Bom Waktu Konflik Rasial di Amerika
Pawai supremasi kulit putih Amerika di Charlottesville, Virginia kembali membangkitkan konflik lama dan abadi rasialisme di Negeri Paman Sam. Dalam aksi yang disebut Unite the Right (Satukan Kelompok Kanan), dikoordinasikan oleh kaum ultra-kanan Amerika yang terdiri dari White Supremacist, White Nationalist, Neo-Confederate, Neo-Nazi, dan Militia Movements.
Pawai itu digelar dengan alasan untuk memprotes keputusan pemerintah memindahkan patung Jenderal Robert Edward Lee, seorang komandan dari pihak konfederasi ketika terjadi Perang Sipil pada tahun 1861-1865.
Menyusul tewasnya warga kulit hitam dari jemaat Gereja Charleston akibat diberondong oleh Dylann Roof (21 tahun) pada tahun 2015, kelompok-kelompok anti-rasial dan kesetaraan melakukan berbagai upaya untuk menghapus simbol-simbol rasis peninggalan era perbudakan dan perang sipil di negara-negara bagian selatan Amerika.
Di lain pihak, kelompok-kelompok kanan Amerika memanfaatkan iklim yang muncul di era pemerintahan Donald Trump untuk melancarkan serangan bermotif rasial dan melawan gerakan anti-rasial, dan salah satu aksi terbesar mereka dilakukan di kota Charlottesville. Pawai berdarah ini menewaskan tiga orang dan melukai sejumlah lainnya.
Pawai berdarah di Charlottesville adalah bukan konflik rasial pertama di AS dan juga tidak akan menjadi yang terakhir. Sejak hari pertama kedatangan kapal imigran Inggris ke pantai dunia baru dan sejak koloni pertama Inggris dibangun di kota Georgetown, konflik rasial mulai pecah di wilayah yang kemudian dikenal sebagai Amerika Serikat. Perang dan konflik berdarah pertama pecah antara imigran kulit putih dengan bangsa pribumi kulit merah selama dua dekade. Konflik tersebut tercatat sebagai salah satu genosida terbesar dalam sejarah umat manusia.
Perang rasial kemudian pecah antara kulit putih dan kulit hitam setelah gelombang pertama budak Afrika tiba di tanah Amerika. Ras kulit putih menjadikan jutaan orang kulit hitam sebagai budak demi mengejar keuntungan ekonomi yang sebesar-besarnya dan mereka diperlakukan seperti binatang. Di antara kebiasaan buruk ras kulit putih adalah jual-beli anak-anak kulit hitam, pemisahan anggota keluarga, penyiksaan, eksekusi, mutilasi, dan bahkan dihukum mati hanya karena belajar membaca dan menulis.
Demi melestarikan sistem keji dan tidak manusiawi ini, ras kulit putih mengobarkan perang sipil selama empat tahun dan membunuh lebih dari 600 ribu tentara dan penduduk di wilayah utara dan selatan AS. Konflik berdarah ini, deklarasi pembebasan budak, dan amandemen konstitusi untuk memberikan hak kewarganegaraan kepada budak, juga tidak mampu menghapus fanatisme rasial di Amerika.
Selama bertahun-tahun, kelompok-kelompok rasis seperti Ku Klux Klan memegang kendali atas sebagian besar wilayah Amerika dan membunuh orang-orang kulit hitam. Pada masa itu, setiap warga kulit putih memiliki hak untuk menghukum dan menyiksa orang kulit hitam dengan alasan apapun. Ras kulit putih kemudian mempertontonkan kekejaman yang luar biasa seperti, memutilasi orang kulit hitam, membakar hidup-hidup, mengubur hidup-hidup, serta membakar rumah dan ladang mereka.
Minoritas kulit hitam dan warga pribumi juga tidak tinggal diam menyaksikan kekejaman tersebut. Mereka mengerahkan segala upaya untuk melakukan aksi balas dendam dan menyerang orang-orang kulit putih. Aksi saling balas ini telah melestarikan bara api konflik rasial di Amerika sampai hari ini.
Pemenuhan hak-hak sipil warga kulit hitam di AS sudah lebih baik dalam setengah abad lalu. Kini warga kulit hitam bisa menikmati fasilitas publik dan duduk bersama warga kulit putih di sekolah-sekolah. Mereka juga memiliki hak suara dalam pemilu dan bisa menduduki posisi-posisi penting di pemerintahan. Selama masa itu, para intelektual kulit hitam memimpin lembaga-lembaga penting seperti, kepresidenan Amerika, departemen luar negeri, dan mahkamah agung.
Meski demikian, kondisi mayoritas masyarakat biasa dan warga miskin kulit hitam tidak mengalami perubahan yang berarti. Warga kulit hitam sampai sekarang menerima upah lebih rendah jika dibandingkan ras kulit putih untuk jenis pekerjaan yang sama. Kesempatan belajar masih belum setara dan mereka diperlakukan diskriminatif dalam memanfaatkan berbagai fasilitas. Karena kemiskinan dan masa lalu budaya, individu kulit hitam banyak terlibat aksi kriminal dan memenuhi penjara-penjara di Amerika.
Di sisi lain, ultra-kanan Amerika percaya bahwa mereka harus tetap melakukan berbagai upaya untuk mempertahankan supremasi kulit putih. Dalam pandangan mereka, setiap individu yang bukan keturunan kulit putih Eropa, dianggap orang asing dan tidak dapat mengaku memiliki identitas Amerika. Ultra-kanan mengklaim pertumbuhan populasi kulit hitam dan keturunan Amerika Latin akan membuat etnis kulit putih asal Eropa menjadi kelompok minoritas dan jumlah pengguna bahasa Spanyol di AS akan mengalahkan pemakai bahasa Inggris.
Ultra-kanan juga memandang perbaikan kondisi politik, ekonomi, dan sosial warga minoritas sebagai sinyal bahaya, dan tidak segan-segan menggunakan kekerasan untuk melawan fenomena tersebut. Pada tahun 2015, Dylann Roof melakukan aksi teror di Gereja Afrika-Amerika di Charleston dan membunuh sembilan jemaat kulit hitam. Warga lokal percaya bahwa penembakan itu dipicu oleh rasisme.
Di Charlottesville, Virginia, seorang pemuda menabrak kerumunan pemrotes pawai supremasi kulit putih dan membunuh seorang wanita. Serangan itu terjadi di hadapan para petugas keamanan dan ratusan kamera awak media. Insiden yang terjadi di Amerika ini benar-benar membuat dunia terkejut. Di sebuah negara seperti AS yang terbentuk dari para imigran dari berbagai belahan dunia, insiden seperti itu dapat memicu kerusuhan massal dan bentrokan besar-besaran.
Gerakan ultra-kanan dan rasis tampaknya mendapatkan semacam rasa aman dengan melakukan tindakan kejahatan seperti itu. Saat ini, kekuasaan di Amerika dipegang oleh seorang individu yang menyebut warga keturunan Meksiko sebagai pasien gangguan jiwa dan mengancam akan mengusir seluruh imigran gelap serta melarang kunjungan warga Muslim ke Amerika.
Janji-janji kampanye Trump membuat para pemimpin ultra-kanan menganggap kemenangan Trump dalam pilpres 2016 sebagai peluang untuk menegaskan supremasi kulit putih. Tentu ini merupakan simbiosis mutualisme di mana Trump menikmati dukungan dan suara dari kelompok-kelompok rasis di selatan dan barat Amerika. Mereka memainkan peran penting dalam kemenangan Trump pada pilpres 2016.
David Ernest Duke, seorang nasionalis kulit putih dalam pesannya kepada Trump mengatakan, "Saya menyarankan Anda untuk melihat cermin dan ingat bahwa orang-orang kulit putih Amerika telah menempatkan Anda di kursi kepresidenan, bukan kaum kiri yang radikal."
Masyarakat Amerika saat ini lebih rentan terhadap konflik rasial daripada sebelumnya karena kesenjangan sosial dan budaya yang lebar. Konflik rasial terus meningkat dengan melihat jejak konflik serupa dalam setengah abad terakhir. Sebagai contoh, 13 konflik berdarah dan kekerasan terjadi di berbagai penjuru Amerika dalam 25 tahun terakhir. Di antara konflik rasial terpenting adalah kerusuhan Los Angeles 1992 di mana serangkaian kerusuhan, penjarahan, pembakaran, dan kekacauan sipil terjadi di County Los Angeles pada April-Mei 1992, atau kasus kematian Michael Brown pada tahun 2015, yang memicu kerusuhan dan bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa.
Aksi pawai, bentrokan, dan kerusuhan rasial diperkirakan akan meningkat di berbagai wilayah Amerika pada bulan dan tahun-tahun mendatang. Dari satu sisi, organisasi-organisasi pembela hak sipil dan keseteraan akan berusaha untuk mempertahankan hasil kerja keras mereka dalam perang berdarah di masa lalu dan dari sisi lain, kaum rasis akan melibatkan senjata untuk menjaga apa yang mereka sebut identitas Amerika.
Bentrokan kedua kubu dapat menciptakan peristiwa Charlottesville lain yang jauh lebih besar kecuali jika semua individu Amerika mengubah pola pikir dan budaya mereka dan memilih perdamaian sebagai pengganti kekerasan.
Dalam hal ini, seorang dosen psikologi sosial Universitas Yale, Jennifer Richeson mengatakan, "Satu-satunya cara untuk mengubah fanatisme adalah mengubah budaya. Anda harus mengubah apa yang dapat diterima di masyarakat."
"Ya, ada pencapaian dalam kebijakan-kebijakan seperti undang-undang pernikahan antar-ras dan penolakan diskriminasi antar-ras, tapi ketika kita berbicara tentang fanatisme interpersonal, maka tidak benar bahwa kita hanya perlu menunggu kematian beberapa orang rasis yang sudah tua di selatan Amerika sehingga keadaan akan menjadi baik," tegas Richeson.