Hari Internasional Mengakhiri Impunitas Kejahatan atas Jurnalis
-
Hari Internasional Mengakhiri Impunitas Kejahatan atas Jurnalis
Sidang Umum PBB pada 18 Desember 2013 mencanangkan tanggal 2 November sebagai Hari Internasional untuk Mengakhiri Impunitas bagi Kejahatan terhadap Jurnalis.
Profesi jurnalis adalah salah satu profesi yang kerap menjadi sasaran ancaman pihak-pihak yang ingin membungkam wartawan. Di banyak tempat di dunia, kejahatan terhadap jurnalis bahkan dibiarkan dan tidak pernah ditindak secara hukum.
Setelah sekian lama akhirnya kematian wartawan pengkritik pemerintah Arab Saudi, Jamal Khashoggi di kantor konsulat Saudi di Istanbul Turki, terbukti.
Khashoggi adalah salah satu wartawan yang sempat bekerja di surat kabar Amerika Serikat, The Washington Post dan selain menunjukkan dukungan atas reformasi ekonomi-sosial di negaranya, ia kerap memprotes situasi mencekam dan penumpasan yang dilakukan aparat keamanan Riyadh.
Mungkin Khashoggi adalah salah satu wartawan yang sempat bertanya pada dirinya, bagaimana caranya melindungi keselamatan jurnalis.
Pertanyaan penting yang sampai sekarang masih belum tuntas dijawab dan tidak pernah ada jaminan bagi keselamatan profesi ini, dan pembunuhan Khashoggi di dalam kantor konsulat Saudi di Istanbul menjadi buktinya.
Sekarang hidup di luar negeri tidak menjamin keselamatan jurnalis yang memprotes ketidakadilan di negaranya, sekalipun ia mendapat dukungan internasional.
Jamal Khashoggi dalam wawancara dengan stasiun televisi Kanada, Global News, 6 Agustus 2018 mengatakan, meski saya hidup di Washington, terkadang saya memilih untuk diam karena ada banyak intimidasi di sekitar saya.
Dewasa ini pembelaan terhadap jurnalis dan aktivitas profesional di media, menjadi sebuah nilai modern yang dapat digunakan sebagai indikator untuk membandingkan sebuah negara dengan yang lainnya.
Sejujurnya, jika Saudi memperlakukan seorang jurnalis pengkritik pemerintah yang bukan termasuk oposisi saja seperti itu, lalu bagaimanakah perlakuan Riyadh terhadap para oposan pemerintah ?
Jelas bahwa di Arab Saudi jurnalis tidak hidup dalam situasi yang mendukung kebebasan berpendapat dan berekspresi, namun di negara-negara lain seperti Amerika, kondisi jurnalis juga tidak lebih bagus saat ini dan terus memburuk.
Sejak Presiden Amerika, Donald Trump berkuasa, media-media massa seperti Fox News, Daily Caller dan Newsmax menayangkan pemberitaan seputar Trump dengan kecemasan dan ketakutan.
Pada saat yang sama, Trump menuduh media-media anti-pemerintah sebagai media hoax dan ia terus mengkitiknya. Baru-baru ini Trump di laman Twitternya menulis, pemberitaan-pemberitaan bohong bekerja lembur.
Ia menambahkan, baru saja dilaporkan, terlepas dari keberhasilan luar biasa kami di bidang ekonomi dan bidang lainnya, 91 persen pemberitaan tentang saya adalah negatif (bohong). Mengapa kita harus bekerja keras untuk bekerjasama dengan media ketika ia rusak ? Apakah mandat harus dicabut ?.
Sebenarnya Trump sedang mengancam untuk mencabut izin jurnalis masuk ke Gedung Putih, instansi-instansi pemerintahan, kongres dan pengadilan tinggi Amerika, serta mempersulit pekerjaan media dalam meliput berita dari tempat-tempat itu.
Ancaman Trump itu jelas membuat awak media Amerika merasa cemas dan mereka percaya serangan verbal Trump terhadap media telah meningkatkan bahaya kekerasan terhadap para wartawan.
Pelapor khusus PBB untuk urusan kebebasan berpendapat, David Kaye dan anggota Inter-American Commission on Human Rights (IACHR), Edison Lanza mengatakan, serangan Trump strategis dan dirancang untuk melemahkan kepercayaan diri dalam melaporkan berita dan meningkatkan keraguan tentang fakta-fakta yang bisa diverifikasi.
Trump berulangkali menyerang media Amerika dan menuduh mereka sebagai "Fake News Media" dan "Musuh Sejati Rakyat".
David Kaye dan Edison Lanza memperingatkan, kami khawatir serangan Trump terhadap media ini dapat meningkatkan risiko bagi para jurnalis untuk menjadi sasaran aksi kekerasan.
Editor Yahoo News, Daniel Klaidman menuturkan, seorang teman dekat kolumnis Washington Post, Jamal Khashoggi, memberi tahu @Isikoff dan saya bahwa Putra Mahkota Saudi, Mohammed bin Salman mungkin merasa semakin berani "untuk membunuh jurnalis" berkat retorika anti-media Trump.
Salah seorang aktivis politik Saudi yang tinggal di Amerika, Khaled Saffuri mengatakan, Trump membenci jurnalis, maka ia tidak akan bereaksi jika kita membunuh seorang jurnalis.
Sejak 1995, setiap tahunnya organisasi nirlaba non-pemerintah, Reporter Without Border, RSF menyampaikan laporan tentang aksi kekerasan yang menimpa jurnalis di seluruh dunia berdasarkan informasi-informasi terverifikasi.
Berdasarkan laporan RSF pada tahun 2017 di seluruh dunia, tercatat 65 jurnalis tewas. Dari 65 jurnalis yang tewas itu, 39 di antaranya dibunuh dan sisanya tewas saat melaksanakan tugas akibat bom bunuh diri atau serangan udara.
Pada tahun 2017, 10 perempuan awak media tewas terbunuh sementara data tahun sebelumnya menunjukkan hanya 5 orang. Beberapa dari mereka ada yang berprofesi sebagai wartawan yang tetap bertugas meski di bawah ancaman dan mengungkap kebusukan para koruptor.
Banyak orang yang berkorban untuk mendapatkan informasi. Beberapa bahkan membayarnya dengan hidup atau kebebasan mereka, tercatat 65 wartawan terbunuh pada tahun 2017 dan 326 dijebloskan ke penjara.
Sepanjang 2017 ada peningkatan jumlah jurnalis yang ditawan dan dijadikan sandera sebanyak dua persen bila dibandingkan pada tahun 2016.
Di tahun 2017 ada 54 jurnalis yang disandera, 44 di antaranya adalah jurnalis profesional, tujuh merupakan jurnalis warga, serta tiga sisanya adalah pekerja media. Menurut laporan Komite Perlindungan Jurnalis, CPJ, Suriah, Irak, Pakistan dan Afghanistan adalah negara-negara yang paling mematikan bagi para jurnalis.
Data-data di atas menunjukkan sedemikian berbahayanya profesi jurnalis di dunia, namun dalam dua tahun terakhir nurani masyarakat internasional mulai tersentuh dan bangkit.
Mereka berusaha untuk menemukan cara agar bisa melindungi dan mendukung pekerjaan berbahaya para wartawan.
Sekjen PBB, Antonio Guterres mengumumkan tanggung jawab lembaga-lembaga dunia dalam program asli PBB untuk bertukar informasi dan melakukan koordinasi strategis dalam kasus-kasus yang membahayakan jurnalis.
Koalisi internasional yang mengusung hastag #protectJournalist juga terbentuk dengan melibatkan puluhan media dunia, LSM, wartawan dan tokoh terkemuka.
Prakarsa ini merupakan langkah pertama dan penting yang merupakan peta jalan untuk merealisasikan resolusi PBB dalam rangka melindungi jurnalis dan memerangi impunitas atas kejahatan-kejahatan terhadap mereka. (HS)