Daesh.
Mantan menteri luar negeri AS, Hillary Clinton mengakui keterlibatan Washington dalam membidani lahirnya Daesh sebagai alat baru kepentingan AS. Dengan demikian, kekalahan Daesh di kawasan Asia Tenggara bukan berarti berakhirnya tugas kelompok teroris itu. Sebagian milisi teroris dikirim ke kawasan Asia Tenggara untuk merekrut anggota baru sekaligus menyiapkan sarana pendirian khilafah ala Daesh sebagaimana dilakukan di Irak dan Suriah.
Kehadiran kelompok ekstrem yang telah beroperasi selama lebih dari empat dekade lalu di kawasan menjadi potensi yang baik bagi Daesh untuk menancapkan pengaruhnya di Asia Tenggara seperti Indonesia, Malaysia dan Filipina.
Keberadaan kelompok ekstrem seperti Abu Sayyaf yang beroperasi di wilayah selatan Filipina, maupun Jemaah Islamiyah yang memiliki pengikut terutama di Indonesia dan Malaysia, menjadi kelompok yang pertama kali berbait kepada Daesh. Kedua kelompok ekstrem ini memiliki hubungan dengan jaringan teroris Al-Qaeda.
Daesh berupaya memanfaatkan potensi radikalisme di Asia Tenggara dengan terjadinya berbagai aksi teror seperti pemboman dan berbagai serangan lainnya sebagaimana yang terjadi Indonesia. Tahun lalu saja terjadi sejumlah aksi teroris di antaranya: aksi bom dan baku tembak Jakarta, 14 Januari 2016. Kemudian pada tanggal 5 Juli 2016 terjadi ledakan bom bunuh diri di halaman Markas Kepolisian Resor Kota Surakarta, Jawa Tengah. Seorang pelaku tewas dan seorang petugas kepolisian luka-luka.
Pada 28 Agustus 2016, sebuah ledakan bom bunuh diri terjadi di Gereja Katolik Stasi Santo Yosep, Jalan Dr Mansur, Kota Medan, Sumatera Utara. Pada 13 November 2016, sebuah bom molotov meledak di depan Gereja Oikumene Kota Samarinda, Kalimantan Timur. Empat anak-anak terluka dan satu korban di antaranya meninggal dunia dalam perawatan di rumah sakit.
Pada 14 November 2016, sebuah bom molotov meledak di Vihara Budi Dharma, Kota Singkawang, Kalimantan Barat. Berbagai aksi terorisme ini berkaitan erat dengan dukungan para teroris pelakunya terhadap kehadiran kelompok teroris Daesh.
Di Filipina, tahun lalu tersebar video mengenai empat kelompok teroris di wilayah selatan negara ini telah bergabung untuk membentuk cabang Daesh. Video yang diposting di sebuah situs kaum militan menunjukkan orang-orang yang membawa bendera Daesh dan sejumlah komandan bersenjata berat dari kelompok-kelompok yang telah menyatakan kesetiaan mereka kepada Abu Bakr al-Baghdadi, pemimpin Daesh.
Kelompok-kelompok itu, di masa lalu, secara terpisah mengaku mendukung Daesh. Namun video itu menunjukkan, mereka mungkin telah sepakat untuk mengkonsolidasikan kekuatan mereka, bahkan menciptakan ancaman yang lebih kuat di wilayah kepulauan yang tak tersentuh aturan hukum yang berbatasan dengan Malaysia.
Sepuluh anggota salah satu kelompok itu yang disebut Ansar al-Khilafah di Filipina dibunuh tentara dan polisi Filipina dalam sebuah operasi di pulau Mindanao pada 26 November 2015. Video yang diposting pada 4 Januari 2016 menampilkan pemimpin Abu Sayyaf, Isnilon Hapilon, yang sedang berbaris dengan para pemimpin kelompok ekstremis lain yang beroperasi dari sejumlah pangkalan di kepulauan Sulu dan Basilan. Video tersebut kemudian telah dihapus.
Awal tahun lalu, terjadi serangan terhadap polisi Malaysia yang dilancarkan kelompok teroris Daesh, tapi berhasil digagalkan dan tujuh anggota kelompok ini ditangkap aparat keamanan.
Pemerintah Malaysia mendapat peringatan dari sayap regional kelompok Daesh bernama Katibah Nusantara. Kelompok Katibah Nusantara mengancam pemerintah Kuala Lumpur dan mendesak pembebasan anggotanya. Katibah Nusantara bagian dari Daesh berbahasa Melayu dan dipimpin oleh Bahrun Naim yang saat ini masih berada di kota Raqqa, Suriah. Bahrun Naim mengkoordinir dan memimpin kelompok ini dari Suriah.
Katibah Nusantara mencakup wilayah Indonesia, Singapura, Thailand selatan, sebagian wilayah Filipina dan Brunai Darussalam. Diprediksikan anggota Katibah Nusantara mencapai ribuan orang.
Keberadaan pentolan teroris seperti Riduan Isamuddin atau Hanbali yang pernah menjabat sebagai komandan militer al-Qaeda mempunyai peran penting dalam berbagai aksi teror, menjadi sarana Daesh untuk menyebarkan pengaruhnya di kawasan.
Pentolan teroris lainnya seperti Abu Jandal yang tewas di Mosul tahun lalu menunjukkan hubungan erat antara wilayah konflik tempat lahinnya Daesh yaitu Irak dan Suriah dengan kawasan Asia Tenggara.
Menjamurnya kelompok radikal di Asia Tenggara tidak bisa dilepaskan dari ideologi Wahabi yang diadopsi oleh kelompok tersebut. Para pentolan maupun pelaku aksi teror sebagian besar adalah orang-orang yang memiliki hubungan dengan jaringan kelompok garis keras di sejumlah negara dunia terutama Afghanistan dan Pakistan. Sebagian dari mereka bersekolah di madrasah Wahabi yang didanai Saudi.
Salah satu alasan mengapa sebagian orang di negara-negara kawasan Asia Tenggara begitu mudah menerima gagasan Khilafah yang ditawarkan Daesh tidak bisa dilepaskan dari sistem pengajaran Wahabi yang telah memasuki sekolah dan madrasah. Contoh nyatanya di Malaysia, Muhammad Lutfi Arifin atau Abu Mus’ab, mantan anggota Komite Pusat Partai Islam Malaysia (PAS) yang diberitakan tewas tahun 2015 di Suriah.
Arab Saudi juga aktif membangun sekolah Wahabi di berbagai negara dunia, termasuk kawasan Asia Tenggara. Arab Saudi menggelontorkan dana besar-besaran untuk penyebaran ideologi mereka di seluruh dunia. Khusus di Indonesia, jejak pengaruh ekspansi ideologi Wahabi mudah terlacak.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Islam dan Arab (LIPIA) yang didirikan Dewan Dakwah Islam Indonesia (DDII) pada dekade delapan puluhan, Sekolah Tinggi Ilmu Islam dan Bahasa Arab (STIBA), jaringan televisi dan radio Rodja, puluhan Islamic center, pesantren-pesantren dan madrasah, bantuan pembangunan gedung-gedung universitas, maupun puluhan masjid. Belum lagi para alumni yang telah mendapatkan beasiswa dari pemerintah Arab Saudi dengan militansi kuat terhadap ideologi tersebut.
Chris Chaplin, peneliti Royal Netherlands Institute of Southeast Asia berkeyakinan bahwa Arab Saudi selama beberapa dekade terakhir menanam investasi di berbagai bidang demi membenamkan pengaruh budaya dan agamanya di Indonesia. Sejak tahun 1980 miliaran dolar telah digelontorkan Arab Saudi untuk mewujudkan kepentingan ideologisnya itu. Puncaknya adalah kunjungan raja Salman yang dibungkus dengan liburan dan lawatan resmi kenegaraaan.